Amarah dan Pengasingan
“The mark of the immature man is that he wants to die nobly for a cause, while the mark of the mature man is that he wants to live humbly for one.”
— Jerome D. Salinger, The Catcher in The Rye (1952), pg. 244
Jika ditanya novel paling kontroversial yang pernah Saya baca, tentu saja pilihan jatuh pada The Catcher in The Rye-nya J.D. Salinger. Terlepas dari fakta bahwa novel ini menjadi bacaan “favorit” para pembunuh orang-orang terkenal. Salah satu yang populer adalah saat Mark David Chapman — penembak John Lennon — mendewakan novel itu hingga berdelusi layaknya tokoh Holden Caulfield dalam novel itu.
Chapman mungkin salah satu orang yang benar-benar memasukkan dirinya pada sebuah novel. Dan celakannya, novel yang penuh amarah dan huru-hara kata-kata tak senonoh itu menjadi salah satu motif pembunuhan Lennon. Pun saat 8 Desember 1980, Chapman dengan santai masih menemui Lennon di apartemen The Dakota dekat Central Park, New York dalam sebuah sesi promosi label rekaman Lennon. Sekitar pukul lima sore waktu setempat Chapman memberikan salinan album kelima Lennon dan Yoko Ono — Double Fantasy — untuk ditandatangani oleh sang bintang. Lima setengah jam kemudian, Chapman menembak Lennon saat sang musisi dan istrinya — Yoko Ono — baru turun dari sebuah limosin dan beranjak ke apartemen di Manhattan. Setengah jam kemudian pelantun lagu Imagine itu tewas di Roosevelt Hospital.
Rasa frustrasi dan kecewa dengan Lennon adalah motif utama Chapman. Sebagai penggemar Beatles kunci setang, Chapman kecewa dengan langkah Lennon dan pandangannya. Terlebih saat Lennon mengeluarkan sebuah kalimat populernya saat wawancara sebuah televisi pada Maret 1966 yang berujar bahwa “Beatles lebih populer dari Yesus”. Pernyataan kontroversial Lennon ini masih lagi ditambah dengan rilisnya “Imagine” pada 1971 yang secara terang-terangan mengkritik keberadaan faktor-faktor “segregasi” manusia, di antaranya agama. Chapman yang merupakan seorang mantan pecandu dan tobat menjadi Presbyterian taat — atau fanatik — menaruh label “komunis” pada lagu Imagine ini.
James R. Gaines dalam artikelnya di majalah daring People menuliskan bahwa lagu “Imagine” yang bertema perdamaian justru menjadi sumber amarah bagi Chapman. Di tengah perjalanannya menjadi seorang agamawan, Chapman lantas salinan novel The Catcher in The Rye dari seorang kawan yang lantas menjadi manifestonya. Buku kumal itu bahkan dengan santai ia tawarkan kepada polisi saat ditangkap. Buku itu lantas dijadikan salah satu motif utama prosesi pembunuhan sang mega bintang Inggris itu. Kendati Chapman memang telah menaruh “dendam” begitu lama terhadap Lennon, namun dorongan amarah lewat isi novel karangan J.D. Salinger itu sukses membikin ia — seorang yang bercita-cita menjadi misionaris itu — sebagai pembunuh.
Selain kasus Chapman, beberapa pembunuh lain juga kedapatan membaca atau memiliki salinan novel ini. Beberapa di antaranya adalah Robert J. Bardo — pembunuh model dan aktris Amerika Serikat, Rebecca Lucile Schaeffer — dan John Hinckley Jr. — penembak Presiden Ronald Reagan di Washington D.C. pada 30 Maret 1981.
Lain daripada kasus-kasus kriminal yang dilatari novel The Catcher in The Rye tentu masih ada hal-hal subtil yang lebih koheren untuk dibahas. Salah satunya adalah sebuah kalimat panjang yang Saya letakkan di awal.
Dalam kisah Holden Caulfield, kalimat tersebut ditulis oleh seorang mantan guru bahasa Inggrisnya bernama Mr. Antolini. Mr. Antolini adalah seorang yang disebut Holden sebagai guru terbaiknya. Ya meningat latar pengisahan Holden yang tak lain seorang pelarian dari sebuah sekolah berasrama eksklusif, tentu hal ini menarik.
Pertama, tentu karena di tengah kebengalannya di sekolah dan asrama, Holden masih memiliki sosok guru yang ia hormati dan tentu ia akui. Kedua, adalah hal eksternal yang melatari penggunaan kutipan oleh Salinger lewat Mr. Antolini. Dijelaskan oleh Mr. Antolini bahwa kutipan — yang Saya pakai di pembuka tulisan — itu berasal dari seorang psikoanalisis bernama Wilhelm Stekel. Isinya adalah soal keinginan mati dan tujuannya. Tokoh Stekel ini nyata tentunya. Pun pengisahaan Holden yang dibuat Salinger ini berkisar pada era pasca berakhirnya Perang Dunia II, di mana tatanan sosial, masyarakat, dan keluarga di AS juga masih belum mulus. Tentu karena banyak anak muda tak pulang atau malah pulang dan menjadi veteran dengan tekanan mental yang panjang.
Kembali ke Wilhelm Stekel. Tokoh ini hanya disebut Mr. Antolini, namun Saya lantas penasaran. Alasan rasa penasaran ini adalah bahwa Stekel yang merupakan murid pertama dan utama dari Yth. Bapak Sigmund Freud ini mati bunuh diri karena depresi. Dan sudah barang tentu Mr. Antolini memberikan kutipan ini secara cerdas kepada Holden secara sadar. Kira-kira, dalam alih bahasa sederhana berarti bahwa,
“Ciri manusia yang belum dewasa adalah bahwa ia ingin mati dengan mulia karena suatu tujuan. Sedangkan, tanda dari orang dewasa adalah ia ingin hidup rendah hati untuk seseorang”
Namun, setelah melakukan pencarian iseng tentang risalah-risalah Stekel tak ditemukan kalimat tersebut. Bahkan seorang pensiunan profesor Sastra Inggris bernama Peter G. Beidler sempat menuliskan jurnal ilmiah soal hal ini pada 2013. Beidler menemukan bahwa Salinger melakukan parafrase dari sebuah kutipan Stekel yang juga berasal dari parafrase lain merujuk pada karya sastrawan Jerman, Otto Ludwig. Intinya tetap sama, yaitu masih tentang pilihan-pilihan yang tepat untuk mati.
Dalam penelusuran “serius”-nya Beidler menemukan bahwa frasa itu dipakai oleh psikoanalis asal Austria itu dalam buku Zentralblatt für Psychoanalyse und Psychotherapie yang terbit tahun 1912. Jurnal babon tentang ilmu psikoanalisis yang langsung disunting oleh Yth. Sigmund Freud itu memuat salah satu tulisan Stekel yang mengutip kalimat dari karya novela Otto Ludwig berjudul Maria (1842). Kalimat Ludwig itu berbunyi,
“Das Höchste, wozu er sich erheben konnte, war, für etwas rühmlich zu sterben; jetzt erhebt er sich zu dem Größern, für etwas ruhmlos zu leben”
Dalam terjemahan bebas setidaknya kalimat di atas berarti,
“Hal tertinggi yang bisa dia capai adalah mati dengan mulia untuk sesuatu; sekarang dia naik menjadi yang terbesar, untuk hidup mulia untuk sesuatu”
Kutipan Ludwig ini ditemukan pula pada buku Gedanken Otto Ludwig (Pemikran Otto Ludwig) yang terbit di Leipzig pada 1903. Dalam buku yang disunting Cordelia Ludwig itu kutipan di atas terdapat pada halaman 10. Melalui fakta ini, maka sahih bahwa frasa yang diberikan Mr. Antolini pada Holden adalah parafrase Salinger atas kutipan Ludwig. Dan Stekel mungkin memang memopulerkan frasa tersebut lewat jurnalnya “The Final Results of Psychoanalysis Treatment” yang ditranslasikan dan disunting James S. van Teslaar dalam bunga rampai jurnal psikoanalisis berjudul An Outline of Psychoanalysis (1925).
Penyebutan nama Stekel dalam The Catcher in The Rye menimbulkan beberapa pikiran mengenai intensi Salinger dalam membentuk kisah bertajuk psikologis. Sekaligus, tokoh Holden juga seperti dibuat se-realis mungkin untuk New York di masa itu. Penggambaran sudut-sudut kota dan amarah yang meledak-ledak dari seorang muda membuat segalanya mungkin, termasuk keinginan bunuh diri. Meski, dalam kisah Stekel, ia bunuh diri pada usia senja — 72 tahun — di London dengan menenggak aspirin karena penyakit prostat dan diabetes yang menyiksa.
Sedangkan Holden hanyalah seorang anak muda yang tak suka dengan segala kepalsuan — yang ia sebut Phony — dan memandang segala hal dari sisi negatif. Holden yang beranjak menuju 17 tahun mengalami kehancuran total di bidang akademis saat semua nilainya di Pencey Preparatory Academy Pennsylvania. Kecuali di bidang Sastra Inggris, Holden memang benar-benar muak dengan sekolah. Terlebih pertengkarannya dengan kawan seasramanya — Ward Stradlater — membuat ia tak lagi nyaman. Persaingan asmara dengan Stradlater dan juga sikap acuh tak acuh kawan-kawan di asrama membuatnya lebih bersemangat untuk pergi ke New York. Ia membenci kepalsuan (phonies) dari para anak-anak keluarga kaya di Pencey.
Seperti pada umumnya pemuda-pemuda tanggung yang muak dengan kehidupan metropolis, Holden menelantarkan dirinya pada kebebasan New York. Di masa pasca perang, Holden benar-benar “menikmati” kemerdekaan dengan menginap di hotel mewah, mengikuti pesta dansa, dan tentu meniduri pelacur. Tak hanya itu, Holden sempat bersitegang dengan seorang germo bernama Maurice yang merasa perlu memorot uang Holden sedemikian rupa.
Di tengah sinisme kehidupan yang dijalaninya dalam pelarian, Holden masih menyimpan sosok “rumah” dalam hatinya. Sosok itu tak lain adalah adiknya, Phoebe. Di mana ia harus mengendap-endap seperti pencuri untuk pulang ke rumahnya untuk menemui Phoebe. Bahkan ketika ia berjalan di Broadway dan mencari kaset rekaman berjudul “Little Shirley Beans”. Rekaman lagu anak itu bercerita tentang seorang anak yang tak isa ke luar rumah karena dua gigi bagian depannya rontok. Dari sini nampak kepolosan Holden sebagai kakak muncul begitu saja. Pun fakta bahwa kaset lagu anak itu disebut cukup langka dicari.
Kedua saudara lain dari Holden yaitu D.B. — seorang penulis — dan Allie — yang ia sebut sebagai penyihir; meninggal karena leukimia— tak memiliki kedekatan serupa relasi Holden dengan adik perempuannya, Phoebe ini. Meski begitu, sosok D.B. yang tinggal di Hollywood amat berjasa karena bersedia ditumpangi si bengal Holden. Sebagai penulis sukses dengan harta melimpah, D.B. pun tak lepas dari sebutan “phonies” atau sosok dengan penuh kepalsuan. Dalam sekujur cerita nampaknya hanya Phoebe satu-satunya individu yang tak dikatai oleh Holden sebagai orang dengan kepalsuan.
Di sisi lain, Mr. Antolini yang telah pindah mengajar kelas Sastra Inggris di New York University menjadi tempat Holden menjemput kepenatan batin. Tapi tetap saja, prasangka terhadap orang lain — bahkan termasuk orang yang ia kagumi — justru menjauhkan Holden dari ketenangan. Dia sempat menumpang di rumah Mr. Antolini untuk mendekatkan jangkauannya dengan rumah — tentu hanya untuk menemui Phoebe — dan sesekali berdiskusi tentang apa saja. Relasi Holden-Phoebe yang amat polos menjadi gambaran bagaimana seorang pemarah sekalipun memiliki tempat untuk meneduhkan hati. Seperti saat di bagian akhir Holden mengirim surat pada Phoebe untuk bertemu di museum untuk sekadar memberikan hadiah Natal.
Bagian terpenting dari sisi Holden adalah saat ia menyadari betapa ia mengingat kawan-kawan seasramanya hingga Maurice si germo di bagian akhir. Pada merekalah ia secara tak sengaja meluapkan segala sesuatu — baik kisah maupun hasrat lainnya — dan kepada mereka pula perasaan rindu berlabuh.
“Don’t ever tell anybody anything. If you do, you start missing everybody”, begitu kata Holden di kalimat terakhir kisahnya. Kita tak bisa menolak bahwa pada setiap orang yang kita benci terdapat pula ingatan kembali pada mereka. Begitu pula ketika Holden mengingat Stradlater, kawan seasramanya yang mengencani gadis pujaan Holden. Stradlater yang pernah menerima bogem mentah dari Holden dan lantas dibalas dengan KO itu tetap ada dalam ingatan Holden. Mereka ada dalam setiap langkah-langkah mandeg dari rencana-rencana Holden.
Dan satu lagi umpatan terkenal dari Holden adalah “Goddam money. It always ends up making you blue as hell”, yang tentu langsung Saya validasi sebagai permasalahan mendasar bagi anak muda — dan bahkan semua orang — .
Pertikaian Holden dengan dirinya sendiri memang sepintas membuat kita membenci karakter tokoh utama ini. Mungkin bagi sebagian besar orang, Holden bukan role model atau protagonis yang indah seperti halnya kisah-kisah lain. Namun Holden adalah Holden dan Salinger juga tak salah dengan membuat segala sesuatunya amat realis. Kita tak akan menemukan drama menjemukan menyoal salah dan benar dalam The Catcher in The Rye. Malahan, dalam setiap persoalan-persoalan Holden — yang sebenarnya ia buat sendiri — kita bisa melihat bagaimana anak muda polos dalam berbagai hal, baik dalam membenci, mencintai, dan menikmati kebebasan.
Tentu, The Catcher in The Rye tak menyajikan romansa-romansa anak muda yang sudah dibahas oleh ribuan novel lain. Namun, percaya atau tidak, kita akan menemukan apa yang disebut dengan realisme amarah. Sebuah kenyataan yang bisa saja menimpa siapa saja. Tentu saja, latar belakang keluarga Holden yang sebenarnya baik-baik saja — dan berkecukupan — menjadi soal lain. Namun ketakutan dan kebuntuan pikiran anak muda dalam berbagai aspek hidupnya layak disandingkan dengan kisah Holden. Beberapa dari kita sulit menerima suatu hal dan mengalirkannya pada amarah.
Pun dalam amarahnya, Holden tanpa sadar terjerumus pada alienasi. Sebuah pengasingan dari dirinya sendiri. Dari akar kehidupannya. Yang bilamana ia tak kabur dari asrama tentu akan menekannya. Anehnya, dari segala alienasi yang ia ia tuju, Holden masih bisa berpikir cerdik dan sesekali menaruh perasaan manisnya pada Phoebe, adiknya. Di sela amarah dan sikap negatif, sinis, dan sesekali nihilis itu, Holden menyimpan keberadaan dirinya. Menyimpan apa yang disebut solilokui. Di mana Salinger dengan sukses menempatkan narasi tokoh utama orang pertama dalam kisah ini.
Langkah Salinger ini menempatkan Holden sebagai satu-satunya empunya cerita dalam kisah ini. Persetan dengan orang ketiga, orang kedua, dan segalanya. Kisah ini hanya milik Holden semata. Hanya ia dan deru dendam yang ia imanilah yang menghidupkan kisah ini. Terkadang, tanpa sadar kita juga menghidupi kehidupan dengan perasaan-perasaan negatif seperti Holden. Hanya saja, sebagian dari kita tak acuh terhadap perasaan seperti itu, dan secara munafik mencoba berpikir dari sisi positif. Padahal, tak ada salahnya kita menghadapi segala sesuatu dengan negatif. Toh, salah benarnya sesuatu bernilai sama. Tapi mungkin tak semudah itu menjadi Holden, tak semudah itu hidup dengan perasaan negatif.
Kewaspadaan, kebencian, dan rasa ingin marah di setiap waktu berdetik tak selamanya memuaskan. Tak selamanya mengenakkan. Tak selamanya pula menjengkelkan. Beberapa orang mengalami hal ini, rasa ingin marah setiap saat. Atau sampai-sampai tak sadar bahwa marah menjadi nama tengahnya. Bagi orang yang malas marah, tentu berhadapan dengan Holden ini seperti menghadapi seseuatu yang stagnan, seperti batu nisan. Bahkan batu nisan pun tak sestagnan itu. Namun bagi orang pemarah, atau memiliki masalah kehidupan rumit tanpa bisa mengelolanya, bertemu sosok Holden sensasinya seperti sebuah kembang api yang siap tersulut. Meledak.
Mungkin itu yang dialami beberapa pembunuh dan psikopat lain seperti Chapman. Holden adalah sosok yang menyukai kehidupan di ambang, atau di antara. Jauh dari tempat nyamannya dan senantiasa menanyakan ketetapan nilai dari kehidupan. Segalanya menjadi sahih untuk diberi umpatan jika Anda hidup seperti cara Holden menyikapi kehidupan. Tak butuh kehancuran keluarga, ekonomi, dan lingkungan sosial, Holden hanya butuh pikiran setengah matang untuk menilai segala sesuatu di sekitarnya adalah kepalsuan semata.
Tak ada yang orisinil di dunia ini. Baik Anda atau Saya, kita atau mereka, tanpa sadar terbenam dalam kepalsuan-kepalsuan ini saban hari. Nampaknya, Holden menyadarinya lebih dahulu.