Menyiasati Ketidaksengajaan

Algonz Dimas B Raharja
6 min readFeb 1, 2023

--

"Disappointed Soul" by Ferdinand Hodler (Source: https://artvee.com/dl/disappointed-soul/)

Bagaimanapun, suatu keputusan memerlukan waktu untuk dapat diterima dan direlakan. Setidaknya begitulah hidup, sejauh yang saya tahu dan kenal selama ini.

Kali ini, saya tidak akan membicarakan soal buku. Sebab, buku terakhir yang saya baca adalah “Hikayat Kadiroen", ditulis oleh Semaoen. Tentu saja, tidak ada melankolisme pada buku tentang zaman pergolakan itu. Tidak, saya tidak akan membahas politik kali ini, dikarenakan ini tulisan pertama sejak terakhir kali mengunggah refleksi buku.

Saya akan membuka tulisan ini dengan apa yang disebut “blessing in disguise". Seorang guru yang lantas menjadi sahabat saya pernah berujar bahwa dunia ini diliputi oleh banyak ketidaksengajaan. Beberapa di antaranya menyenangkan, dan bukan niscaya jika lainnya hanya berisi kepedihan semata. Namun, tentu kita tahu sama tahu menyoal bagaimana duka dan suka hanyalah sekeping mata uang koin, dua sisinya berpaling bergantian.

Setiap duka, membawa kesukaan di waktu setelahnya -- ya meski kadang harus bertubi-tubi dahulu-- dan setiap suka juga bisa diduga sebelumnya, ia akan bermuara pada kepedihan lain. Ya benar, bahagia dan luka hanya menyoal transaksional semata. Beberapa waktu ke belakang, saya menyadari bahwa ketidaksengajaan bisa menjadi amat menyenangkan dan sekelebat berubah bak luapan air terjun yang terjebak hujan pada hulunya.

Saya dan anda tentunya tahu, tak semua air mata bisa membanjiri hari-hari kepedihan. Dan serupa dengannya, tak semua tawa bisa disulam dari benang-benang bahagia. Acapkali, beberapa hal terjadi sebaliknya atau bahkan tak sesuai rencana. Lantas, kita hanya bisa bertanya,”Mengapa tidak ada jalan yang lurus-lurus saja?”

Beberapa orang menyebut bahwa baja terbaik dibuat dengan melelehkannya pada suhu sekitar 1370°C sampai 1510°C. Belum tuntas sampai di situ, ia masih akan ditempa dan dibentuk sesuai dengan keinginan Sang Empu, pembuat baja. Setidaknya, begitu pula seorang individu manusia jatuh bangun menahan diri agar tidak tertelungkup tak berdaya dimakan musuhnya yang bernama takdir.

Bicara soal takdir, seringkali saya menaruh sangsi terhadap bagaimana Sang Empu menyediakan sekian liku jalan dengan berbagai lubang di tengahnya, hanya untuk dilalui seorang individu yang bahkan tak pernah meminta untuk berjalan di ruas jalan itu. Kita -- saya dan anda-- tentunya pernah membandingkan bagaimana seseorang orang lain hidup lebih lancar dibandingkan gejolak dan pergumulan batin yang kita lalui. Tapi, di sisi lain banyak orang yang pandai mengelabui orang lain dengan senyuman, tawa, hingga pencapaian luar biasa, hanya untuk menyeka lukanya.

Saya cukup beruntung karena pada perjalanan hidup yang cukup banyak kejutan ini dipertemukan oleh beragam orang dengan ceritanya masing-masing. Pernahkah kita --saya dan anda tentunya — berpikir sepintas bahwa tidakkah naif manusia diciptakan hanya untuk bertempur dengan dirinya sendiri?

Saya meyakini bahwa hal tersebut tak semuanya benar. Ya, memang saya akui bahwa sejarah mencatat banyak kehancuran manusia-manusia termasyhur diawali dari ego mereka, diri sendiri. Hitler misalnya, seorang anak dengan persoalan “inner child", seniman medioker yang kesepian, perlahan mendapat perhatian besar dan dihargai, dua hal tersebut baru ia dapat setelah terjungkal berkali-kali.

Nahas, nasib membawanya pada pertempuran gagal melawan dirinya sendiri hingga menjerumuskan diri sebagai pemimpin dengan taktik perang terbodoh setelah Napoleon Bonaparte. Padahal, beberapa bulan awal saat melancarkan Unternehmen Barbarossa, Hitler dianggap mampu menguasai Eropa.

Apa yang membuat Hitler gagal? Musim dingin parah di Moskow? Bukan, Hitler gagal karena dirinya sendiri. Dan itu tak hanya terjadi di Moskow, Desember 1942, tetapi juga di Garis Maginot dan di Dunkirk hampir dua tahun sebelumnya. Sebagai orang yang tengah pongah dengan segala perhatian tertuju pada dirinya, Hitler --sebagaimana kebanyakan orang-- limbung dan kesulitan berpikir jernih. Bagi orang yang tidak meminum alkohol, Hitler sudah mabuk sejak dalam pikiran. Ia lantas kalah karena perhitungan-perhitungan yang justru menjauhkannya dari ekspektasi.

Tentu saja saya tidak akan membahas Perang Dunia II di sini. Namun sebagai gambaran, kita acapkali sudah amat dekat dengan ekspektasi dan hanya butuh semalam atau bahkan beberapa jam saja untuk lantas menjadikannya sebagai sia-sia.

Selain waspada terhadap ekspektasi, ketidaksengajaan juga mampu membuat kita menjadi lebih awas dengan perjumpaan. Sebab, bagaimana mungkin kejumpaan tak diikuti dengan sampai jumpa? Sampai kapan? Tidak ada yang pernah tahu berapa jarak baku antara perpisahan dan kesedihan, tapi sejauh pengalaman saya, hal itu seperti memukul lalat di meja makan.

Ketidaksengajaan pernah mempertemukan kita dengan kebahagiaan-kebahagiaan yang tidak pernah saya minta sebelumnya. Pun, ketidaksengajaan juga menyediakan seember air mata yang berhulu pada dua kantung sembap di wajah kita masing-masing. Saya pun mengalami persoalan serupa, di mana perjumpaan dalam mengawali suatu proses panjang ketidaksengajaan itu berjalan amat lambat dan tiba-tiba cepat di bagian akhir, serta sebaliknya.

Kita tak pernah bisa memperkirakan dengan pasti seberapa lama kita bisa mengenal orang lain, mengasihinya, dan kemudian saling melempar argumen, marah, tertawa, hingga akhirnya jalan satu-satunya adalah merelakan ketidaksengajaan tersebut menjadi kesempurnaan dalam perpisahan. Oh tentu saja, tidak ada perpisahan yang menyenangkan. Kita bisa tidak menyukai atau tidak setuju dengan sesuatu, namun perpisahan bukan selalu jadi hal yang kita minta. Sebetulnya, kita hanya butuh waktu untuk beradaptasi, dan jika gagal maka sudahilah, sebab tak semua bisa kita kuasai bukan?

Satu-satunya hal yang sebenarnya harus kita kuasai adalah diri kita sendiri. Beberapa orang yang kesulitan menguasai dirinya --entah kenapa-- justru lebih sering terlihat ingin menguasai orang lain. Namun sudah barang tentu hal tersebut hanya berakhir pada kesia-siaan belaka. Setiap kesengajaan, sekuat apapun itu dan setepat apapun waktunya, akan tumbang dengan mudah oleh satu hal, ketidaksengajaan.

Lantas, bagaimana menyiasatinya? Saya mencoba mengakali ketidaksengajaan dengan menatapnya agak sinis seolah bertanya “Maumu apa?”. Setelahnya, saya menanyakan hal sebaliknya pada diri saya sendiri,”Apa maumu?”. Apakah kita bisa lari dari ketidaksengajaan? Tentu saja bisa, tapi itu bukan pilihan. Saya memilih untuk menghadapinya dan belajar daripadanya. Belajar tentang bagaimana mengenal dan berpisah, bertemu dan lantas membicarakan hal-hal yang mungkin dilakukan untuk menutup pintu bagi luka pun kecewa.

Kita pasti kecewa dan mengecewakan orang lain. Sebagai individu, kita tidak pernah diberi kekuatan untuk memenuhi keinginan semua orang, pun diri kita sendiri. Kita adalah individu-individu yang bersitegang dengan pikirannya sendiri, dengan pergulatan batinnya masing-masing. Namun, mau tidak mau kita akan dipaksa menerima pil pahit kekecewaan sebagai buah dari indahnya bunga-bunga ketidaksengajaan. Buah dari pertemuan, proses saling mengenal, dan proses untuk mempersiapkan perpisahan.

Setiap orang punya siasatnya sendiri-sendiri dalam menangkap maksud dari ketidaksengajaan. Mungkin saja anda bertemu dengan seseorang yang selanjutnya tak pernah anda temui lagi, hanya sekelebat lalu. Namun tanpa anda minta, tanpa anda berdoa memaksakan kehendak pada Sang Empu, sekian tahun lewat berderap alih-alih menjauhkan anda dari seseorang itu, justru waktu demi waktu berlalu untuk mendekat. Pertemuan datang seperti ajal.

Atau, anda bisa saja memaksa diri untuk terus bertahan dan berusaha dalam suatu pekerjaan yang menguras kesabaran. Waktu demi waktu, tahun demi tahun, hari demi hari anda taklid pada jalan bahwa “saya harus bisa menghadapi ini". Lain kata lain diminta, anda tetap saja gagal di akhir. Apakah itu berarti waktu berjalan menjauh dari anda? Bisa jadi tidak, atau seolah waktu hanya mengajak anda berproses, menempa diri, agar menjadi lebih kuat dengan apa-apa saja yang datang tiba-tiba di depan.

Tidak semua yang pernah kita perjuangkan mati-matian akan selaras dengan hasil akhirnya. Saya termasuk orang yang skeptis dengan kalimat “usaha tak akan mengkhianati hasil". Tidak pernah sekali pun dalam hidup, saya percaya dengan kalimat tersebut. Bagi saya, usaha dan hasil adalah dua mata pisau berbeda. Hasil bisa jadi hanya berupa satu bidak tujuan, tetapi usaha bisa terjadi dengan ribuan kegagalan dan tanda tanya. Usaha dan hasil tidak pernah adil, tidak akan pernah. Kita bisa mengusahakan, tetapi jika hasil tersebut bukan untuk diri kita, lalu kita mau apa?

Itulah, kenapa dalam risalah ini saya lebih suka menggunakan “ketidaksengajaan" sebagai eskapisme makna dari persoalan-persoalan kosong atas nama kehidupan. Kita bisa bertubi-tubi berusaha dan bertubi-tubi pula dihantam kecewa. Apa kita tidak lelah dengan kecewa? Atau setidaknya, tidakkah kita mau menyeka diri dengan waktu tanpa terus berkejaran. Seolah, sudahlah semua hal berjalan tak sesuai apa yang kita paksakan. Toh, pada akhirnya kita akan lelah dengan apa-apa saja yang pernah kita perjuangkan.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet