… dan Pada Bermulanya Luka

Algonz Dimas B Raharja
8 min readFeb 18, 2025

--

The Mend the Broken, You Must First See the Wound” by Aria Fawn (Source: https://www.ariafawn.com/prints-and-merchandise/p/to-mend-the-broken-you-must-first-see-the-wound-art-print)

Matamu boleh saja buta. Tetapi, hidung dan indra perabamu harus bekerja sama

— Ratih Kumala, Gadis Kretek (2012, halaman 233)

Dalam beberapa kesempatan akhir-akhir ini, saya kerap dipertemukan dengan pertanyaan dan perdebatan bilamana seseorang yang pernah keliru akan tetap dianggap salah. Pertanyaan ini, jika boleh di-breakdown, berada pada ruang waktu berbeda di mana kekeliruan dan langkah yang dipilih berada di masa lampau, dan sebaliknya judgment tentang kekeliruan ini berada di masa kini, kiwari.

Kita — baik saya maupun anda — memiliki ruang dan waktu yang mungkin tidak beririsan di suatu hari, dan lantas beririsan di waktu selanjutnya. Kita bisa melakukan tindakan atau keputusan yang keliru pada sudut pandang tertentu, dan tepat pada sudut pandang lain. Tergantung bagaimana waktu memberi validasi atas alasan tindakan tersebut. Kita bisa memutuskan untuk berbohong dalam suatu momen dengan pertimbangan-pertimbangan, karena hal itu yang paling tepat dilakukan, meski tak selalu benar. Di waktu lain, keputusan ini mungkin bisa dihakimi sebagai hal yang keliru, karena telah berbohong, dengan alasan apapun. Lantas, bagaimana kita menyikapi nilai dari kedudukan “benar” dan “salah”?

Hal pertama yang mungkin perlu kita renungkan adalah tidak ada orang yang benar-benar bebas nilai. Manusia ialah keabu-abuan. Benar dan salah tidak selalu memiliki nilai baik dan buruk.

Daniel Whiting (2013) dalam risalahnya berjudul “The Good and the True (or the Bad and the False” menyebut bahwa “truth” atau kebenaran bukanlah suatu nilai, tetapi properti, materi. Kita kerap kali beranggapan atau percaya bahwa segala kebenaran adalah hal baik. Tetapi, bukankah kebenaran adalah materi, bukan nilai. Mempercayai bahwa kebenaran adalah baik, sama halnya melegitimasi bahwa jika ada pihak lain yang menganggap suatu materi itu sebagai “false” maka ia adalah jahat (bad). Whiting lantas menyimpulkan bahwa dalam menilai “truth” dan “false” diperlukan adanya instrumen “beliefs” atau keyakinan. Instrumen ini menentukan nilai dari kedua klausa tadi menjadi sebuah konformitas pada masing-masing pemikirnya.

Lantas, apa hubungannya dengan manusia yang abu-abu?

Belakangan, pada akhir tahun 2023, dirilis mini seri berjudul “Gadis Kretek” lewat platform digital Netflix. Mini seri ini ditunjang beberapa aktor kelas A dan menampilkan sedikit ceruk berbeda dibandingkan novel yang diadaptasi. Novel karya Ratih Kumala berjudul “Gadis Kretek” terbit kali pertama pada tahun 2012. Saat itu, novel ini cukup populer karena “lagi-lagi” mengangkat isu Tragedi 1965 dan dampaknya terhadap akar rumput. Meski ada isu tersebut dalam plot utama pengisahannya, namun Ratih Kumala tidak menulis novel ini dengan berat. Alih-alih demikian, Ratih justru menempatkan pengisahan dalam novelnya secara ringan. Namun, apa yang ada di film adalah kisah berbeda, hampir seluruhnya.

Dalam kisah novel, diceritakan ada tiga kakak-beradik (Tegar, Karim, dan Lebas) yang lalu-lalang mencari sosok yang didengungkan ayah mereka saat sakratul maut, yaitu Jeng Yah. Dalam novel, sosok Jeng Yah bukanlah sosok yang kaku sampai-sampai nampak jarang tersenyum seperti dalam mini seri. Selain itu, Jeng Yah dalam novel tak hanya jago dalam meracik saus kretek, melainkan jago pula di urusan dapur. Hal tersebut digambarkan dengan bagaimana ia memilih dan membuat sendiri pilihan jenis makanan untuk prosesi pernikahannya dengan calon suami, Soeraja. Ia memasak dan mencicipi makanan-makanan tersebut jauh hari sebelum undangan pernikahan dicetak.

Di sisi lain, mini seri “Gadis Kretek” menampilkan Jeng Yah sebagai orang yang tegas, kaku, dan rapuh dalam sisi perasaan. Jeng Yah atau Dasiyah merupakan tokoh sentral dalam frasa “Gadis Kretek” maupun produk “Kretek Gadis” yang dibuat oleh pabrik milik Idroes Moeria. Pada pengisahan novel, Dasiyah adalah orang yang pantang tumbang, ia sosok yang ceria dan optimistis. Meski, dalam hal lain ia harus berhadapan dengan Soeraja yang oportunis dan tentu saja merasa dicederai kelaki-lakiannya karena ia menumpang hidup dan bekerja di rumah calon mertuanya.

Perasaan tak layak dan merasa diri perlu membuktikan sebagai “wong lanang” itulah yang nantinya justru menjebloskan Soeraja dalam petualangan hidup lainnya. Tidak salah lagi, ia menjadi sosok yang membuat kisah dalam novel ini menjadi lebih panjang. Pasalnya, Soeraja yang berambisi punya merek kretek sendiri ini mendapatkan modal dari sebuah partai politik. Di mana, kita sama-sama tahu, bahwa partai yang menduduki peringkat empat hasil Pemilu 1955 tersebut, akhirnya tumpas satu dekade setelah kesuksesannya di pemilihan umum tersebut. Soeraja, laki-laki yang ingin menunjukkan kelaki-lakiannya sebagai individu yang berdikari, kuat, dan mandiri tersebut, justru nyatanya kehilangan cintanya, Dasiyah.

Dalam novel, tidak ada cerita bahwa Dasiyah bertemu Soeraja di stasiun kereta dan lantas hendak kabur membangun hidup baru dan meninggalkan tanggung jawab pada keluarga masing-masing. Mereka memang saling bertukar kisah, namun yang tersampaikan adalah kejujuran, “truth”. Soeraja pada novel membertitahu Dasiyah bahwa dirinya selamat atas kejadian pasca 1965 dan tinggal di Kudus. Dasiyah bersyukur atas hal itu, karena baginya yang terpenting adalah keselematan Seoraja. Bahkan, ketika Soeraja bercerita bahwa ia hendak menikahi Purwanti, Dasiyah menerima hal itu. Namun, hal yang membuat Dasiyah marah adalah ketika ia mengisap kretek “Djagad Raja” dan mendapati resep saus kreteknya sama persis dengan saus racikannya untuk “Kretek Gadis”.

Dasiyah, yang digambarkan lebih luwes dalam novel, amat marah ketika ia mendapati resep saus kreteknya digunakan Soeraja untuk membuat merek kretek lain. Dasiyah yang dilumat amarah diceritakan lantas pergi ke Kudus dan menemui Soeraja hingga memukul kepalanya dengan semprong petromaks. Dasiyah puas lalu pulang. Pertemuan dan kerinduan itu usai dengan cara seperti itu. Tak seperti di mini seri, yang bahkan menggambarkan bahwa Soeraja bersiap minggat meninggalkan istri dan tiga orang anaknya dengan “masa lalu belum usai”-nya.

Singkat cerita, Soeraja di akhir hayat merasa perlu meminta maaf pada Dasiyah karena ia mencuri resep saus “Kretek Gadis”. Keinginan untuk meminta maaf ini tentu saja telat jauh, mengingat Soeraja telah menjadi konglomerat sukses di bidang kretek. Dalam pengisahan novel, ia bahkan telah dianggap sebagai salah satu”raja” di bidang kretek dan berhasil membawa kreteknya dari Kudus ke Jakarta. Sedang di sisi sebaliknya, perusahaan yang dibangun oleh Idroes, ayah Jeng Yah, dengan produk andalan “Kretek Gadis” tak berumur panjang. Bahkan, saat Lebas, Karim, dan Tegar mencari informasi tentang kretek ini di Kota M, kretek tersebut hanya bisa ditemukan di toko milik seorang Tionghoa renta nan antik.

Kota M atau Muntilan digambarkan lewat sudut-sudut penanda geografis oleh Ratih Kumala di dalam novelnya. Kota yang sejatinya adalah salah satu kecamatan dari Kabupaten Magelang ini terletak di antara Yogyakarta dan Magelang. Kota ini digambarkan sebagai kota transit baik barang, sayur-mayur, maupun harapan-harapan lain bagi pelaju Yogyakarta-Magelang-Temanggung-Semarang. Kawasan ini adalah sudut paling timur dari segitiga emas penghasil tembakau di Jawa Tengah. Temanggung tentunya menjadi primadona tembakau, kemudian disusul oleh Magelang sisi barat. Karesidenan Kedu yang dulunya meliputi Magelang, Muntilan, Purworejo, Wonosobo, dan Temanggung ini memang menjadi salah satu pionir industri kretek di Jawa.

Arif Iksanudin (2018) dalam risalah “Perkembangan Perkebunan Tembakau di Karesidenan Kedu Tahun 1836–1900” menulis bahwa menurut catatan ahli botani Georg Eberhard Rumphius, pada tahun 1650 telah berkembang perkebunan tembakau di empat daerah di Pulau Jawa yaitu Kedu, Bagelen, Malang, dan Pariangan. Jauh sebelum itu, beberapa ahli seperti Bernard Vlekke, Edmund Scott, dan Augustin Pyramus de Candolle meyakini bahwa tembakau di Indonesia muncul seiring dengan kolonialisme, lebih tepatnya saat Spanyol mulai membawa tembakau dari Meksiko ke kepulauan Filipina pada tahun 1575. Tembakau sendiri diyakini baru ditanam dan dipanen di kepulauan nusantara pada tahun 1601. Kebiasaan mengisap kretek sendiri sudah masuk ke istana raja-raja Mataram pada tahun 1624 hingga pada 1656 VOC mulai menaikkan tarif impor tembakau dari 10 persen ke 20 persen.

Dalam novel dan mini seri, digambarkan bahwa industri kretek melibatkan pembagian ruang kerja bias gender di mana seorang perempuan dilarang berada di ruang pembuatan saus kretek. Tempat perempuan dalam industri ini adalah melinting tembakau. Sedangkan pembuatan saus kretek merupakan ranah eksklusif laki-laki. Namun, dalam pertentangannya, Jeng Yah memang diceritakan mampu mendobrak tradisi ini dan melahirkan “Kretek Gadis”.

Kembali ke bagaimana Soeraja meminta maaf.

Pertama, ia adalah laki-laki oportunis yang mudah tergores nilai kelaki-lakiannya. Sikapnya digambarkan secara letterlijk dalam novel sebagai seorang oportunis dan sedikit ambisius. Ia merupakan seorang yatim piatu yang bekerja sebagai kuli angkut di pasar Kota M. Selanjutnya, ia bekerja di pasar malam dan membantu para pemilik bedak untuk membuka stand mereka serta meringka barang-barang jualan. Di dalam mini seri, pertemuan Soeraja dan Jeng Yah digambarkan saat Soeraja sedang baku pukul di tengah pasar. Sebaliknya, di dalam novel, Jeng Yah bertemu Soeraja layaknya pasangan muda lain, berawal dari tatap. Jeng Yah menaruh perhatian pada kerajinan dan kesigapan Seoraja. Oleh karena itu, keduanya pun bertemu. Lantas, Soeraja diajak untuk bekerja di pabrik kretek milik Idroes Moeria, ayah Jeng Yah.

Kedua, saat usaha kretek Idroes mulai berkembang, peran Soeraja ikut berkembang karena ia rajin dan taktis. Hanya cukup waktu singkat untuknya menjadi seorang mandor. Begitu pula waktu untuk menumbuhkan benih-benih kasih antara ia dan Jeng Yah. Keduanya lantas berkolaborasi dalam membuat saus kretek, di mana Soeraja menyiapkan bahan dan Jeng Yah mengeksekusi campuran-campurannya. Hingga kemudian, terciptalah “Kretek Gadis”.

Ketiga, saat Soeraja telah mendapat restu Idroes untuk meminang anaknya, ia menjadi gamang. Di dalam novel, diceritakan bahwa ada karyawan pabrik yang bergunjing tentang Soeraja si mandor. Di mana pergunjingan tadi meliputi kondisi Soeraja yang hanya “menumpang” di rumah Idroes. Tidur di pabrik, makan ikut calon mertua, dan bahkan menikah pun kelak akan dibiayai oleh mertua. Soeraja merasa kehilangan “kelaki-lakiannya” saat ia mendengar pergunjingan tersebut.

Keempat, saat ia tertarik dengan tawaran dari sebuah partai politik yang tengah gencar berkampanye untuk menjadi pemodal bagi perusahaan rokok barunya. Soeraja adalah orang yang oportunis, sehingga apapun kesempatannya, ia akan ambil. Soeraja pun lantas memulai bisnis kretek mandirinya dengan “Kretek Arit Merah”, satu hal yang tidak dibahas dalam mini seri. Produk ini adalah yang lantas membuat Soeraja menjadi bulan-bulanan dan pelarian pasca malam nahas 1965.

Kelima, Soeraja dihadapkan pada pilihat etis, di mana ia telah diselamatkan oleh Soedjagad dan putrinya, Purwanti. Dibawa ke Kudus, dirawat, diberi pekerjaan, hingga memberikan hak yang sama atas merek kretek “Djagad Raja”. Ia membangun merek kretek nomor wahid di zamannya ini dengan resep saus kretek yang dibuat Jeng Yah pada “Kretek Gadis”. Sungguh oportunis sejati. Ia mengorbankan asumsi Jeng Yah jika mengetahui ia “mencuri” resepnya, dan sekaligus merelakan cintanya.

Keenam, Soeraja tidak tenang sepanjang hidup.

Enam pokok ini menjadi sumber kesalahan Soeraja pada Jeng Yah. Di mana dalam momen ini Soeraja diselamatkan oleh Soedjagad dan Jeng Yah diselamatkan oleh Sentot, seorang tentara anak dari pemilik perusahaan kretek “Boekit Kelapa” yang sempat melamar Jeng Yah. Dalam mini seri, Sentot diganti dengan nama Seno Aji.

Namun, semua hal ini dilakukan Soeraja bukan tanpa alasan. Bahkan hampir semuanya bermuara pada satu hal, bertahan hidup.

Di salam mini seri, Soeraja ditampilkan seperti orang bingung. Ia bahkan sudah memilih meninggalkan istri dan tiga anaknya untuk kabur bersama Jeng Yah di Kota M. Namun di novel, Soeraja tetap taklid pada keputusannya menikah dengan Purwanti maupun melanjutkan usaha “Kretek Djagad Raja”. Ia dan Jeng Yah menyudahi korespondensi pasca Jeng Yah datang ke malam sebelum pernikahannya dengan Purwanti dan memukul kepalanya dengan semprong lampu petromaks pada dahinya. Luka itu, adalah luka abadi, di mana Soeraja merasa diri layak atas hal tersebut.

Luka pada dahi Soeraja akan senantiasa menjadi penanda bahwa ia telah kehilangan cinta dari Jeng Yah, sekaligus kepercayaan atas apa-apa saja yang dititipkan padanya, dalam hal ini adalah racikan saus untuk “Kretek Gadis”.

Dalam mini seri, Soeraja seolah tidak merasa diri layak atas luka. Luka pertama adalah saat Jeng Yah memukul dahinya dengan vas bunga dan kedua adalah saat ia mendatangi Kota M pasca pertemuan dengan Jeng Yah. Pertemuan itu, menurut saya, adalah pertemuan tak layak bagi seorang yang tengah membesarkan tiga orang anak dan hidup bersama seorang istri. Namun, Soeraja dalam mini seri tampak naif, ia kembali ke Kota M dengan harapan bisa melanjutkan hidup dengan Jeng Yah. Nahas, Jeng Yah tak pernah muncul.

Perjalanan Jeng Yah dan Soeraja adalah persoalan luka dan pilihan. Beberapa dari kita memilih luka karena acapkali terlalu mendengarkan apa yang orang lain katakan terhadap hidup kita. Mereka hanya beranggapan bahwa pendapat mereka dapat mengatur langkah kita ke depan. Padahal, apapun yang kita pilih dan jalani adalah tanggung jawab kita. Orang lain tidak akan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan kita sebagaimana kita yang mengusahakan kehidupan. Setiap orang memiliki ego, tapi yang menerima luka adalah individu.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet