Memilih Pilihan Terpilah
“We changed again, and yet again, and it was now too late and too far to go back, and I went on. And the mists had all solemnly risen now, and the world lay spread before me”
— Charles Dickens, Great Expectations (1891), pag. 226 Ch. 19
Seperti pada umumnya manusia, setiap pilihan dipilih bukan untuk menentukan, tapi mempersulit langkah. Orang memilih tak membuat jendela pada rumahnya agar debu tak masuk dengan liar, tapi pengap melanda tanpa diminta. Setelah membuat jendela, pengap mereda angin meraja, tapi debu dan kotoran masuk perlahan lewat celah-celahnya yang longgar. Begitu pula kawanan rayap dan hewan-hewan lain merasa nyaman tinggal pada kusen-kusennya yang hangat.
Pilihan senantiasa menawarkan kerancuan. Sebab, ia seringkali tercipta bukan untuk mendefinisikan kepastian. Ia hanya hadir untuk menetapkan suatu ketidaktetapan pandangan pada suatu hal yang dikira tepat untuk kondisi faktual. Hasilnya, pilihan-pilihan akan berubah. Mereka akan menjadi liar seperti ilalang yang tumbuh tanpa penghalang. Atau seperti ceracau buah-buahan di hutan yang tumbuh tanpa pernah ada pengganggu. Sampai akhirnya beberapa dari kita sadar, bahwa pilihan bukan suatu hal yang ajeg. Ia begitu saja melenggang dan berdendang saat kita mulai meratap atas penyesalan.
Seperti tokoh Pip dalam novel — yang bisa disebut sebagai magnum opus-nya Dickens — Great Expectations ini. Pilihan Pip dan apa yang datang kepadanya adalah sesuatu yang tak bisa ditolak, pun memang sulit juga untuk diabaikan.
Entah mengapa Dickens seperti gemar sekali membikin kisah tentang anak yatim-piatu. Mungkin karena pengalamannya menjadi anak setengah yatim saat ayah Dickens dibui karena masalah utang. Tapi tentu saya tak begitu peduli dengan hal-hal itu. Sebab, seperti yang umum diketahui bahwa sosok Dickens adalah ahli dalam urusan menghidupkan tokoh-tokoh fiktif.
Kebanyakan tokoh yang dilahirkan Dickens di era Victorian itu menjadi abadi di jutaan pembacanya. Baik itu seorang anak kecil hingga — mungkin — lulusan sastra. Saya berasal dari yang pertama — tentu saja karena bukan lulusan sastra — saya hanya mengenal Dickens dari karyanya sedari kecil. Untuk hal ini saya berterima kasih kepada jiwa introver saya yang terpendam. Sebab kalau tidak ada hal itu, saya tak mungkin mengenal Dickens yang buku-bukunya sudah usang dan terlantar di perpustakaan sekolah. Meski, saya akui bahwa menjadi introver adalah pilihan bagi saya. Setidaknya untuk saat-saat tertentu saja, karena selebihnya — secara jujur — saya juga tak suka dengan orang introver.
Sebagai permulaan, jiwa introver saya muncul saat saya malas bertemu teman-teman sewaktu sekolah dasar. Langkah pertama yang saya lakukan adalah membaca. Membaca apa saja yang terserak di perpustakaan. Kebanyakan adalah soal sejarah dan novel klasik, dan tentu majalah olahraga zaman lawas. Selepas itu jiwa introver menuntun saya pada musik. Ibu saya adalah pendengar radio yang cukup handal. Hampir dua puluh empat jam sehari, tujuh hari seminggu, radio selalu menemani. Saya pun tercebur pada irama, apa pun itu. Lantas terbentuklah subduksi introver saya yang pertama, yaitu membaca dan mendengar musik. Terkhusus untuk buku-buku sajak seperti Kahlil Gibran dan Chairil Anwar yang saya temukan di rak buku ibu saya.
Karena sebetulnya saya bukan sosok yang introver-introver amat, maka tentu saya suka berkawan dengan banyak orang. Dari sana, saya tahu bahwa tak semua kawan saya suka membaca. Tapi setidaknya, beberapa dari mereka suka musik. Sulit mencari kawan yang gemar membaca, apalagi jika bacaan Anda adalah hal-hal berbau klasik dan fiksi, apalagi sejarah. Kalau bacaan motivasi dan jurus menjadi kaya, kalau itu lain cerita. Sebab tak banyak anak di negeri ini yang betah membaca fantasi fiksi, tapi justru betah membaca fantasi bernada motivasi. Ya bukan apa-apa, sebabnya depresi lebih nikmat daripada imajinasi bukan?
Nah, selepas sekolah dasar jiwa introver menuntun saya pada hal yang dikatakan grup musik Dewa sebagai “di dalam keramaian aku masih merasa sepi”. Tapi kali ini saya sengaja melakukannya. Yaitu menyepi di tengah keramaian asrama. Berbeda dengan kawan-kawan sewaktu sekolah dasar yang gemar bermain, di asrama ini hampir semua anak membaca. Tentu saja, bacaan mereka beragam. Tapi baru kali itu saya bertemu seorang anak SMP membaca novel-novel Marga T. padahal tahun sudah masuk kisaran 2007 ke atas. Tak mau kalah, saya pun menghabiskan waktu membaca terbitan Balai Pustaka, hampir semua. Sudah pasti, bahasa khas Melayu dari penulis-penulis — yang kebanyakan dari Minang dan Medan — itu menghujani imajinasi saya. Jiwa introver mengajak saya mengenal Sumatra dari sebuah kursi perpustakaan asrama di ujung timur Pulau Jawa.
Setelah masa itu, jiwa introver mengajak saya kembali menuju kegiatan-kegiatan tak jelas lainnya. Kali itu pilihan jatuh pada menulis. Mulanya, kegiatan menulis adalah wajib hukumnya untuk anak asrama karena kami disuruh membuat refleksi saban malam. Refleksi ini seperti buku harian anak asrama. Mungkin, agar pengurus asrama tahu keluh-kesah anak-anak didiknya. Dan lebih gila lagi, mereka membaca itu satu per satu. Namun lambat laun, bercerita tentang keseharian membuat kami bosan. Tulisan yang tadinya panjang-panjang lambat laun makin jarang. Bahkan seorang kawan hanya menulis dua kalimat yang intinya ia malas belajar dan ingin tidur saja. Tentu saja kawan tadi langsung jadi bulan-bulanan di meja makan. Tapi lantas, saya memilih bersajak.
Refleksi harian kerap saya tulis dalam sajak-sajak semenjana yang jika ditelaah lagi, kosakatanya banyak menjiplak kitab suci. Tapi saya tak pernah kena marah. Mungkin karena membawa lema-lema kitab suci. Siapa juga yang berani marah dengan kitab suci. Andai kita semua berkesempatan menulis kitab suci, tak ada yang bakal memarahi kita seumur hidup.
Dari menulis sajak ini, jiwa introver saya makin bertumbuh. Di sela tiga perempat hari lebih berjiwa ekstrover dan berangasan, setidaknya ada satu jam menjadi introver. Saya menulis cerita kali pertama. Tak butuh waktu lama sampai tulisan tangan di sebuah buku khusus itu saya bakar di tong sampah sekolah. Sebabnya klise, karena saya berkisah bahwa orang yang saya sukai — cinta monyet tentu saja — justru berbahagia dengan orang lain. Saya sadar bahwa Marah Rusli, HAMKA, dan kawan-kawannya menanamkan doktrin “kasih tak sampai” ini pada saya. Sial mereka.
Selepas itu, saya mulai menulis lirik-lirik lagu bersama grup musik di sekolah. Kali ini introver cukup menyenangkan dan bersahabat. Melalui nada-nada yang kebanyakan ngawur — karena pikiran saya berkorespondensi secara tak sengaja dengan Koes Plus — maka terciptalah beberapa lagu. Satu di antaranya sukses menghantarkan grup musik kami menjadi yang terpopuler di sekolah. Tentu saja, ini bukan sekolah bergengsi di kota besar. Tapi tetap saja, pilihan untuk membuat jam-jam introver ternyata produktif juga.
Lambat laun, jam-jam introver saya sebut sebagi ruang pengosongan diri. Di mana saya yang berteman dari segala lini kalangan harus merasakan kesendirian. Bukan apa-apa, karena pada dasarnya toh kita semua terlahir dan mati dalam kesendirian bukan?
Dalam perjalanan ini, tentu saya bertemu dengan orang-orang introver profesional. Di mana beberapa di antaranya memiliki tampang serupa. Pertama adalah murung. Kedua adalah pendiam. Ketiga, — entah kenapa — berkacamata. Saya tak begitu bisa mendekati sosok-sosok Jedi Master dalam hal introver ini. Baik di asrama maupun di sekolah, kalangan ini seperti punya dunianya sendiri. Entah bagaimana mereka menjalaninya, namun rasanya sejam atau dua jam menjadi introver saja sudah melelahkan. Ya, walaupun produktif. Saya menaruh hormat kepada mereka ini.
Kemudian hari, saya perlahan mengerti bahwa menjadi introver pun sebuah pilihan. Seperti yang saya lakukan saban malam atau dini hari, atau saat saya menyendiri di perpustakaan. Bahkan seperti yang dilakukan para profesional tadi. Mereka — baru kemudian saya tahu — memilih introver karena berbagai alasan. Paling umum karena sikap skeptis, tak mau basa-basi, dan jalan pikiran yang berbeda. Tapi tak jarang, beberapa di antaranya memilih introver karena urusan psikologis yang ia bawa dari rumah. Ya, memang rumah tak senantiasa menjadi rumah bagi sebagian orang.
Memilih untuk tak banyak berteman adalah pilihan yang sulit, menurut saya. Bahkan saya tak habis pikir ketika melihat salah satu kawan — seorang introver profesional — hanya berteman dengan maksimal tiga orang saja selama tiga tahun sekolah menengah pertama. Dibandingkan dengan saya yang bahkan berteman dengan empat angkatan sekaligus, plus anak dari sekolah lain, tentu ini tak sebanding. Tapi saya lantas sadar bahwa setiap pilihan memiliki kata “cukup”-nya sendiri. Ada yang merasa cukup berkawan dengan segelintir orang, dan ada yang belum pernah merasa cukup meski berteman dengan orang dari seperempat wilayah Indonesia misalnya.
Pilihan-pilihan ini selalu tak mutlak. Meski di awal kita menjadikannya mutlak dan — seperti kata Pip dalam Great Expectations — kita harus terus berjalan menyambut dunia yang terbentang di depan, kita tak pernah tahu kapan pilihan itu pudar. Kepastian saat ini adalah ketidakpastian di masa mendatang. Pilihan saat ini adalah awal dari pilihan-pilihan lain di masa depan.
Pip atau Philip Pirrip adalah sosok yatim piatu yang tinggal di sebuah rawa-rawa dekat Kent, Inggris. Sebagai anak yatim-piatu ia tinggal bersama kakak perempuan dan suaminya yang sedikit lamban berpikir. Kakak perempuan Pip, Georgiana Maria — sering disebut sebagai Mrs. Joe — adalah seorang pemarah dan penyakitan. Georgiana mewarisi nama ibu mereka yang meninggal bersama ayah dan lima saudara Pip yang lain. Suami Georgiana, Joe Gargery adalah seorang pandai besi yang buta huruf. Meski begitu, Dickens cukup adil dengan memberikan sifat penyayang pada Joe. Ia adalah sosok yang justru nampak seperti saudara kandung Pip.
Pip kecil telah memilih sedari awal. Meski tentu saja ia tak bisa memillih untuk menjadi yatim-piatu atau bukan, namun Pip memilih untuk belajar. Ia belajar membaca dan berbagai hal. Ia juga memiliki harapan besar untuk mengubah nasibnya di masa depan.
Novel ini diawali dengan situasi menegangkan saat Pip tengah berkunjung ke makam keluarganya dan menemui seorang pelarian narapidana tak bernama. Pelarian itu meminta makanan dan minuman pada Pip di tengan suasana Desember yang dingin. Pip lantas mencuri pai daging babi dari kakak perempuannya dan sebotol brandy. Sepuluh halaman pertama novel ini diawali dengan alur cepat dan menegangkan. Terutama setelah polisi setempat mendatangi pesta di keluarga Joe — yang gagal karena istri Joe kehilangan pai dan brandy — untuk mencari pelarian kapal penjara yang disebut “Hulks”.
Terpidana itu belakangan bernama Abel Magwitch yang merupakan ayah dari Estella, pujaan hati Pip. Abel harus dihukum karena konspirasi penipuan dengan Compeyson dan Arthur Havisham kepada Ms. Havisham. Estella kemudian diangkat anak oleh Ms. Havisham setelah tragedi pernikahannya — dengan Compeyson — yang gagal. Lewas Ms. Havisham yang setengah stress namun kaya raya inilah Pip dan Estella bertemu. Begitu pula ia bertemu sahabatnya, Herbert Pocket yang cerewet dan tak bisa diam.
Di luar lingkaran keluarga kaya nan problematis itu Pip memiliki Joe, kakak iparnya yang baik budi tapi sedikit tolol. Begitu pula ia mengenal Biddy, seorang gadis sepantarannya yang terkenal tahu segalanya. Biddy menyukai Pip sedari kecil, saat mereka terlibat dalam sekolah anak-anak di mana Biddy menjadi pengajar di tempat itu. Sekolah yang dimiliki nenek Biddy itu menjadi satu-satunya tempat pendidikan di desa Pip. Namun pertemuan Pip dengan Estella di rumah Ms. Havisham — yang disebut Satis House — membuat Biddy sedikit patah hati.
Hubungan antara wilayah kaya dan miskin ini dihubungkan oleh Mr. Pumblechook, seorang bujangan profesional — alias lapuk — yang merupakan pedagang jagung sekaligus paman Joe Gargery. Melalui sosok ini, Dickens menghubungkan dan membangun ekspektasi besar seorang Pip. Mr. Pubmlechook lah yang mengenalkan Pip pada Ms. Havisham di Satis House. Perempuan setengah gila yang terus mengenakan gaun pengantinnya itu memang sedikit misterius namun kekayaan dan rumah megahnya — atau lebih tepatnya seram — itu mampu mempertahankan kedudukannya sebagai sosok terhormat.
Dari hubungan-hubungan ini, Pip mulai mendapat asa memperbaiki hidup. Meski lantas ekspektasi pertamanya bubar ketika Ms. Havisham mengirim Estella ke luar negeri untuk bersekolah dan menjadikannya seorang “well mannered woman”. Sedangkan Pip harus rela kehilangan kisah kasihnya yang dini. Ia kembali membantu Joe sebagai pemandai besi hingga setelah cukup dewasa ia kedatangan seorang pengacara London bernama Mr. Jaggers. Sosok ini adalah jembatan kedua — setelah Mr. Pumblechook — yang dipakai Dickens untuk menempatkan ekspektasi besar seorang Pip.
Melalui Mr. Jaggers, Pip mendapat sebuah kesempatan untuk menjadi seorang “gentleman” di London. Seluruh kebutuhan dan uangnya diberikan oleh sosok misterius yang namanya tak boleh ditanyakan. Pip pun berangkat ke London dan meninggalkan Joe serta Biddy di desanya. Dengan ekspektasi besar dan seorang dermawan — yang belakangan adalah Abel Magwitch — Pip mulai mengubah hidupnya.
Namun nahas, perjalanannya di London justru mendekatkan Pip pada akhir dari ekspektasi besarnya. Di mana lantas ia kehilangan Estella karena dinikahi oleh rekannya dalam sebuah klub pria jantan di London, kematian Ms. Havisham, dan juga saat ia tahu bahwa seluruh hartanya adalah hadiah dari Abel Magwitch.
Melalui Abel Magwitch, segala sesuatu yang dibangun di awal menjadi berhubungan. Bagaimana Abel memiliki anak perempuan yang dikiranya telah mati — Estella — lalu ia dihukum empat belas tahun karena konspirasi Compeyson dalam penipuan kepada Ms. Havisham. Dan lantas ia mencoba lari dari kapal penjara dan bertemu dengan Pip kecil. Lalu ia dibuang ke daratan New South Wales, Australia dan menjadi kaya. Kekayaannya dikirimkan melalui pengacaranya — Mr. Jaggers — untuk diberikan pada Pip. Dan lantas saat ia kembali ke London sebagai seorang pelarian, ia turut bangga melihat Pip menjadi seorang pria terhormat.
Nahas, keniscayaan itu bubar seketika saat Abel dikejar-kejar polisi atas bantuan Compeyson. Usaha untuk melarikan diri yang gagal justru menghantarkan Pip ikut dalam huru-hara Abel Magwitch. Segala asetnya disita dan Abel dihukum mati. Meski lantas Abel menghembuskan nafas terakhirnya di penjara saat Pip bercerita bahwa putrinya masih hidup dan Pip begitu mencintai putri Abel yang tak lain adalah Estella.
Ekspektasi Pip pada akhirnya tak sesuai dengan apa yang ia katakan di akhir Bab 19. Kutipan itu saya tuliskan di bagian awal tulisan ini. Kabut yang telah bangkit dan tersingkap menuju kehidupan baru itu terpaksa mundur kembali. Ekspektasi pertama Pip yang berjalan hampir dua puluh bab itu musnah. Semakin parah ketika ia harus menanggung banyak utang selepas seluruh harta Abel ditangguhkan. Ia lantas ditinggal Herbert ke Kairo dan sempat sakit-sakitan. Hingga kemudian ia menemui surat-surat utangnya telah lunas. Di tengah keberadaannya di London, Pip masih diperhatikan oleh seorang pandai besi miskin di Kent yang membayar seluruh utangnya. Sosok Joe menjadi pahlawan di bagian akhir.
Di tengah patah hatinya — baik cinta dan harta — , Pip akhirnya pulang ke desanya. Ia teringat pada Biddy yang dulu mencintainya. Ya, seperti umumnya lelaki sialan yang patah hati dan kembali pada sosok pasti, ia berkehendak menikahi Biddy. Tapi sekali lagi, Dickens mampu membuat tragedi menjadi tak manusiawi. Biddy yang rencananya hendak dilamar justru tengah mempersiapkan pernikahannya dengan Joe Gargery. Di mana Pip tak akan bisa mengelak lagi bahwa seluruh kehidupannya runtuh.
Pip berterima kasih pada Joe dengan sedikit sakit hati karena Biddy. Dan ia berjanji untuk mengembalikan segala utangnya setelah kembali dari Mesir. Beruntung, Herbert dan istrinya tengah membangun bisnis bagus di Kairo, Pip pun bekerja hingga sebelas tahun di Kairo.
Kisah ini ditutup dengan kembalinya Pip dari Kairo. Ia bertemu Joe dan Biddy beserta anak-anaknya — di mana salah satunya dinamakan Pip Jr. — dan tentu saja Estella yang sudah menjanda.
“I have been bent and broken, but — I hope — into a better shape”
Kalimat di atas diucapkan Pip dengan bijak saat Estella meminta maaf atas tindakan tak berperasaannya sejak kecil di Satis House dan saat ia menikah dengan lelaki lain. Mereka berdua berjalan di reruntuhan Satis House untuk kali terakhir. Dan kemudian Pip menutup kisah dengan parafrase dari kalimat ekspektasi yang saya kutip di atas, namun dengan bentuk lain.
