Menjadi Koma Seketika

Algonz Dimas B Raharja
9 min readMay 5, 2021

--

“Rapid Transit IX” by Zechariah Choi (https://songofchoi.com/Genre-Painting-1)

“Saat menulis, aku tak suka titik. Aku gemar tanda koma. Tolong jangan perintahkan aku untuk berhenti dan tenggelam dalam stagnansi”

— Leila S. Chudori, Pulang (2013, hlm. 62)

Dalam kurun waktu dua bulan terakhir, tak banyak buku yang saya baca ulang. Atau lebih tepatnya, tak sempat membaca buku lagi. Namun, di sela-sela membaca “1984”-nya Orwell dan “Orang-orang Bloomington”-nya Budi Darma, saya paksakan menulis tentang hal ini. Ini adalah tentang sebuah novel dengan kekuatan historis dan kepelikan hidup yang membawa Leila S. Chudori meraih Kusala Sastra Khatulistiwa. Lain daripada tulisan-tulisan sebelumnya yang umumnya berupa hasil dari membaca ulang, kali ini novel “Pulang” baru terselesaikan setelah sekian lama membusuk di penyimpanan ponsel pintar saya.

Dimas Suryo adalah satu dari sekian orang-orang malang yang menokohi sebuah lakon kisah. Ia tak lahir di negeri-negeri Eropa laiknya Edmond Dantes atau jagoan-jagoan novel laris abad 18. Dimas Suryo lahir di negeri khatulistiwa, negeri yang celakanya justru membuatnya terusir selama-lamanya. Sebagai jurnalis dengan gelar sarjana dan netralitas politik, Dimas Suryo tertimpa sial karena ia bekerja di sebuah redaksi koran yang dianggap “musuh negara”. Di pertengahan tahun 1960-an, sekadar berprofesi sebagai pembersih kantor harian “tertentu” yang dekat dengan partai “tertentu” saja sudah menjadi nasib sial bagi seseorang. Dimas yang kala itu hanya seorang kerani naas terkena nasib serupa. Beserta ketiga temannya — Nug, Risjaf, dan Tjai — ia terjerembab di Paris hingga hayat menjemput.

Tak hanya menyoal tak bisa pulang ke tanah air, Dimas dan para sekondannya juga harus kehilang sosok atasan sekaligus sahabat mereka, Hananto Prawiro. Lebih lengkap lagi, mereka kehilangan diri mereka dalam lubang-lubang rumpang di keluarga besar mereka. Tuntutan “bersih diri” keluarga-keluarga pasca tragedi 1965 membuat orang tua Dimas memilih untuk tak berurusan lagi dengan anaknya. Sebabnya bukan karena jahat atau tega, tetapi lebi daripada alasan keselamatan.

Sebelum kisah-kisah lalu-lalang sedu sedan Dimas dan kawan-kawan yang membuka Restoran Tanah Air di Paris, drama percintaan mewarnai masa mudanya di Jakarta. Dimas yang dekat dengan Surti Anandari harus merelakan perasaannya ketika Surti dipersunting oleh Hananto Prawiro, tak lain adalah senior, mentor, dan sahabat Dimas. Kisah ini berlalu kemudian hingga ia bertemu dengan Vivienne Deveraux, seorang mahasiswi Sorbonne yang kala itu terlibat dalam aksi Mei 1968. Aksi yang populer dengan berbagai slogan grafiti ini bertujuan menggulingkan Presiden Charles de Gaulle yang dianggap telah habis masa jayanya dan berubah menjadi konservatif. Semangat pembebasan moral menjadi motor penggerak aksi demonstrasi paling besar di Prancis pada abad 20 itu.

Salah satu slogan dari cercaan-cercaan liar dari Aksi Mei 1968 di Prancis yang saya ingat adalah “Cours camarade, le vieux monde est derrière toi”. Dalam terjemahan bebas, kalimat itu berarti “Larilah kawan, dunia yang lama/kolot mengejarmu”.

Di tengah-tengah aksi mahasiswa itu, Dimas Suryo terjerembab pada titik historis kedua setelah bencana politik di negerinya pasca tahun 1965. keberadaan Dimas Suryo di Paris adalah sebuah “lawakan kehidupan” yang menurut saya patut sedikit ditertawakan. Bagaiamana tidak, seorang jurnalis junior mendapat arahan untuk menggantikan seniornya untuk hadir pada sebuah konferensi internasional di Santiago, Chile dan kemudian beranjak ke Havana, Kuba, dan berakhir di Peking, RRT saat kemelut politik bergejolak di Indonesia. Ratusan ribu hingga jutaan orang terenggut maut pasca peristiwa 1965, tak terkecuali Hananto Prawiro, orang yang digantikan Dimas Suryo.

Selepas konferensi sialan itu, Dimas dan ketiga koleganya tak bisa pulang ke Indonesia. Paspor mereka dicabut dan nama mereka menjadi acuan “sampah politik” atau eksil. Sejak saat itu, status mereka adalah orang tanpa rumah, tanpa tanah air. Pencarian suaka berakhir di Paris. Segala pekerjaan mereka lakukan satu per satu demi menyambung hidup. Hingga nasib baik membawa mereka untuk melahirkan sebuah restoran bernama “Tanah Air” di Paris, tepatnya di 12 Rue de Vaugirard, Paris.

Dimas Suryo dan ketiga sekondannya merupakan empat serangkai yang sama-sama tak suka stagnasi. Waktu dan ketidakadilan hidup boleh saja menghantam mereka berkali-kali, tapi berkali-kali pula mereka bangkit. Melalui sebuah dapur restoran bercorak nusantara itulah mereka membangun hidupnya kembali. Melalui racikan-racikan hidangan khas nusantara, mereka memunculkan setitik oase Indonesia di Paris yang amat entah. Di tahun 1960-an, nama Indonesia di Eropa mungkin belum teramat tenar, tapi keempat orang sial ini secara ironis membangun nasionalismenya sendiri. Meski, negeri yang mereka yakini sebagai “rumah” tak lagi menerima mereka. Mereka lebih menyukai jeda, daripada benar-benar berhenti untuk menjalani kehidupan.

Paruh pertama kisah Dimas Suryo dan kawan-kawan dalam novel “Pulang” berhasil membuat saya menggambarkan keemasan masa muda yang tumpas. Seperti sebuah rombongan besar harapan yang berjingkrak maju dan lantas dihabisi sebuah jurang yang curam. Jurang bernama “politik” itu lantas menenggelamkan mereka beserta setiap serpih harapan dan cita-cita.

Kisah Dimas Suryo ini diambil dari sebuah lakon riil sosok Sobron Aidit dan kawan-kawannya — A. Umar Said, Budiman Sudharsono, dan J.J. Kusni — yang membangun Restoran Indonesia di Paris pasca ’65. Nama belakang Sobron saja sudah membuat ia dan keturunannya dianggap sebagai hantu. Sebabnya, Sobron adalah adik kandung Dipa Nusantara Aidit, dedengkot Partai Komunis Indonesia yang kelak menjadi tumbal huru-hara politik 1965 dan memaksa tanah air Indonesia berubah merah darah sesudahnya.

Tentu saja, kisah Dimas Suyo ini secara umum adalah fiksi. Namun semangat dan penderitaan yang digambarkan oleh Leila S. Chudori lewat novel ini berasal dari fakta. Bahkan, jika saya refleksikan lagi, hal-hal semacam ini bisa saja terjadi pada saya atau anda-anda semuanya.

Menjadi stagnan di tengah hamparan harapan yang menggebu adalah titik yang tak mengenakkan bagi saya. Nasib sial yang serupa tetapi tetapi tentu tak sama juga saya alami pasca Pemilu 2019. Lebih dari 50 tahun berlalu sejak ratusan atau ribuan intelektual Indonesia yang tak bisa pulang pasca thaun 1965, cerita perihal politik masih saja menghantui tanah air ini. Bukannya saya terus-menerus mengingat ini sebagai haru biru kehidupan, namun lebih daripada itu, hal ini amat menyesakkan. Meski tentu saja, saya tak berharap perihal politik benar-benar menjadikan harapan saya tumpas.

Di awal tahun 2019, atau dua tahun tepat setelah saya diwisuda dari UGM Yogyakarta, sebuah surel masuk pagi-pagi sekali. Sebelumnya, surel dengan alamat pengirim serupa pernah saya terima setahun sebelumnya. Surel itu berasal dari sebuah perguruan tinggi di negeri Belanda yang namanya telah saya sebut-sebut dalam pikiran dan harapan sejak kuliah semester dua. Setahun sebelumnya, saya tak diterima untuk masuk jurusan terkait kehutanan dan agroforestri, lantas saya mendaftar lagi untuk jurusan ilmu lingkungan. Beruntung, pagi yang cukup gerah di musim penghujan itu menjadi seolah berangin sepoi ketika saya dinyatakan diterima.

Hal pertama yang saya lakukan saat itu adalah mengecek dan memverifikasi isi surat elektronik itu pada teman saya. Surat “magis” yang dikenal dengan sebuatan Letter of Acceptance itu merupakan sebuah permadani berharga bagi orang-orang dengan cita-cita sebagai intelektual. Terutama, bagi mereka yang benar-benar melakukan kehidupan intelektualnya tanpa menghamba pada koneksi-koneksi hangat nan lekat dengan para pengajar di universitas. Namun, kegirangan itu setidaknya hanya bertahan enam bulan saja. Sebab, surat yang harusnya mengharuskan saya untuk berangkat ke Belanda jelang akhir tahun itu hangus begitu saja.

Penyebab utama dari kegelisahan tiba-tiba yang saya rasakan saat itu adalah beasiswa. Dengan yakin dan pasti, saat itu saya mulai melamar untuk beasiswa LPDP Kemenkeu RI dengan status memiliki LoA, sebab beasiswa ini juga menerima pelamar tanpa LoA. Keyakinan saya makin tinggi karena setahun sebelumnya seorang kawan diterima meskipun belum memiliki surat penerimaan dari kampus tujuannya. Begitu pula segala persyaratan yang diharuskan sudah saya penui dengan mutlak.

Tahapan pertama seleksi, saya lolos begitu saja. Ketika masuk pada tahapan computer based test atau tahap kedua saya pun tak merasa bermasalah dan lolos. Tahapan ketiga adalah tahapan wawancara dan — setahu saya — adalah sebuah panel leaderless group discussion (LGD) yang menurut kawan-kawan tidak begitu berat, hanya saja wajib menggunakan bahasa Inggris. Tahapan ketiga bagian pertama masih sesuai dengan ujaran beberapa kawan saya yang pernah mengikuti seleksi LPDP ini. Bagian pertama ini kira-kira berisi tentang pertanyaan-pertanyaan seputar akademis dan psikologis. Lantas, bagian kedua dari seleksi terakhir ini dilakukan sore harinya.

Nahas, kala itu saya seperti tidak peduli lagi dengan huru-hara politik pasca Pemilu di Indonesia yang tengah masuk pada fase banal sejak 2014. Pun, ditambah lagi kasus seorang penerima beasiswa LPDP yang belakangan mengadvokasi urusan HAM di Papua Barat. Di mana, hal semacam ini langsung berbenturan dengan konflik berkepanjangan antara militer Indonesia dengan para kombatan pembebasan Papua Barat. Saya kurang awas dengan dua hal ini, terutama dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan dilakukan LPDP untuk “memperbaiki” citranya di mata pemerintah.

Syahdan, seleksi tahap ketiga yang menurut kawan-kawan saya adalah berupa LGD tiba-tiba berubah menjadi wawancara bak intelijen. Pertanyaan-pertanyaan di luat konteks subjek keilmuan saya — — Environmental Science — — pun ditanyakan secara bertubi-tubi. Persoalan HAM, pemberontakan G30S, Peristiwa Talangsari dan Tanjung Priok hingga kasus Munir dicecarkan kepada saya seperti seorang dosen sejarah yang mengamini sejarah versi ABRI atau Nugroho Notosusanto. Tak cukup dengan itu, pewawancara yang hampir sejam setengah saya hadapi itu mempermasalahkan kenapa saya menuliskan nama Tan Malaka sebagai salah sosok panutan.

Padahal, dalam daftar yang saya isi asal itu berisi pahlawan-pahlawan nasional dengan tambahan Nelson Mandela dan Dalai Lama. Nama Soekarno dan Hatta pun ada di daftar itu bersama Sjahrir, lantas kenapa tidak saya lengkapi Empat Serangkai ini dengan Datuk Tan Malaka yang juga seorang pahlawan nasional? Permasalahannya tentu ada pada partai pertama yang dipimpin Tan Malaka, dan akhirnya dari sanalah bencana bertubi-tubi dihantamkan pada saya. Bahkan, ada pertanyaan yang sama sekali tak berminat saya jawab seperti “menurut Anda boleh tidak seorang keturunan eks-Tapol atau anggota PKI menjadi PNS atau anggota DPR?”. Saya hampir muntah ketika mendengar pertanyaan itu. Bukan apa-apa, hanya saja saya tidak berhak dan tak punya alasan untuk menjawab pertanyaan macam itu. Dan kembali lagi, LoA saya itu jurusan Ilmu Lingkungan di negeri Belanda, bukan jurusan Ilmu Politik atau ilmu-ilmu dengan konteks fokus demikian. Sebelum ajang tanya jawab yang tak menyenangkan itu usai, saya sudah sadar bahwa saya akan gagal mendapatkan beasiswa ini.

Sebenarnya, dalam persoalan intelektualitas dan aktivisme, pengetahuan memang menjadi senjata paling utama. Terkadang, tulisan kritis lebih menusuk daripada rentetan tembakan peluru. Mungkin begitu yang dirasakan LPDP ketika “kecolongan” satu alumninya. Meski notabene si alumni memang menjalankan praktik keilmuannya sebagai advokat HAM, namun dari segi politis hal ini menjadi rancu. Sama halnya dengan ratusan orang penerima beasiswa kuliah di era Soekarno yang tak bisa pulang dari negeri-negeri asing. Mereka-mereka ini hanya sedang berada di tempat dan waktu yang tak tepat.

Entah karena apes yang bagaimana, kesempatan untuk memenuhi cita-cita saya bersekolah di Wageningen pun enyah setelah itu. Saya tidak mungkin bisa membayar invoice kampus spesialis agrikultur di Belanda itu secara mandiri. Dan sejak saat itu, saya mengambil jeda. Jeda yang hadir dari ketidakberdayaan, dan nasib buruk. Saya marah dan kecewa, tentu saja, namun yang lebih mengerikan hadir belakangan, saya depresi. Merasa diri tak berguna, merasa diri salah langkah, merasa ini dan itu dan segala hal negatif lainnya.

Persoalan tidak jadi berangkat kuliah ke Wageningen bisa jadi sebuah jurang bagi hidup saya setelah masa-masa membangun diri dari masa lalu yang tak juga baik. Harapan demi harapan yang tadinya saya bentangkan lambat laun memudar, terbakar.

“Saya bisa mendapat gelar Ph.D sebelum usia 30”, ujar saya naif saat berada di hari-hari semangat kuliah jenjang strata satu.

“Saya pasti bisa melakukan banyak hal sendirian”, ujar saya dengan kebulatan tekad yang tak karuan saat mulai menjajaki tes-tes demi sertifikat bahasa seharga dua kali UMR Jogja.

“Saya tidak berguna”, ujar saya pada akhirnya ketika harus menemui kenyataan bahwa belum saatnya berangkat kuliah lagi.

Hal itu seketika membuat saya membandingkan diri dengan beberapa kawan yang telah berangkat studi lanjut di negeri orang. Perbandingan ini dan itu, latar belakang keluarga, ekonomi, dan lain-lain menjadi alasan-alasan yang saya buat untuk “membenarkan” kegagalan saya. Kekecewaan dan kegelisahan nyatanya melahirkan hal-hal negatif bagi diri saya. Dalam kegamangan itu justru saya kembali terjerumus pada kesedihan atas latar belakang diri saya. Saya kembali menyesali dan meratapi kenapa saya dilahirkan dalam kondisi keluarga tertentu, menyalahkan para orang tua saya, menyalahkan diri sendiri, mengutuki Tuhan, dan beberapa kali menyesali kehidupan. Saya kehilangan diri saya yang telah menang melawan kehidupan selama lebih dari separuh usia saya.

Saya seperti kembali kalah dengan kehidupan, untuk kali ke sekian. Sehingga mulai saat itu, saya terjebak dalam jeda panjang. Jeda yang menuntut saya membangun diri kembali, mengisi kekecewaan dan kegagalan dengan hal-hal lain, serta mencoba kembali mensyukuri kehidupan.

Dalam beberapa hal, jeda memang terkesan membosankan atau penuh dengan ratap sesal. Namun di sisi lain, jeda bisa menjadi tempat untuk menempa diri, merenda kembali benang-benang nasib yang terburai berantakan.

Melalui kisah Dimas Suryo dan para sekondannya lewat novel “Pulang”, saya merasa bahwa nasib buruk bukannya tak berarti. Sebagaimana nasib baik yang tak selalu berarti baik, maka nasib buruk pun demikian. Ia hanya hadir karena kita enggan menerima sesuatu hal yang tak selaras dengan cita-cita dan tujuan. Nasib buruk, seringkali disebabkan oleh hal-hal yang kita tak paham sejatinya. Dimas Suryo dan kawan-kawan mulanya tak paham mengapa mereka yang tadinya “hanya” berangkat untuk menghadiri konferensi justru berakhir teralienasi dari negerinya sendiri. Setelah itu, nasib-nasib baik pun ia kumpulkan di Paris, bersama teman-temannya, bersama kekasihnya, keluarga barunya, dan setiap harapan yang tumbuh jauh dari negeri ayah bundanya.

Hampir setiap orang mengalami hal yang datang tak tentu dan memaksakan sebuah jeda. Entah itu untuk membatasi antara diri sendiri dan cita-cita atau bahkan antara doa dan mujizat. Semuanya sama saja, baik di nadi atau di mimpi, jeda tidak datang tanpa tujuan. Ia bisa saja memberi kita waktu, menyiapkan jalan baru, atau “memaksa” kita untuk menata diri. Jeda, bagaimana pun lebih menyenangkan daripada stagnasi. Berhenti sejenak lebih menggembirakan daripada kejenuhan yang berulang. Sekelebat saja waktu berhenti untuk kita renungkan, sesudahnya adalah sebuah langkah baru untuk diperjuangkan.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet