Mengubur Tunggu, Mengurai Harap
“…all human wisdom is summed up in these two words, — wait and hope”
-Alexandre Dumas, “The Count of Monte Cristo” (1844), Ch. 117, Pag. 1374.
Sejatinya, kalimat di atas adalah anak kalimat dari sebuah kalimat panjang dalam sebuah surat. Surat itu ditulis oleh Edmond Dantes atau Count of Monte Cristo. Ia adalah tokoh sentral dalam novel super klasik yang konon paling banyak dibaca di Eropa. Sebagai penulis Prancis, saya kira Dumas dan asistennya, Auguste Maquet merasa perlu menyajikan rangkaian babak berlatar sejarah yang memenuhi sudut-sudut roman bernuansa pertentangan kelas.
Dumas tidak memakai pertentangan kelas secara vulgar dalam pengisahan jalan hidup Edmond Dantes. Mulai dari pelaut muda dari Marseille hingga menjadi jutawan setelah keluar dari penjara Château d’If. Plot cerita hidup Dantes adalah menanjak, dengan bumbu drama di sana-sini. Pun secara mengejutkan, keseluruhan kisah yang sebenarnya adalah ajang balas dendam ini lantas menampilkan betapa abu-abunya realita. Tidak melulu si jahat akan jahat dan si baik akan baik. Semua punya porsi masing-masing. Seperti halnya manusia memiliki peran masing-masing dalam kehidupan.
Secara historis, Dumas membalut kisah ini dengan latar Restorasi Bourbon pada tahun 1814. Kekalahan Napoleon Bonaparte dari pasukan gabungan Eropa dalam Perang Koalisi Keenam yang berakhir pada Mei 1814 membuatnya harus mengungsi ke Pulau Elba dekat Italia. Kejatuhan Napoleon ini secara langsung mengembalikan tahta Prancis pada Wangsa Bourbon yang sebelumnya telah kehilangan raja terakhir mereka, Louis XVI — — — tewas dieksekusi dengan guillotine pada rangkaian Revolusi Prancis 1793 — — kembali berkuasa dengan raja baru, Louis XVIII.
Meski kekuasaan monarki absolut telah berganti menjadi monarki konstitusional, namun pertikaian politis masih menjadi bara dalam sekam bagi kalangan Prancis. Sayangnya, bagi pemuda kelas pekerja macam Dantes hal itu tak terpikir olehnya.
Dantes menjadi awak kapal dagang Pharaon pada 1810. Kapal ini dimiliki Pierre Morrel dan dipimpin oleh seorang kapten kapal bernama Leclere. Kematian Leclere karena penyakit otak membuat Dantes lantas ditunjuk menjadi kapten kapal termuda se-pelabuhan Marseille kala itu. Morrel menunjuknya karena kinerja Dantes yang baik. Namun nahas, penunjukan Dantes sebagai kapten kapal menyisakan iri dengki dari awak kapal muda lain yaitu Danglars. Danglars yang bertugas mencatat keuangan kapal digambarkan sebagai orang kikir dan sesekali koruptif.
Di sisi lain, Dantes senantiasa menganggap Danglars sebagai kawan tanpa tahu bahwa Danglars amat benci padanya. Sedang di tempat lain, Dantes, seperti pada umumnya pemuda sukses di masa itu, memiliki satu cita-cita yang melebihi jabatannya sebagai kapten kapal. Cita-cita itu tak lain adalah menikahi gadis pujaannya, Mercedes Herrera, seorang gadis Catalan.
Musuh Dantes bertambah karena Mercedes. Sepupu Mercedes bernama Fernand Mondego amat terobsesi untuk menikahi Mercedes. Meski, dalam bagian-bagian awal cerita sudah dijelaskan bahwa Mercedes tak setuju. Selain karena dilarang ibunya, Mercedes juga hanya menganggap Fernand sebagai saudara laki-laki, tak bisa lebih. Melihat pada akhirnya Mercedes memang cinta mati terhadap Dantes, maka tak bisa tidak, Fernand memilih bersekutu dengan Danglars untuk merancang prosesi kejatuhan Dantes.
Tak cukup Danglars dan Fernand. Musuh Dantes bertambah satu lagi dari kalangan aristokrat, yaitu Gerard de Villefort. Gerard mulanya adalah wakil penasihat hukum kerajaan yang menangani kasus fitnah Dantes. Karena dianggap sebagai pengkhianat negara — — berhubungan dengan Napoleon di Elba — — Dantes dibawa ke muka hukum. Namun celaka, barang bukti berupa surat yang diterima Dantes dari seorang jenderal pasukan Napoleon di Elba membuat Gerard bingung. Surat itu ditujukan pada ayahnya, Monsieur Noirtier de Villefort. Di mana ia merasa dikhianati oleh ayahnya yang ternyata simpatisan Napoleon.
