Cermin dan Kaca

Algonz Dimas B Raharja
7 min readSep 29, 2020

--

https://www.virtualgallery.com/galleries/sea_son_a26036518/diversity_s15186/mirror_o183821

Think only of the past as its remembrance gives you pleasure.
― Jane Austen, Pride and Prejudice, Ch. 58, Pag. 333 (1813)

Sebenarnya, saya tak setuju-setuju amat dengan ungkapan Austen yang hadir lewat tokoh Darcy lewat roman kawakan karangannya ini. Alasannya, tentu karena novel Pride and Prejudice ini terkesan cliche. Narasinya boleh jadi tak beda jauh dengan keruwetan kisah cinta opera sabun, atau film drama roman yang jumlah sekuelnya bejibun.

Sayangnya, novelis yang lahir di bagian tenggara Inggris pada tahun 1775 itu cukup tegas memberi judul novelnya dengan keserasian cerita. Garis besarnya, tak ada masa lalu yang buruk jika kita dapat menempatkannya untuk masa kini dengan tepat. Dan satu hal, benang merah cerita ini tak jauh dari persoalan individu manusia hingga saat ini. Tak lain dan tak bukan, hal itu adalah harga diri.

Darcy, atau Fitzwilliam Darcy adalah orang yang — — kalau boleh dibilang — — menyebalkan, songong, acuh tak acuh, dan tak mudah terkesan. Sedangkan tokoh sentral lain dalam novel legendaris Austen itu adalah Elizabeth Bennet. Yang mana, tak nampak berbeda jauh dengan tabiat Darcy. Sama-sama keras kepala. Atau lebih tepat kalau dibilang, keduanya adalah orang sialan.

Kalau saja mereka tak saling keras kepala, saya kira novel ini tak perlu lama berbelit. Dan lantas keberbelitan itu menjadi literatur Inggris klasik era abad 18. Namun, hidup tentu juga tak selancar itu bukan? Ya, seringkali tanpa sadar yang membuat hidup kita seolah berantakan atau lebih tepatnya “tak sesuai harapan” adalah karena kita keras kepala. Atau malah, terkesan songong dengan laku hidup. Sama seperti apa yang dilakukan Darcy saat pertama menolak Elizabeth saat di pesta dansa. Bahkan dengan kurang ajar, seperti halnya tabiat para pemuda bengal yang “jual mahal”, Darcy justru mengatakan bahwa Elizabeth tak cukup memikatnya. Dan dengan songong-nya, Darcy menyebut Elizabeth “tak diminati pria lain”.

Tentu saja, ini sebuah kesan pertama yang buruk bagi Elizabeth. Apalagi Darcy adalah penyewa rumah milik keluarga Elizabeth di Longbourn.

Seperti halnya omong kosong, Darcy pun lantas menerima karmanya. Ia diam-diam mengagumi Elizabeth. Di mana ia kerap menulis surat-surat sambil — tentu saja — memandangi mata Elizabeth. Ya begitulah, beberapa di antara kita cukup senang dengan penyangkalan diri. Denial!

Dari sana, Elizabeth pun singkat kata dipinang beberapa orang. Beberapa ditolak. Beberapa lainnya sempat memikatnya, seperti sosok Wickham. Namun, justru dari sosok Wickham ini, Elizabeth makin membenci Darcy. Dikarenakan ayah baptis Wickham adalah ayah kandung Darcy, maka pengisahan tentang Darcy yang muncul dari mulut Wickham menjadi liar. Wickham yang merasa “mengenal” Darcy secara personal lantas membikin cerita karangan yang intinya menyudutkan Darcy.

Dari cerita-cerita Wickham, Darcy benar-benar menjadi individu yang mendekati kata “bejat”. Tentu, tak butuh waktu lama bagi Elizabeth untuk meyakinkan dirinya bahwa Darcy bukanlah sosok yang pantas membuatnya penasaran.

Mengetahui hal ini, Darcy terpaksa mengirimi Elizabeth surat-surat berisi penjelasan atas “kebohongan” Wickham. Dari sisi lain, mengapa Darcy sampai perlu mengirim itu jika ia tak menyukai Elizabeth? Dan juga Elizabeth, mengapa ia perlu sebegitunya menumbuhkan benci terhadap Darcy, jika di muka cerita ia tak memiliki perasaan pada pemuda itu?

“Pikirkan masa lalu yang memberimu kesenangan”, begitu kata Darcy pada Elizabeth di bagian akhir kisah.

Ia dengan sadar dan tenang memang sempat meninggalkan Longbourn ke London. Elizabeth sempat “mengejarnya”. Namun setelah bertemu, justru Elizabeth menolak Darcy saat si pemuda yang lagi-lagi “tolol” itu menyatakan cinta dengan sembrono. Begitu pula Elizabeth yang sepertinya merasa bersalah seumur hidup karena telah membenci Darcy sebegitu rupa. Bahkan saat keduanya sudah akan mengakhiri cerita dengan hidup bersama.

Ya, sayangnya roman karangan Austen ini cukup rumit karena kait-kelindan satu tokoh dengan tokoh lainnya. Dan tentu, dalam hal ini masa lalu dan masa depan menjadi samar untuk dibicarakan. Mana yang mudah dikenang? Dan mana yang lebih mudah dihapus?

Keseluruhan cerita Austen dalam novel ini melahirkan beberapa definisi tentang lema “Pride” dan “Prejudice”. Pada sisi terpisah, keduanya masing-masing berarti “kebanggaan” dan “prasangka”. Namun dalam artian yang tak terpisah, keduanya dapat berarti “masa kejayaan dan kehancuran”. Atau dalam bahasa yang lebih singkat, kita biasa menyebutnya “gengsi”.

Ya, nampaknya Austen hanya ingin membuat kata “gengsi” menjadi persoalan pelik yang amat rancu. Bahkan untuk dihapus sekalipun.

Seperti halnya dalam relasi-relasi antar manusia yang kerap terjadi, gengsi memiliki dua sisi. Pertama adalah sisi defensif, dan kedua adalah ofensif.

Lantas, apa yang perlu di-defensif-kan atau di-ofensif-kan dari seorang individu? Tentu saja, harga diri.

Setiap individu, saya kira, tak lepas dari persoalan takar-menakar harga diri. Yang sejatinya, atau bahkan tak sejati pula, frasa “harga diri” ini amat kelabu dan subjektif. Apa yang dihargai? Dan bagian mana dari hidup anda yang membuatnya amat sensitif bagi orang lain?

Jawabannya bisa beragam. Seseorang dengan masa lalu yang menurutnya buruk akan menilai hal itu sebagai “harga diri”. Dan lantas, ia tak serta-merta membicarakannya dengan orang lain. Atau seseorang yang punya pengalaman tak mengenakkan tak akan terbesit untuk membahasnya untuk selamanya.

Bahkan ketika pengalaman itu terjadi pada orang-orang terdekatnya. Atau, secara klise dan sederhana, seperti kisah karangan Austen, seringkali kita lebih mudah mengatakan “Aku membenci orang itu” daripada “Aku mencintai orang itu”.

Tidak tidak, ini bukan melulu soal relasi romantis macam Darcy dan Elizabeth. Ini soal umum. Relasi umum dengan setiap orang tanpa tendensi kisah cinta picisan.

Dari sosok Darcy, saya menyadari memang sudah bawaan lahir bahwa seseorang memang lebih luwes mengatakan hal negatif pada orang lain. Sebaliknya, amat sulit mengakui bahwa orang lain itu lebih baik dari yang kita duga.

Di sisi lain, terkadang kita seperti Darcy, yang lebih memilih untuk mencela orang lain daripada mengatakan hal baik tentangnya. Apa pasal?

Bisa jadi, kita — — saya dan anda — — hanya sekadar gengsi. Tak mau mengakui kehebatan orang lain. Atau bahkan tak mau begitu saja mengakui kalau kita terkesan dengan orang lain. Karena sekali lagi, lebih mudah mencari pesaing daripada kawan untuk berkolaborasi.

Saya pernah mengalaminya, setidaknya saat SD. Seperti kisah cinta-cinta monyet pada umumnya, saya membenci satu orang sambil menyukainya di dalam hati. Dasar konfliknya cukup klise, ia adalah saingan utama saya dalam memperebutkan posisi peringkat pertama di sekolah. Meski saya tak memiliki obsesi soal peringkat ini, tapi di lain hati saya tak suka jika orang ini melulu menjadi juara. Dan dengan sialnya, ia tak menganggap saya sebagai pesaing terdekatnya. Dia, lebih sial lagi, amat baik kepada saya.

Saya bisa jadi amat gengsi untuk sekadar mengerjakan tugas kelompok dengan orang itu. Atau sekadar bermain lompat tali bersama. Akibat gengsi itu, mau tak mau saya terus tertekan. Terlebih, perasaan tak suka ini hanya searah. Ia sama sekali tak terlihat memiliki perasaan yang sama. Hal itu justru membuat saya kalut dalam gengsi. Bagaimana bisa, orang itu tak menyadari kalau saya tak menyukainya.

Suatu kali, saya memilih berhenti untuk tak menyukainya dalam hal persaingan itu. Dan sebagai gantinya, saya menempatkan perasaan yang lain padanya. Yang tak bukan adalah rasa suka. Suka dalam artian tertarik untuk sekadar berkawan dan bekerja sama.

Impresi pertama yang saya terima dari perkawanan itu adalah perasaan luar biasa. Saya merasa genap. Tak lagi ganjil. Kami sering bekerja dalam kelompok. Berangkat ke perlombaan tingkat daerah sebagai sebuah tim. Dan saling mengucap semangat saat pengumuman nilai akhir. Ia tersenyum dan saya pun tersenyum.

Lalu, saya lupa tentang seberapa besar gengsi yang pernah saya tumbuhkan terhadapnya. Bahkan, di beberapa kesempatan, ia mengakui kelihaian saya dalam beberapa aspek kognitif dan psikomotorik. Yang menurut saya, itu adalah hal tertinggi dari sebuah persaingan. Yaitu, pengakuan.

Saya dan dia kemudian tak pernah bertemu lagi setelah kami lulus. Perlombaan terakhir yang kami ikuti bersama pun seingat saya tak berakhir baik. Tapi ia, sekali lagi tak pernah nampak gusar atau menyesal. Lain halnya saya, sudah tentu saya bakal mengutuki apa yang saya lihat karena suatu kegagalan. Ia lantas menjadi cermin dan kaca bagi saya. Tempat saya merefleksikan diri, sekaligus tempat saya mengintip kehidupan.

Barangkali kita sering lupa, cermin dan kaca berbeda sifat. Cermin bersifat memantulkan cahaya. Sedangkan kaca meneruskan cahaya. Dan begitulah saya juga lupa, bahwa orang lain menjelma kedua hal ini dalam satu kesempatan.

Saya ingat, beberapa kali saya pernah membuatnya menangis, dengan kejailan saya tentu saja. Sebabnya sepele, saya tak begitu suka dengan kepositifan mutlak yang ia miliki. Ia senantiasa tersenyum, tersenyum, dan sialnya terus tersenyum. Kepada saya dan kepada semua orang. Bagaimana mungkin ada seorang yang seperti itu dalam dunia yang tak adil ini? Kala itu, saya benar-benar tak terima.

Seperti yang pernah saya alami, gengsi pada umumnya hasil dari cerminan tak sempurna dari seorang individu. Kita senang sekali menolak keberadaan diri, denial terhadap suatu ide atau suatu perasaan. Menolak dan menerima dalam satu waktu. Namun tentu saja, menolak lebih mudah daripada menerima. Atau lebih tepatnya, acapkali kita menolak dengan harapan tawaran itu muncul dua kali. Kita sesekali memilih pergi agar dikejar.

Tapi semua orang yang seperti itu belum tentu seberuntung Darcy dan Elizabeth yang dibikin Jane Austen dengan happy ending itu. Beberapa di antara kita, mungkin seperti saya. Yang baru menyadari bahwa gengsi hanya menyebabkan kita terjerumus pada penyesalan. Atau sebuah kedengkian yang tak berujung. Bahkan, bukan tak mungkin hal itu hanya menambah tubir-tubir denial yang kita tolakkan pada diri kita sendiri.

Anda bisa bilang bahwa anda tidak menyukai teratai yang ditawarkan Si A, tapi Anda tetap penasaran dengan teratai itu. Hingga kemudian, ketika gengsi Anda sudah luruh, Anda mengharapkan Si A menawarkannya kembali. Sial, Si A telanjur menganggap bahwa Anda tak menyukai teratai. Harapan Anda hanya tinggal harapan, hilang selamanya.

Bagi Elizabeth, Darcy bisa saja menjadi cerminan dirinya. Tapi di satu sisi, Darcy juga seperti kaca bagi Elizabeth. Begitu pula sebaliknya. Bukannya saling memahami refleksi dari cermin atau meneropong masa depan melalui kaca, mereka terjerumus pada gengsi. Ketidaksukaan yang lebih merajalela, daripada kasih yang menenggelamkan.

Keduanya boleh jadi berujung pada air mata. Namun, setahu saya tak ada cermin yang lebih jujur daripada air mata.

Untuk itulah mengapa Darcy, dengan sekuat kegetiran yang ia rasakan, — — baik karena gengsi dalam diri, maupun kebencian Elizabeth yang sebegitu rupa — — mengatakan bahwa ia hanya mengingat hal-hal baik dan indah di masa lalu yang menghiburnya. Sekecil apapun itu, ingatlah.

Dengan demikian, ingatan-ingatan masa lalu yang buruk tak lagi jadi persoalan. Bukan urusan berdamai dengan hal itu. Namun lebih pada bagaimana kita memilah dan memilih ingatan yang lebih menyenangkan. Baik untuk dibagi, maupun untuk disimpan sendiri.

Sebab, bisa jadi ingatan buruk membawa kita pada gengsi berlebih. Lalu kealpaan untuk merefleksikan diri hingga tak mampu menelisik masa yang akan datang.

Kita, sama halnya orang lain, adalah cermin dan kaca bagi setiap orang. Tempat di mana bayangan diri kita termaktub dalam ingatan orang lain. Atau keberadaan kita menjadi tanda untuk meneropong waktu mendatang.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet