Bertukar Ruang dengan Hening
We think so much about the future that we neglect the present, and thus experience neither the present nor the future. We live as if we were never going to die, and die as if we had never lived. (Paulo Coelho, “Like the Flowing River”, 2006: 246)
Seperti pada umumnya suatu perjalanan, riuh menjadi salah satu hal yang mau tak mau mengisi pikiran. Celoteh dari berbagai arah tentu deras hingga telinga pekak. Selebihnya, simpul kacau dalam pikiran menuntun hati berkeras diri. Dan acapkali nahas, permainan emosi mengalahkan naluri kita yang lantas memilih serapah.
Sama halnya ketika seseorang tengah bergelut pada macet dan bunyi klakson di ujung hari, perjalanan terkadang memang menuntun kita pada kemampatan. Sebab tentu saja, kita — saya dan anda — tidak hanya sendiri dalam perjalanan atau perziarahan di dunia ini. Sama halnya seperti seorang pekerja berangkat pagi buta, menyusuri gang, jalan kecil, hingga jalan arteri sebagai muara kemacetan, dan mengulang hal serupa di petang hari, begitu pula manusia menjalani hidup.
Beberapa dari kita mungkin tidak sadar atas setiap langkah monoton atau mungkin tak sadar bahwa jiwanya sudah tertelan kebosanan. Begitu melelahkan, hal itu kiranya yang terjadi pada manusia yang memaknai perjalanan dengan terlalu banyak melihat ke luar dirinya.
Coelho, dalam buku yang saya sebut di atas menulis betapa anehnya manusia itu. Dalam buku tersebut, Coelho mengutip Jaime Cohen — temannya — yang menyebut bahwa manusia adalah entitas paling membingungkan di muka bumi ini. Betapa tidak, lihat saja seseorang di waktu masih kanak-kanak ingin cepat dewasa agar bebas menentukan pilihannya tanpa bergantung. Sedang kemudian ketika ia sudah dewasa, yang dirindukan justru hilangnya masa kanak-kanak. Lebih daripada itu, manusia — lagi-lagi — memiliki kecemasan yang amat lekat terhadap masa depan. Kecemasan ini, yang disebut Cohen sebagai langkah dini untuk mengabaikan masa kini. Kita — manusia — tak jarang terlalu khawatir dengan masa depan dan akhirnya tidak benar-benar hidup di masa kini, apalagi masa depan.
Kekhawatiran manusia atas masa depan membuatnya lupa siapa dirinya saat ini, apa yang dijalaninya kini, dan tentu saja melihat segalanya seperti balap liar kehidupan. Setiap orang memiliki kecepatannya masing-masing, momen jatuh bangun, hingga riuh tenangnya sendiri-sendiri. Langkah adalah kesunyian tiap insan yang tentu saja masih menyebut dirinya, manusia.
Cohen yang diceritakan Coelho menyebut lagi bahwa manusia atau kita-kita yang masih hidup ini seolah menganggap bahwa kematian tidak berkuasa atas diri kita. Beberapa orang amat takut menemui ajal. Padahal, dari sekian ribu banyaknya ketidakpastian dalam siklus hidup manusia, hanya satu hal yang pasti, yaitu kematian.
Coelho memang kerap menulis secara reflektif mengenai perjalanan dan penokohan. Namun, di buku “Like the Flowing River” yang saya baca belakangan, Coelho memang sengaja menuangkan refleksi dari hasil refleksinya terdahulu. Coelho menyebut perjalanannya seperti sungai yang mengalir. Hal ini mengingatkan saya pada kalimat terkenal dari Sunan Kalijaga yang berbunyi “anglaras ilining banyu, nanging ora keli”, hidup yang selaras dengan aliran air, namun tidak hanyut.
Coelho membuka buku tersebut dengan kutipan sajak dari penyair legendaris Brasil, Manuel Bandeira yang bersyair demikian,
Be like the flowing river. Silent in the night. Be not afraid of the dark. If there are stars in the sky, reflect them back. if there are clouds in the sky, remember, clouds, like the river, are water. So, gladly reflect them too, in your own tranquil depths.
Dalam terjemahan bebasnya, sajak di atas dapat dimaknai bahwa Bandeira mengajak kita — manusia — untuk merefleksikan perjalanan hidup seperti aliran sungai. Gemericik airnya menumbuhkan hening. Pada permukaannya, ia memantulkan gemerlap gemintang. Pun begitu dengan air yang menjelma awan-gemawan. Dan pada tiap entitas yang reflektif itu, temukanlah dirimu — manusia — , dan pantulkan kehidupanmu dengan suka cita. Hingga kemudian Coelho — atau penerjemahnya — menempatkan diksi “tranquil depths” yang berarti ketenteraman atau ketenangan terdalam.
Air, digambarkan sebagai jiwa, jernih tidaknya tetap memantulkan cahaya. Semakin jernih, air memang dapat membuat orang lain untuk melihat kedalaman. Meski begitu, bukan berarti air yang keruh tak punya andil dalam merefleksikan cahaya. Aliran jernih terkadang bisa menipu diri dalam melihat kedalaman. Seolah kita mengerti dan memahami karena semua nampak jelas dan terang. Namun, seyogianya jernih membutuhkan hening, setelah melampaui riak nan berserak. Sebaliknya, air keruh tak menunjukkan keduanya, ia tak mampu memperlihatkan kedalaman, apalagi terang dalam melihat apa yang ada di dasar. Meski begitu, air keruh, seperti pada umumnya siklus hidrologi, akan memasuki fase yang disebut water purification.
Secara teoretis, proses pemurnian air dapat dipercepat dengan beberapa langkah seperti aerasi, koagulasi, flokulasi, dan sedimentasi. Tapi tentu saja kita tidak akan membicarakan teori ini. Namun, proses-proses ini rasanya relevan pula dengan bagaimana proses pemurnian jiwa dalam diri manusia. Setidaknya, jika didasarkan pada risalah-risalah reflektif Coelho dalam bukunya “Like the Flowing River” ini.
Pertama, saya akan menjelaskan sedikit mengenai apa itu aerasi dengan — tentu saja — serampangan. Proses aerasi sederhananya adalah proses oksidasi air dalam volume besar hingga air tersebut melepaskan aroma dan kadar karbon dioksida dengan gelembung kompresi udara lewat pipa perforasi. Apakah anda sudah mulai bingung membaca kalimat di atas? Ya, sama, saya juga.
Setidaknya, anda bingung maka anda berpikir. Proses penghilangan bau dan kandungan karbon dioksida dalam air ini sama halnya seperti proses pengendapan diri lewat proses hening. Mengendapkan berarti justru mengumpulkan segala simpul kacau dalam pikiran maupun batin. Dari kedua hal itulah lantas penguraian akan makna reflektif diri dimulai. Selanjutnya, saya tidak akan berbusa-busa membahas pemurnian air. Sebab kita tentu paham bahwa yang terutama dari proses kehidupan adalah apa yang kemudian direfleksikan, bukan apa-apa saja yang tersampaikan tanpa makna.
Perjalanan untuk memurnikan jiwa ini diawali dengan memilih jalan bercabang. Coelho — dalam bukunya — mengutip sajak dari Robert Frost yang berbunyi demikian,
Two roads diverged in a wood, and I —
I took the one less traveled by,
And that has made all the difference
Pada sajak ini, Coelho ingin menyampaikan bahwa pada dasarnya manusia senantiasa dihadapkan pada pilihan jalan. Salah satu dari dua pilihan tersebut adalah jalan yang paling jarang ditempuh oleh orang lain. Kita menyebutnya sebagai “jalan sunyi”, atau dalam falsafah Jawa yang sedikit saya pahami, jalan ini merupakan “margining suwung”. Jalan yang jarang ditempuh memang tidak populer, tidak semua orang tertarik menjalani jalan tersebut. Jalan yang selalu dibayangkan dengan banyak hal negatif meski sekalipun orang belum mencobanya. Umumnya, kita lebih suka menempatkan nilai kepada sesuatu yang belum kita usahakan, coba, dan perjuangkan. Namun, jalan sunyi ini lagi-lagi harus berhadapan dengan prasangka. Sebab, tidak semua orang tertarik dengan jalan yang berbeda. Tak semua orang menyenangi perbedaan. Tidak semua orang bisa menerima relativitas kebenaran. Dalam perspektif mereka, sebisa mungkin sesuatu harus sama dan “seperti yang saya mau”.
Kehendak adalah beban pertama manusia yang justru menjauhkan diri dari dirinya sendiri. Kehendak dan keinginan sebetulnya menuntun kita pada jalan yang umum dipilih. Sebab, kita lebih mampu melihat keinginan berdasarkan pengalaman dan pencapaian orang lain, alih-alih dari dalam diri kita sendiri. Pada dasarnya, kita lebih suka melihat ke luar, daripada melihat ke dalam. Oleh sebab itu, jalan sunyi yang jarang ditempuh memang amat sukar dipahami dan dimengerti, apalagi dipilih.
Jalan sunyi yang jarang dipilih orang tadi, sebetulnya adalah pilihan tepat bagi permenungan. Namun tetap saja, tak semua dari kita erat berhubungan dengan permenungan. Kita mungkin bisa saja menjadi seorang ekstrover dengan banyak teman, berhubungan baik dengan banyak orang baru dan sebagainya. Tapi, untuk hanya berhubungan dengan diri sendiri, kedalaman diri, kesunyian batiniah, tentu saja itu lain soal bukan?
Seorang sahabat pernah berujar kepada saya — berkali-kali — , ia mengatakan hal serupa bertahun-tahun, kira-kira kalimatnya berbunyi demikian,“kita tidak bisa memilih bagaimana kita lahir, tapi kita bisa menentukan bagaimana kita mati”.
Kalimat tersebut, tentu saja tidak sepenuhnya benar, maupun sepenuhnya keliru. Memang, kita tidak bisa menentukan kapan dan di mana kita lahir, begitu pula siapa yang melahirkan kita sebagai manusia. Namun, kita juga sebetulnya tidak betul-betul mampu menentukan bagaimana kita mati. Bisa saja, kita kalah dengan waktu atau tidak bisa bersahabat dengan maut. Maut datang dengan cara paling sunyi, sesuatu yang kehadirannya tak terdengar. Beberapa orang yang bersahabat dengan maut biasanya bisa merasakan bagaimana maut berkelindan dalam garis tepi kehidupannya. Namun, bagi mereka yang tidak pernah mengunci diri dalam sunyi, maut sama sekali tak terdengar.
Perjalanan, permenungan, kesunyian, dan hidup adalah bagian dari soal menjemput maut. Menjemput sesuatu yang lebih sunyi dari mimpi indah serta doa-doa di sepertiga malam. Beberapa orang di masa lampau mengatakan bahwa waktu paling sunyi untuk menemui diri adalah berjaga di sepertiga malam. Hal ini sebetulnya bukan sekadar mitos semata. Sepertiga malam adalah waktu di mana malam bermuara pada pagi. Pertemuan dua kesunyian. bergantinya tahta dari rembulan, bintang kejora, dan akhirnya kembalinya sang baskara. Di sepertiga malam itu, semua makhluk — tak hanya manusia — diyakini tengah mempersiapkan diri untuk kembali menempa diri, dengan bentuk dan caranya masing-masing.
Sama halnya semua makhluk yang hendak berbahagia, manusia pun memerlukan refleksi dalam menjemput kebahagiaan sejati, entah itu lewat kehidupan maupun kematian. Refleksi yang jernih atas diri sendiri menjadi tolok ukur dari pengejahwantahan jiwa. Dan selanjutnya, jiwa tersebut yang seyogianya membimbing setiap individu dalam setiap langkah dirinya ke depan. Meniti jalan sunyinya sendiri. Menentukan inti dari kehidupannya sendiri. Hingga mampu membedakan yang diinginkan pun dibutuhkan. Tidak melulu mengejar kesamaan, tetapi mengendapkan serta memaknai perbedaan sebagai kelebihan dari Sang Hyang Wenang.
Pada tiap perjalanan, berhenti adalah hal biasa. Gagal bukan hal yang asing. Dan juga pencapaian bukan hanya rekaan sukacita semata. Semua hal tersebut hadir sebagai bagian dari gula-gula perjuangan. Entah manis dan pahit, diasingkan dan diharapkan, dikucilkan dan direngkuh, hingga semua oposisi biner dalam karut-marut kehidupan, perjalanan menjadi hal indah ketika tanpa sadar kita sudah menyelesaikannya. Dan hening, adalah cara kita merenungi setiap langkah dari perjalanan, untuk mengingatkan diri kita bahwa “manusia ini sudah berusaha sehormat-hormatnya dan sebaik-baiknya”.