Ketika Gerard menanyai Dantes soal ke mana surat itu ditujukan, rasanya kepala Gerard ingin meledak. Di sisi lain ia adalah pelayan kerajaan, dan di sisi lain ayahnya adalah bagian dari konspirator politik yang hendak mengembalikan kekuasaan Napoleon di Prancis. Secara psikologis, Gerard terjepit dalam terali moralitas. Hatinya dipaksa memilih, antara ayahnya atau jabatannya. Dan sudah pasti, dalam kondisi waras pun, manusia memiliki tendensi yang pasti terhadap apa saja terkait dirinya, bukan orang lain.
Gerard memang berhasil mengambil jalan tengah. Tapi tentu saja dengan adanya satu korban, yaitu Dantes. Gerard membakar surat dari Elba yang masih bersegel itu dan mengirim Dantes ke penjara selama-lamanya. Tujuannya agar Dantes — — yang merupakan satu-satunya saksi — — tak membocorkan kongkalikong ini. Terlebih, Gerard mengaku tak mengenal nama Noirtier saat Dantes menanyakan padanya.
Dengan menjanjikan kebebasan, Gerard justru menjebloskan Dantes dalam penjara lepas pantai Marseille, Château d’If. Orang waras mana pun akan berpikir panjang untuk kabur dari penjara berbentuk kastil bertembok tebal itu. Belum lagi, penjara itu berada di tengah laut yang berjarak kurang lebih tiga setengah kilometer dari pelabuhan tua Marseille. Tebing-tebing curam yang melandasi penjara ini pun tak main-main. Intinya, Dantes dibungkam sedalam mungkin di dalam penjara itu.
Nomor 34 adalah nama panggilan Dantes di dalam Château d’If. Atas kelicikan Gerard de Villefort, Dantes dipenjara seumur hidup tanpa tahu apa kesalahannya. Dalam rentang waktu ini, Monsieur Morrel si pemilik kapal Pharaon sempat meminta Gerard untuk membebaskan Dantes. Terlebih, kekuasaan Gerard sebagai seorang loyalis kerajaan sempat terombang-ambing selama masa Pemerintahan 100 Hari Napoleon saat kembali dari Elba pada 20 Maret 1815 sampai 22 Juni 1815. Namun, kekalahan Napoleon pada Pertempuran Waterloo 18 Juni 1815 secepat kilat menutup celah Morrel untuk mendapat belas kasihan Gerard yang kembali pada kekuasaannya.
Selepas restorasi Prancis yang kembali dipimpin Louis XVIII, Gerard pindah ke Toulouse sebagai jaksa penuntut umum kerajaan. Sedangkan Danglars yang gagal meraih jabatan di kapal-kapal milik Morrel terpaksa pergi ke Madrid, Spanyol untuk berdagang. Fernand Mondego berhasil menikahi Mercedes yang sedang putus asa karena “hilangnya” Dantes. Padahal, dalam waktu cukup lama ia tinggal di tempat ayah Dantes, Louis. Louis mati kelaparan saat Mercedes telah kehabisan uangnya dan Gaspard Caderrouse, pemilik kamar sewa amat kikir untuk memberi belas kasihan.
Tiga belas bab pertama novel ini benar-benar membenamkan seseorang bernama Dantes pada ketidakberuntungan yang paling dalam. Tanpa celah. Tanpa kuasa. Dan tentu, tanpa harapan.
Setiap jengkal hidupnya yang sebenarnya polos itu serta-merta menghimpitnya sedemikian rupa. Dalam satu waktu yang cukup singkat. Mulai dari pemilik rumah sewa, kekasihnya, hingga jaksa penuntut yang mengirimkan mimpi buruk padanya. Ya, bisa dikatakan nasib Dantes di tiga belas bab pertama buku ini adalah neraka yang dibuat seluwes mungkin. Tak perlu jatuh terlalu cepat dalam sebuah kegagalan. Seringkali kegagalan yang datang perlahan lebih menyakitkan bukan?
Kalimat yang saya comot di pembuka tulisan ini sebenarnya merangkum ide Alexandre Dumas tentang keseluruhan cerita Dantes. Menunggu dan berharap.