“I took her hand in mine, and we went out of the ruined place; and, as the morning mists had risen long ago when I first left the forge, so, the evening mists were rising now, and in all the broad expanse of tranquil light they showed to me, I saw no shadow of another parting from her”
Dickens mencoba mempersonifikasi reruntuhan Satis House dengan kehancuran yang sama seperti dirasakan Pip dan Estella secara individu. Penggambaran kabut sebagai penutup langkah dan penghambat masa depan kembali dipakai untuk menarik ulang ingatan tentang semangat Pip mengubah masa depannya di masa lalu. Di mana kala itu ia berangkat ke London dengan sumringah tanpa tahu bahwa di sanalah segala kisah menjadi rumit hingga akhir.
“We are friends”, kata Pip.
“And will continue friends apart”, tanggap Estella menutup cerita.
Sialan Dickens, begitu tegarnya ia mematahkan hati seseorang dengan begitu remuk. Tapi tentu inilah Dickens, ia nampak tak pernah suka roman yang berjalan baik-baik saja. Ia lebih suka menelaah perjalanan seseorang tanpa diganggu oleh urusan cinta picisan. Persoalan individu yang dibuat Dickens dalam setiap tokohnya lebih berat daripada semua urusan perasaan itu. Bagaimana Estella memang dididik untuk tak berperasaan oleh Ms. Havisham yang kecewa dengan seorang pria — Compeyson meninggalkannya tepat di hari pernikahan — dan akhirnya berakhir dengan Estella yang keras hati. Begitu pula Pip, si yatim-piatu dengan banyak harapan.
Keduanya — Pip dan Estella — tumbang dan bangkit tanpa pernah menyatukan perasaaan. Sebab tujuan Dickens adalah soal pilihan-pilihan kehidupan yang lebih subtil untuk dilalui.
Baik Pip maupun Estella, atau bahkan Anda dan saya, tentu punya pilihan-pilihan dan prinsip tertentu dalam hidup. Tak segan kita beradu tegang dengan prinsip dan realita. Seperti prinsip Estella yang tak menaruh harapan apa pun pada Pip, meski sebaliknya Pip menaruh harapan besar padanya. Atau saat Joe merelakan Pip pergi ke London, dan di bagian akhir ia tetap berprinsip bahwa Pip adalah keluarganya dan ia harus membantunya saat Pip kesulitan. Atau Biddy, yang mencintai Pip begitu rupa, meski Pip mencintai Estella, dan tak berubah pendirian saat Pip datang tepat saat ia akan menikah dengan Joe.
Atau bahkan Georgiana istri Joe yang juga kakak perempuan Pip. Ia tahu bahwa Pip adik satu-satunya, dan ia juga punya keluarga yang dihidupi. Meski dengan berat hati dan marah saban hari, ia memilih untuk merawat Pip. Atau seperti Ms. Havisham, yang meski mengalami depresi begitu rupa tetap mau memelihara Estella sedari kecil. Semua tokoh dalam kisah Great Expectations memiliki rimanya sendiri. Pun Abel Magwitch yang memilih menggelontorkan uangnya untuk “menghidupi” Pip, meski ia sendiri akhirnya mati merana.
Namun tentu saja, tak banyak dari kita bisa taklid dalam pilihan-pilihan tak mengenakkan seperti yang ada pada tokoh-tokoh di atas. Beberapa dari kita mudah bengkok. Memilih hanya agar tak dikira sebagai orang tak berpendirian atau sebagainya. Sebab demikian, tak ada pilihan yang mengenakkan. Satu atau dua pilihan itu memiliki risiko dua kali lebih banyak. Tak ada pilihan tanpa risiko. Begitu pula tak ada perjalanan tanpa sebuah beban dan halangan. Kita ahli dalam memilah, tapi belum tentu mampu memilih. Sebab, memilah adalah membedakan satu sama lain, sedangkan memilih adalah menentukan mana yang terbaik — atau dirasa pantas — dari satu sama lain tadi.