Mencari Keberadaan Dalam Ketiadaan
“This is not a story of heroic feats, or merely the narrative of a cynic; at least I do not mean it to be. It is a glimpse of two lives running parallel for a time, with similar hopes and convergent dreams”
— Ernesto Guevara, “The Motorcycle Diaries: Notes On A Latin American Journey”, (2003, pg. 40)
Pernah suatu ketika saya menyadari, atau lebih tepatnya meyakini, bahwa perjalanan ke tempat-tempat asing adalah sebuah peziarahan batin. Setidaknya hal ini masih saya amini hingga saat ini. Meski, tempat-tempat asing yang tadinya hanya berupa tanda tanya itu lambat laun berpaling dan menjadi enggan.
Saya tumbuh dari satu tempat jauh ke tempat jauh lainnya. Meski lahir di Kota Malang, saya baru benar-benar tinggal di kota itu pada usia lima tahun. Bahkan, saya baru merasa benar-benar mengenal kota ini; baik jalan tikus hingga kulinernya; baru-baru ini, di usia 25 tahun. Kota ini bisa saja menjadi awal dari segala hal yang saya sebut “pencarian diri”. Saya merasakan keberadaan, kehilangan, pertemuan, dan kemudian rasa enggan di kota ini. Saya tidak menemukan apa yang disebut Ernesto Guevara sebagai “revolucia” di kota ini, tapi saya mengawali hal itu dari kota ini.
Peziarahan saya sebelum tertambat secara asal di Malang adalah sebuah perjalanan panjang. Lima tahun yang panjang terjadi atas diri saya saat itu. Dua tahun pertama hidup saya berlatarkan sebuah kawasan pedesaan tak jauh dari pusat Kabupaten Bantul di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di sana, semua berawal dan berakhir, tentu saja hal ini merujuk pada keluarga saya yang nahasnya tak berjalan baik. Masa-masa hidup di Bantul ini saya lupa sama sekali karena memang masih bayi, sehingga fakta-fakta ini hanya saya kenal dari penuturan berbagai pihak. Bak seorang detektif, menemukan kisah tentang dua tahun indah di Bantul ini adalah sebuah obsesi bagi saya sedari duduk di bangku sekolah dasar.
Setelah dari Bantul, saya mulai bisa mengingat hal-hal di masa kecil saat berada di Merauke. Ya benar, Merauke adalah salah satu dari empat titik batas negeri yang dikenal lewat sebuah lagu nasional. Kota di bagian selatan Irian Jaya (nama Papua saat itu) ini menjadi tempat bermain saya sewaktu kecil. Saya lupa tepatnya berada di mana, namun saya tinggal bersama kakek dan nenek serta ibu saya di sana. Beberapa tahun kemudian saya baru tahu bahwa kakek dan nenek saya meninggalkan rumahnya di Jawa untuk ikut program transmigrasi yang memang sedang gencar digalakkan di era Orde Baru.
Tak khayal, saat di Merauke, kawan-kawan saya juga banyak yang berasal dari Jawa. Hanya segelintir dari mereka yang merupakan orang setempat. Adapun beberapa dari mereka, kebanyakan terlihat sungkan bergaul dengan kami “anak-anak transmigran” ini. Butuh waktu hampir dua dasawarsa kemudian untuk saya memahami perasaan mereka sebagai orang tempatan yang tanah moyangnya diberikan negara pada pendatang macam saya dan keluarga saya. Sungguh berat, bahkan saya masih ingat bagaimana dua kehidupan antara transmigran dan warga setempat seperti terpisah garis imajiner.
Saat itu, hanya ada satu momen di mana para transmigran bisa berada dalam lingkup yang sama dengan warga tempatan, yaitu saat Natal di gereja setempat. Bagi transmigran Katolik seperti kakek saya, hal ini bisa jadi nilai lebih untuk dapat mengenal warga tempatan tanpa sekat. Sebabnya, seingat saya tak begitu banyak transmigran lain; yang tak ke gereja; nampak akrab dengan warga tempatan.
Tak bisa disangkal memang, jika dalam proses perpindahan penduduk skala besar macam transmigran begitu akan menimbulkan prasangka-prasangka tertentu. Kasus ini tak hanya terjadi di Merauke — tempat keluarga kami tinggal saat itu — tetapi juga di tempat-tempat lain di mana warga tempatan kedatangan pendatang yang tiba-tiba mendapatkan tanah dan pekerjaan dari pemerintah. Konon, beberapa tahun setelah saya kembali ke Pulau Jawa kasus gesekan antar penduduk ini terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah.
Lantas, bagaimana dengan Che?
Memang, Amerika Latin di era Che tak terdengar sebuah kebijakan perpindahan penduduk formal oleh pemerintah. Namun, Che menemukan apa yang lantas kita kenal sebagai hasil dari gentrifikasi.
Dalam perjalanannya berkeliling Amerika Latin semasa pendidikan dokternya, Che dan kawannya Alberto Granado bertemu seorang pelarian politik Chile di gurun Atacama. Salah satu gurun paling kering di benua itu. Seorang pasangan muda itu keluar dari negerinya untuk sekadar “tidak mati” karena kejaran pemerintah Chile lewat Augusto Pinochet yang saat itu berhasil menumbangkan Salvador Allende lewat kudeta militer yang didukung Amerika Serikat.
Che melihat bagaimana “orang-orang asli” Amerika Latin semakin terpojok oleh datangnya pendatang atau setidaknya ide-ide dari negara jauh yang hendak menanamkan pengaruhnya di Amerika Latin.
Tak hanya itu, dalam perjalanan nekatnya naik sepeda motor keliling Amerika Latin itu ia sampai di jantung peradaban Indian kuno di Peru, Machu Picchu. Di kota kuno yang terletak di puncak gunung itu, Che melihat bagaimana sisa-sisa kolonialisme Spanyol di tempat itu. Perusakan fisik dan budaya akibat penjajahan bangsa asing itu membuat Che iba dan berpikir lebih jauh daripada pemuda Latin di masa itu.
Di masa Che berpetualang bersama Granado, Amerika Latin memang berada di antara dua kuasa besar pasca Perang Dunia Kedua. Sama halnya dengan negara-negara berkembang lain yang terkena imbas perang dunia, negara-negara Amerika Latin juga tengah di ambang revolusi. Beberapa di antaranya berhasil “dikuasai” Amerika Serikat lewat serangkaian operasi atau kudeta yang umumnya didukung militer. Tak terkecuali Argentina, Bolivia, Chile, dan beberapa lainnya.
Dalam perjalanan pertamanya itu, Che dan Granado yang kala itu masih muda berakhir di sebuah koloni lepra di tepian Amazon, tepatnya di San Pablo, Peru. Di sana, Che yang seorang calon dokter ini menemukan bagaimana rakyat Amerika Latin amat jauh dari cukup untuk dapat merdeka dari berbagai hal, terutama kemiskinan dan penyakit. Ia sadar dan tahu lewat mata kepalanya sendiri bahwa tanah nenek moyangnya itu belumlah benar-benar layak untuk disebut sebagai tanah kebebasan.
Perjalanan adalah pertapaan batin. Begitu kiranya yang bisa saya dapat dari buku catatan perjalanan Che Guevara dan Granado ini. Kutipan awal buku ini saya tulis di atas, di mana Che menggambarkan ada dua kehidupan yang ia temui dalam perjalanan. Meski begitu, ia yakin bahwa dua kehidupan ini secara pararel memiliki mimpi dan tujuan yang sama. Memang, Che tak mengatakan apa tujuan dan impian itu, tapi saya yakin bahwa hal yang dimaksud adalah kemerdekaan, kebebasan.
Perjalanan yang saya lalui sedari kecil hingga saat ini mungkin tak seberapa dibandingkan Che yang mengelilingi Amerika Latin dua kali seumur hidup, atau bahkan jika ditotal dengan masa gerilya yang ia lalui di Kuba dan Bolivia sepertinya lebih panjang lagi. Namun, saya merasa memiliki kesepahaman yang sama dengan Che yakni perjalanan adalah permenungan, dan permenungan ini mengubah sudut pandang diri.
Pertama kali saya sadar atas eksistensi saya adalah ketika berada di Merauke. Itu hal paling awal yang saya ingat tentang diri saya hingga saat ini. Meski, sebelumnya saat bayi hingga usia sekitar dua tahun, saya berada di Bantul, sebuah kabupaten di selatan Kota Yogyakarta. Dari sana ingatan saya hilang. Mungkin, masa dua tahun itu adalah keindahan yang hanya bisa saya bayangkan tanpa teringat apapun, samar pun tidak. Bagi saya, ingatan hidup saya bermula di Merauke.
Perihal Merauke adalah sebuah pengalaman yang sejatinya menggembirakan bagi saya. Sebab, siapa kira anak balita dari Jawa bisa terjerembab di tengah perkampungan transmigran di Tanah Merah dekat perbatasan negeri. Saya pun tak mengira Merauke sejauh itu hingga kemudian saya harus menghabiskan seminggu penuh di atas kapal Tatamailau yang membawa saya dan ibu saya kembali ke Jawa. Ditambah, saya makin kaget kalau Merauke itu ujung negeri ketika guru sekolah dasar menjelaskan bahwa Indonesia terbentang dari Sabang hingga Merauke. “Gila”, pikir saya saat itu.
Saya menghabiskan kelas nol kecil taman kanak-kanak di Merauke. Di mana, saya masih ingat bahwa jikalau musim penghujan tiba, maka sungai-sungai besar di tempat itu akan meluap.
Hal pertama yang saya suka adalah saat sungai meluap maka ikan-ikan sungai berukuran besar akan terangkat ke jalan raya, lalu mereka begitu saya menggelepak di jalanan. Kami — anak-anak — tak perlu kesusahan menangkap ikan itu. Pengalaman bak “tanah surga” ini tak pernah saya alami lagi hingga saat ini.
Hal kedua yang saya ingat dari musim penghujan di Merauke adalah jembatan tenggelam. Lebih tepatnya, ini jembatan yang harus dilalui saat saya dan ibu saya menuju taman kanak-kanak. Saat itu, sebagai anak kecil saya punya keriangan tersendiri untuk masuk sekolah. Tentu, kalau hal ini terjadi saat saya dewasa mungkin saya akan berpikir dua ratus kali untuk berangkat sekolah di tengah banjir yang menenggelamkan lantai sekolah itu.
Taman kanak-kanak di Merauke saya jalani hanya setahun. Bangunan sekolah itu sederhana dan hanya terdiri dari dua ruangan kelas dan satu ruang guru dengan papan kayu. Para ibu akan menunggui anak-anaknya di halaman sekolah, bahkan saking antusiasnya terkadang mereka melongok lewat jendela kelas yang tak berkaca.
Sekolah pertama saya itu hanya memiliki satu ayunan sebagai mainan. Kami harus mengantre untuk dapat bermain ayunan itu. Tentu saja, lebih banyak dari kami yang berakhir menangis daripada tertawa riang bermain ayunan.
Di perkampungan transmigran itu saya ingat hanya ada beberapa rumah yang punya televisi. Rumah yang memiliki televisi adalah milik seorang juragan gabah, tepat di seberang rumah kakek. Entah karena alasan apa, banyak rumah yang lebih besar tapi tak memiliki televisi. Namun, keadaan ini membuat warga setempat nampak lebih guyub untuk menonton televisi bersama. Ibu-ibu akan menghabiskan waktu di malam hari menonton sinetron “Tersanjung” yang tak ada habisnya itu. Di sisi lain, bapak-bapak mendapat jatahnya di hari Minggu siang saat acara tinju dunia mengudara di TVRI.
Beberapa hal itu masih saya ingat. Bahkan, di usia yang belum sampai lima tahun itu, saya masih menyangka bahwa Lulu Tobing dan Ari Wibowo adalah suami istri. Saya baru tahu kemudian bahwa mereka hanya lawan main dalam sinetron.
Selain hal ini, hiburan di perkampungan transmigran saat itu adalah layar tancap. Biasanya, hiburan ini diadakan menjelang hari kemerdekaan. Di mana malam itu berbondong-bondong para ibu akan membuka lapak mereka di keramaian. Saya masih ingat bagaimana nenek saya menghadirkan sajian Es Dawet di tengah keramaian di Merauke itu. Mungkin saat itu semua keramaian ini hanya dirasakan sesama transmigran saja, karena seingat saya hampir tidak ditemui warga tempatan di setiap keramaian ini.
Bahkan, sebagai anak kecil, saya hampir tak punya teman seorang anak Papua asli. Seolah kami dididik untuk berjarak dengan mereka. Waktu itu, kami tak tahu kenapa, namun stereotip yang ada adalah mereka dianggap suka mengambil barang-barang milik transmigran. Pernah suatu kali, burung peliharaan kakek saya dan layang-layang milik saya raib. Burung itu lantas tak tahu rimbanya, namun layang-layang saya ketemu karena saat itu hanya layang-layang milik saya yang berbuntut. Layang-layang ini saya temukan dimainkan oleh seorang anak bernama Markus, orang Merauke. Ia lari saat saya dan ibu saya datang.
Keluarga Markus adalah salah satu yang bertetangga dengan kami, meski jarak rumah antar tetangga ini bisa dibilang lebih dari dua ratus meter. Meski tak seberapa jauh jarak rumah kakek dan rumah ayah Markus, namun seingat saya hampir tak ada komunikasi intens antara dua keluarga ini kecuali bertemu di gereja.
Salah satu hal yang saya ingat tentang keluarga Markus adalah saat ayahnya terkena gigitan ular. Saat itu, entah bagaimana idenya, luka gigitan ular akan membaik jika diberi garam dengan campuran susu cokelat kental manis. Saya masih ingat betul “kearifan lokal” ini. Meski sampai sekarang saya juga tak paham manfaatnya.
Ingatan tentang Merauke di masa kecil menjadi hal yang kelak menjadi fondasi saya dalam melihat Indonesia. Entah itu masyarakatnya, keragaman budaya, lingkungan, hingga betapa luas wilayahnya. Bahkan, saya masih ingat bagaimana saya punya trauma terhadap kendaraan berukuran besar karena di sepanjang jalan poros Merauke-Tanah Merah saat itu hampir tiap hari truk-truk berukuran besar hilir-mudik di jalan bertanah merah itu. Dan bisa dipastikan, jenis kendaraan ini bisa jadi satu-satunya jenis kendaraan yang paling sering saya lihat di sana.
Pengalaman di Merauke bagi anak seumur saya waktu itu amat berharga. Tergantung bagaimana anak-anak transmigran lain memaknainya. Sebab, setelah pulang ke Jawa untuk melanjutkan sekolah taman kanak-kanak, saya benar-benar mensyukuri pengalaman itu.
Ketika saya berada di kelas nol besar di Jawa, saya melihat banyak perbedaan di sana. Alat permainan melimpah dan kami memiliki seragam yang saya kira bagus, seperti seragam pelaut. Saya begitu gembira di satu sisi, meski di lain saya sedih meninggalkan teman-teman saya di Merauke. Saya merasa belum benar-benar berteman dengan Merauke. Tempat yang hingga kini saya tak pernah kunjungi kembali. Meski ingin mengunjunginya, saya pun tak ingat dan tahu di mana rumah kakek yang dulu kami tempati.
Jika Che dan Granado mendapat petualangan dan teladan dari Amerika Latin melalui sepeda motornya, La Poderosa II, maka saya mendapatkannya dari kakek saya saat di Merauke. Ia mengenalkan saya tentang apa itu Pembebasan Irian Barat, siapa itu L.B. Moerdani yang patungnya terpampang di pusat kota Merauke, dan hal-hal lainnya. Kakek saya pewaris jiwa petualang dalam keluarga besar saya. Jiwa ini kemudian turun kepada dua anaknya, baik paman dan ibu saya. Dan belakangan, hal ini saya warisi. Dari keempat cucunya, saya kira hanya saya yang mewarisi hal ini dari kakek.
Menurut penuturan ibu saya, kakek saya pernah tinggal di Sumatra hingga Irian Jaya. Paman saya pun tak beda jauh, hanya saja belum sejauh Irian Jaya. Ibu saya menambah capaian itu dengan tinggal sebagai pengajar di Bali. Dan lantas saya pun mewarisi sesuatu yang saya katakan sebagai sifat impulsif untuk selalu ingin berpetualang ke tempat baru. Ke daerah yang jauh dari rumah. Ke suatu tempat di mana saya menjadi asing.
Menjadi asing adalah salah satu permenungan yang hendak dibawa Che lewat buku catatan perjalanannya berkeliling Amerika Latin. Ia menyusuri pegunungan Andes hingga ke gurun Atacama dan berakhir di tepian Sungai Amazon. Ia menjadi asing untuk mengenal orang-orang di tanah nenek moyangnya. Menjadi asing di sisi lain akan menumbuhkan sebuah pencarian jati diri. Dalam keterasingan, seseorang bisa jadi mendapati dirinya saat berada di tempat asing.
Individu yang kosong dan tidak memiliki apapun untuk ditampilkan akan lebih mudah mempelajari sekitarnya. Seperti segelas air yang takjub oleh karena derasnya aliran air terjun, demikian seseorang yang pergi ke tempat asing dan mendapati dirinya di sana.
Perjalanan di tengah ketiadaan dapat membentuk sudut pandang seseorang dan menuntunnya menemukan keberadaan dirinya sendiri. Sebuah sudut pandang dalam melihat dunia dari kacamata yang lebih luas dari apa yang ada di sekitar kehidupannya saja, Che telah mendapatkannya. Ia mengimani perjalanan ini sebagai sebuah fondasi berpikirnya untuk menjalani kehidupannya di masa depan.
Kehidupan manusia boleh saja monoton begitu-begitu saja menghamba pada uang dan pekerjaan. Namun perbedaan yang jelas dari tiap-tiap individu manusia terletak pada cara mereka memandang suatu hal berdasarkan pengalaman hidupnya. Kesusahan maupun keriangan di masa lalu akan berdampak pada kesedihan dan kegembiraan di masa depan.
Begitu pula yang hendak digambarkan Che lewat bukunya, dan lantas saya refleksikan dengan perjalanan hidup saya — — lewat satu kasus di Merauke — — di mana perjalanan keluar dari zona nyaman adalah salah satu cara mengubah sudut pandang. Atau bahkan, bisa dikatakan bahwa perjalanan ini justru sebuah cara mendapatkan sudut pandang, bukan mengubah. Kita tak pernah tahu arah kehidupan, tapi kita bisa mempersiapkan diri untuk menuju ke sana. Salah satu caranya adalah dengan menata sudut pandang dalam menanggapi kehidupan.