Sedikit klise memang, tapi toh di dunia ini tak ada yang lebih setia daripada harapan. Begitu pula tak ada kegiatan lain yang semembosankan menunggu. Dua hal ini mau tak mau memang bertolak belakang dan berjalan seiring dalam satu kesempatan sekaligus. Harapan menjadi hal yang di sisi lain dapat membunuh perlahan jika kita terlampau bergantung padanya. Lain halnya menunggu, yang bisa dibilang “hanya” tapi di sisi terdalam ia menyiksa batin dan pikiran pada ketiadaan. Ketidakpastian.
Begitulah yang rasanya lantas ditampilkan Dumas dalam pertemuan Edmond Dantes dan Abbe Faria di bab keempat belas. Abbe Faria, diambil dari sosok sungguhan. Ia adalah seorang klerus Katolik kelahiran Goa, India pada 31 Mei 1756. Faria lantas menjadi salah seorang pionir dalam studi hipnoterapi atau hipnotis pada abad 19. Ia melatih dirinya untuk lantas mengenalkan hipnosis di Paris pada masa awal abad ke-19. Ia pula yang menyatakan bahwa sugesti terjadi karena ada aliran magnetis dalam tubuh manusia.
Meski Faria adalah sosok nyata, namun Dumas sepertinya menahan diri untuk mengambil sosok itu secara utuh dalam novelnya. Faria yang memang pernah dipenjara Château d’If pada 1797 itu memang ditengarai memperdalam ilmu self-suggestion selama meringkuk di penjara. Setelah ia bebas, pada 1811 Universitas Prancis di Nimes menunjuknya sebagai profesor filsafat.
Tapi tak begitu dengan nasib Abbe Faria dalam dunia Alexandre Dumas. Faria memang digambarkan sebagai seorang klerus Katolik dengan ilmu kendali diri serta cendekiawan sejati. Bahkan ia sempat mengajarkan itu pada Dantes. Namun dalam kisah ini, Faria mati di penjara itu. Lain halnya Faria yang asli, ia mati karena stroke di Paris pada 30 September 1819 setelah ia pensiun sebagai klerus dan makamnya tak bertanda.
Faria dalam dunia Dumas digambarkan sebagai sosok misterius dan amat renta. Meski tetap saja, Dumas menyimpan semua teka-teki itu dalam dialog-dialog panjang tentang masa lalu Faria yang memiliki ‘warisan’ berupa pulau harta karun. Pun dengan usaha yang cukup sia-sia, Faria memberi ide bagi Dantes untuk membuat lorong antar sel penjara agar bisa mengobrol dengan Faria. Teknik ini yang kemudian ditiru oleh penulis Stephen King saat menulis novelnya yang termasyhur, “Rita Hayworth and Shawshank Redemption” pada 1982. Faria menggali lorong kecil dari lantai selnya dan menghabiskan ribuan malam untuk memberi Dantes pengetahuan.
Hingga hari-hari terakhirnya, Faria telah menyampaikan berbagai ilmu sains, matematika, hingga kesehatan kepada Dantes. Begitu pula tentang politik, filsafat dan lain sebagainya. Faria mewariskan itu semua dan sebuah lokasi tempat harta karun di Pulau Monte Cristo.
Singkat cerita, Dantes bisa kabur dari Château d’If dengan menukar tubuhnya dengan mayat Faria yang mati di penjara. Meski sempat putus asa dan ingin bunuh diri karena kehilangan kawan baik di penjara, Dantes mampu mengendalikan diri dan mencari ide. Ini adalah bagian di mana penantian bertahun-tahun tanpa harapan berubah menjadi satu celah harapan. Dantes memantaskan dirinya untuk menangkap celah ini secepat mungkin.
Kegagalannya menggali lorong hingga keluar dari kastil penjara bersama Faria memang sempat menenggelamkan Dantes. Sebab, itu adalah satu-satunya ide tentang kabur dari penjara. Namun nahas, Faria mati sebelum galian lorong itu berhasil. Dengan sigap, ide gila muncul dalam kepala Dantes untuk menukar tubuhnya dengan mayat Faria di dalam kantong mayat. Ia berharap tubuh itu akan dikubur, dan dengan berbekal sebuah pisau dari sebuah salib yang diruncingkan, ia berandai-andai bisa keluar dari penjara itu. Namun ia kembali mengalami nasib nahas, kantong mayat itu bukannya dikubur tetapi dibuang ke laut di tengah malam badai.
Beruntung, Dantes bisa bertahan hidup dan diselamatkan rombongan pelaut penyelundup. Dari sana, ia mengumpulkan kawan-kawan setianya hingga menemukan Pulau Monte Cristo. Ia yang mulanya tak percaya tentang kisah-kisah harta karun menyusuri pulau di sebelah tenggara Elba di Italia itu dan mendapat gua rahasia yang berisi kekayaan melimpah. Beruntung, Dantes sudah cukup cerdas untuk mengontrol dirinya dan mengatur bagaimana cara ia menggunakan kekayaan itu.
Pada paruh kedua cerita ini, Dumas menggambarkan Dantes sebagai sosok yang abu-abu. Tak melulu tentang bagaimana ia menjadi kaya dan bergelimang harta. Tapi ia juga menempatkan Dantes sebagai seorang pendendam yang membalas dengan secara ‘bijak’. Dantes tentu tak melakukan itu seorang diri. Ia mengumpulkan satu per satu kawan-kawan setia dari kalangan terbuang. Lantas ia perlahan mencari tahu kebenaran tentang kronologi bagaimana bisa dirinya terjerembab di Château d’If. Dari sana, ia melakukan verifikasi mandiri atas orang-orang tersebut. Mulai dari Caderrouse hinga Gerard de Villefort. Bahkan, dengan identitas-identitas palsunya, Dantes bisa melukai mereka semua tanpa menyentuh.
Dan juga, Dantes tak lupa untuk membalas budi baik orang-orang yang membantu hidupnya dahulu. Terlebih pada keluarga Morrel yang hidup merana karena bangkrut. Juga kepada anak Mercedes dan Fernand yang juga ia kasihi. Ia tak mendendam secara membabi buta seperti pada umumnya manusia. Ia mencoba mempelajari kebenaran. Sebuah hal yang cukup sulit untuk dicari bagi seorang yang telah merasakan pahitnya hidup dan berbalik memiliki kuasa. Dantes, bagaimanapun mampu menguasai dirinya — — tentu karena ajaran Faria — — untuk tidak menggunakan kekuasaannya semena-mena.
Sebagai Count of Monte Cristo, tentu saja Dantes bisa saja menyewa pembunuh bayaran untuk membunuhi lawan-lawannya. Tapi membalas dendam tak semeriah itu. Yang ia rasakan bukanlah pembunuhan, melainkan penghilangan jati diri. Dan oleh karena itu, ia nikmati hilangnya Edmond Dantes melalui identitas-identitas barunya. Terlebih, semua orang di kehidupannya telah mengira bahwa ia mati. Tapi Dantes tahu bahwa semua orang hidup hanya untuk menjemput kematian. Jika ia dengan lekas mempertemukan orang-orang itu pada kematian, maka ia hanya mempermudah tujuan mereka. Ia lantas memilih untuk membuat mereka menyesali kehidupan.
Bagian terkeren dari kisah Dantes memang terletak pada cara ia membalas dendam dan memilah sosok-sosok di masa lalunya secara teliti. Ia tak mau kesengsaraan menghinggapi orang-orang tak bersalah seperti dirinya dahulu. Dan itulah, membuat orang menyesali kehidupan adalah sisi “gelap” Dantes yang dibuat amat bijak.
Manusia bisa saja mati dan lepas dari tanggung jawab hidupnya. Tapi manusia tak bisa lari dari sebuah penyesalan atas hidup yang dijalaninya.
Hal itu nantinya terjadi pada Fernand Mondego yang memilih bunuh diri setelah mengetahui siapa Dantes dan bagaimana hidupnya hancur. Begitu pula Mercedes sadar bahwa ia telah mengingkari janji terhadap Dantes dan melepaskan nama belakang suaminya — — Mondego — — untuk hidup sendiri bersama anaknya. Mercedes memang tak mati, tapi ia menyesal karena kalah oleh kehidupan. Atau bahkan nasib paling sial dialami Caderrouse yang mati karena ketamakan.
Dumas sepertinya tahu betul bahwa sifat asli manusia bisa muncul dalam kondisi tertekan. Kondisi di mana seorang individu tak bisa lagi menerka-nerka hidupnya. Ia benar-benar membuat sebuah penantian dan harapan bagi masing-masing tokoh dengan penuh gejolak. Pada 117 bab novel ini, Dumas seperti menanak beberapa panci nasi dengan presisi. Sehingga semuanya akan matang pada satu waktu, yaitu di mana Dantes datang untuk “membalas dendam” pada masing-masing musuhnya.
Penantian atau menunggu, bukan tak mungkin adalah salah satu hal yang paling membosankan. Kita semua pernah mengalaminya. Dari yang paling remeh hingga yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata lagi. Bahkan sekadar untuk menunggu giliran saja terkadang kita tak sabar mengantre. Apalagi hal ini menyoal sesuatu yang penting dalam diri kita. Sesuatu yang — — — kalau boleh dibilang — — menyita waktu, pikiran, dan perasaan. Ketiga hal ini adalah biang dari kobosanan. Dan kebosanan terkadang membawa kita pada keputusan yang tak tepat.
Harapan, tak lain adalah kata paling klise yang kerap diucapkan oleh banyak orang. Dan saya berani bertaruh bahwa orang-orang dengan kata-kata motivasi berlabel “harapan” juga belum tentu bisa menuai harapnya sendiri-sendiri.
Novel misteri Stephen King yang lantas difilmkan menjadi “ The Shawshank Redemption” (1994) sering saya sebut sebagai film terbaik sepanjang masa. Plotnya kurang lebih menjiplak “The Count of Monte Cristo”-nya Dumas, tapi lebih sederhana. Film ini, melemparkan satu kalimat penting di akhir cerita yang bertema harapan. Tokoh Andy Dufresne berkata pada sahabatnya di penjara Shawsank — — Ellis Boyd Redding — — bahwa “hope is a good thing, may be the best of the things. And good thing never dies”
Mungkin Dufresne benar bahwa harapan adalah hal baik, dan hal baik tak pernah mati. Namun tak jarang, orang-orang yang memiliki hal baik itu lantas mati sebelum menemui harapannya.
Dalam kisah Dumas, hal ini digambarkan dengan sosok Monsieur Morrel dan Louis Dantes yang mati tanpa sempat bertemu kembali dengan Edmond Dantes. Mereka berharap hingga mati. Harapannya abadi, tapi tubuhnya tidak. Begitu pula Abbe Faria yang berharap keluar dari penjara dengan menggali lorong dari sel penjaranya. Ia mati sebelum hal itu terwujud dan malah hal itu sempat menguliti harapan Dantes yang sama-sama berharap setengah mati untuk bebas.
Atau kalau boleh digunjingkan, film The Shawshank Redemption buatan Frank Darabont juga tak sesuai harapan. Film ini diganjar tujuh nominasi Oscar Academy Awards tahun 1995 tanpa memenanginya satu pun. Padahal, siapa yang tak berharap film ini mendapat minimal dua penghargaan sinema bergengsi itu? Sial, harapan pun tak sempat dituju oleh film bertemakan harapan ini. Film ini kalah dengan film Forrest Gump yang memenangi enam dari tiga belas nominasi Oscar tahun 1995. Termasuk penghargaan film terbaik Oscar pun digondol Forrest Gump. Padahal, temanya tak begitu berbeda. Namun dari sisi realis, cerita The Shawshank Redemption lebih masuk akal. Tentu ini penilaian saya saja, atau mungkin juga Anda yang sudah menonton keduanya?
Penantian dan harapan, dua hal yang sebenarnya sukar dimengerti. Mengapa harus ada? Dan, mengapa harus keduanya?
Tak bisakah bilamana satu saja dari keduanya dirasakan sampai selesai atau bertemu tujuan? Atau mungkin ada kiat-kiat khusus agar penantian dan harapan itu tak membosankan dan berisiko?
Kita tak pernah tahu. Itu sebabnya kita senantiasa menanti dan berharap. Untuk apa saja yang sebenarnya kita tak begitu butuhkan. Atau untuk apa saja yang seyogianya perlu kita kelola agar tak menguasai pikiran. Kita, manusia secara bawah sadar kerap terjebak pada penantian-penantian yang tak jelas muaranya. Hanya menanti tanpa tahu menanti apa. Dan juga suka mengharapkan hal-hal yang tak mungkin. Bahkan bisa dikatakan amat tak mungkin terjadi.
Tapi pada dasarnya, hal-hal seperti itu semacam menumbuhkan adrenalin secara perlahan. Memicu otak dan mental bekerja setiap hari. Untuk melakukan hal-hal yang non sense. Atau pada dasarnya, tak berguna.
Manusia adalah makhluk yang gemar berandai-andai. Begitulah kita. Beberapa mungkin beruntung karena dapat bangkit dar “kematian” seperti Edmond Dantes atau Andy Dufresne. Tapi sebagian besar dari kita mungkin akan berakhir seperti tokoh-tokoh nelangsa yang dibuat Alexandre Dumas dalam The Count of Monte Cristo. Bahkan harapan pun memilih kepada siapa-siapa saja ia setia. Hanya pada orang-orang tertentu saja ia mengalir pada tujuan. Sisanya, ia hanya mengalir, berliku, dan lantas mati perlahan sebelum sampai pada tujuan.
Harapan adalah hal baik. Tapi tak semua hal baik setia pada kebaikan. Tak jarang, ia berbelok dan membawa kita pada keputusasaan. Kehancuran. Dan di sanalah tempat segala yang patah berlabuh.