Mimpi-mimpi Yang Terbang Melampaui Kepala

Algonz Dimas B Raharja
10 min readOct 22, 2020

--

“The Dream” by Varun Sharma (https://www.gallerist.in/abstract-paintings/the-dream-3)

Nobody never gets to heaven, and nobody gets no land. It’s just in their head. They’re all the time talkin’ about it, but it’s jus’ in their head”

— John Steinbeck, “Of Mice and Men” (1937) pag.74

Tiada yang lebih membingungkan daripada menjadi kelas pekerja di tengah sebuah krisis ekonomi. Sejarah mencatat, perang dan wabah memang berdampak signifikan terhadap perekonomian suatu negara. Atau bahkan, dunia.

Memang, perang dan wabah tidak menghancurkan sebuah perabadan ekonomi dalam semalam. Namun efek dari keduanya bagaimanapun tetap berdampak hingga lebih dari satu dekade setelahnya. Kita ambil contoh yang paling kentara, tahun 1918. Menjelang akhir tahun itu, atau tepatnya pada 11 November 1918, Perang Dunia I berakhir. Perang besar pertama yang dirasakan manusia era modern itu setidaknya berlangsung selama empat tahun lebih. Lebih dari 15 juta orang tewas dalam perang akbar itu. Dan hal ini, lantas disambut dengan gegap gempita oleh wabah Flu Spanyol yang merebak pada babak-babak akhir perang, sekitar Februari 1918. Wabah ini membunuh hampir 50 juta penduduk dunia dalam rentang tahun 1918 hingga 1920.

Dan lantas pada dekade setelahnya keseluruhan kisah itu berujung pada depresi besar di Amerika Serikat. Padahal, di akhir perang atau pada era awal 1920-an negara itu sedang menyambut masa subur ekonomi. Ya bisa dibayangkan, bagaimana kala itu Eropa benar-benar luluh lantak akibat perang yang otomatis memperlambat perekonomian mereka. Sedangkan para serdadu AS pulang ke negaranya dengan kepala tegak tanpa melihat kehancuran bangunan dan infrastruktur di mana-mana. Presiden Herbert Hoover kala itu sesumbar bahwa kemiskinan akan hilang dari AS dalam waktu dekat.

Sialnya, cita-cita Hoover bukannya kesampaian justru menjadi petaka saat akhir dekade 1920-an itu. Tepatnya pada 29 Oktober 1929 hari Selasa, pasar saham AS mengalami depresi besar. Kejatuhan harga saham amat tajam dirasakan hari itu. Bahkan indeks bursa saham Dow Jones Industrial Average (DJIA) yang tertua di AS mencatatkan penurunan 12 persen dalam sehari. Tentu saja, hal itu menjadi penurunan terbesar dalam sejarah Wall Street.

Dua bulan setelah kejatuhan Wall Street, para pemegang saham di seluruh AS secara total kehilangan hampir $40 miliar karena panic selling. Meski sempat terkoreksi dan teratasi, namun tetap saja AS menyambut tahun 1930 dengan apa yang disebut The Great Depression.

Tentu, anjloknya bursa saham Wall Street bukan menjadi soal utama. Sebabnya, pada dekade awal 1930-an ada hampir sembilan ribu bank gagal di AS yang tak bisa memberikan jaminan deposito dan membuat nasabahnya kehilangan tabungannya. Segelintir bank yang masih beroperasi pun memili berhenti untuk membuka pinjaman-pinjaman baru. Sudah barang tentu, gagalnya bank-bank in berdampak buruk pada kalangan menengah AS. Mereka memilih untuk berhenti membeli barang-barang. Dan oleh karena itu, tak ada sirkulasi ekonomi, khususnya untuk sektor manufaktur. Lantas bisa ditebak, hal selanjutnya yang terjadi adalah pemutusan hubungan kerja di beberapa industri karena turunnya permintaan pasar.

Di sinilah lantas kelas pekerja AS di tahun 1930-an kebingungan. Mereka tak bisa berharap pada simpanan di bank yang lenyap entah kemana. Pun tak ada harapan untuk memulai usaha mandiri bermodal pinjaman bank. Angka pengangguran naik sampai 25 persen. Berbagai cara dilakukan pemerintah untuk melindungi perusahaan-perusahaan prioritas AS. Cara paling liar dilakukan melalui terbitnya Smoot-Hawley Tariff Act pada Juni 1930. Isi dari pakta ini adalah penambahan pajak 20 persen terhadap produk impor prioritas dari pasar dunia — — umumnya dari Eropa — — .

Asal tahu saja, sebelum penambahan pajak impor 1930, AS telah menerapkan pajak barang impor sekitar 40 persen melalui Fordney-McCumber Act pada 1922. Dan sudah tentu total pajak yang mencampai 67 persen untuk barang-barang impor secara langsung berdampak pada perdagangan dunia secara keseluruhan. Hampir 25 negara melakukan “pembalasan” atas kebijakan AS yang bahkan belakangan ditolak oleh Presiden Hoover ini. Kanada misalnya, menaikkan tarif impor dari AS hampir 30 persen untuk 16 produk utama mereka. Padahal, Kanada adalah “saudara loyal” AS untuk urusan bisnis antar negara. Secara keseluruhan, pakta Smoot-Hawley berdampak pada turunnya perdagangan dunia hingga 66 persen dalam rentang tahun 1929–1934.

Tak hanya itu, di awal tahun 1930-an sepertiga aset di AS dimiliki oleh satu persen warganya yang tak lain adalah para konglomerat. Sedangkan di Eropa, produk-produk AS jarang dibeli. Pada 1933, efek dari Depresi Besar menyebabkan sekitar 13 sampai 15 juta orang di AS menganggur.

Kebuntuan masyarakat kelas pekerja ini setidaknya seringkali dihadapi. Entah karena persoalan wabah maupun perang, namun ekonomi tak semulus itu. Bahkan sekalipun mulus, tentu saja kelancaran tak begitu berlaku bagi masyarakat kelas ini.

John Steinbeck adalah penulis yang cukup keranjingan dengan isu Depresi Besar saat itu. Beberapa novelnya bertemakan Great Depression dengan penggambaran realis tragis dan semacamnya. Ia, bagaimana pun meletakkan masyarakat di akar rumput sebagai subjek ceritanya. Tak peduli iklim politik ekonomi di AS kala itu, Steinbeck seperti yakin bahwa kejadian-kejadian kecil nan tragis menghampiri banyak keluarga di AS saat itu. Atau bahkan bukan keluarga, namun memakai satuan individu. Belakangan, pada tahun 1962 ia mendapat hadiah Nobel Sastra — — dan sebelumnya penghargaan Pullitzer 1940 — — untuk karyanya The Grapes of Wrath yang terbit pada 1939.

Dua tahun sebelum novel keramat Steinbeck itu terbit, Of Mice and Men menjadi novel pendek yang bisa dikatakan membuka cakrawala realisme cerita Steinbeck. Novel pendek ini terbit pada 1937 dan hanya terdiri dari seratusan sekian halaman. Meski sempat didahului novel “In Dubious Battle” pada 1936, namun Of Mice and Men yang bisa dikatakan singkat itu menjadi “tragedi realis” sempurna untuk menggambarkan The Great Depression di AS.

Berbeda dengan “In Dubious Battle” yang bercerita tentang perlawanan pekerja perkebunan buah di California dan bersifat sedikit “kiri”, Of Mice and Men — — bisa dibilang — — lebih “manis”. Secara umum, memang ketiga novel Steinbeck ini menyoroti kawasan Dust Bowl yang mengalami kekeringan dan badai pasir parah semasa pertengahan dekade 1930-an. Kekeringan ini lantas — — meski tak secara langsung — — berpengaruh terhadap penerimaan pajak negara karena banyak usaha pertanian gagal panen. Tak hanya itu, pemerintah AS pun terpaksa melakukan migrasi bagi mereka yang tempat tinggalnya terdampak badai dan kekeringan.

Steinbeck juga menempatkan dua tokoh utama dalam Of Mice and Men yang amat berkaitan satu sama lain. Tokoh-tokoh lain hadir secara “bijak” dan secukupnya. Gambaran bahwa penderitaan tak hanya menghampiri para pencari kerja tetapi pemilik usaha juga digambarkan secara eksplisit dalam kisah ini.

Adalah George Milton dan Lennie Small, dua tokoh utama kisah tragis ini. Keduanya, seperti halnya para pekerja migran di AS masa itu, pergi berkeliling dari Soledad di Monterrey County ke bagian California lain untuk mencari kerja. George adalah sosok “kakak” dalam cerita ini. Ia digambarkan seorang yang — — meski tak berpendidikan — — cerdik dan pekerja keras. Sedangkan Lennie si “adik” adalah sosok berbadan besar dan “berotak kecil”. Kiranya begitu Steinbeck menggambarkan sosok Lennie yang memang memiliki disabilitas mental.

Kondisi itu memaksa George untuk melindungi Lennie. Bukan karena Lennie kerap menjadi korban perundungan, tetapi karena Lennie memiliki kekuatan fisik yang besar. George sepertinya tahu bahwa suatu saat kekuatan itu berakhir tidak pada tempatnya.

Sedangkan Lennie, dengan usia dan mental yang tak seimbang memiliki khayalan-khayalan laiknya anak kecil. Ia berulang kali bercerita kepada George tentang mimpinya untuk memelihara kelinci ketika mereka berdua telah memiliki sebidang tanah dan tempat tinggal sendiri. Lennie, dengan persoalan mentalnya menjadi sekam konflik dalam kisah ini. Beberapa kali ia dituduh hendak memerkosa seorang perempuan hanya karena ia — — karena secara mental seperti anak usia di bawah 10 tahun — — memegang baju perempuan itu dan menggenggamnya erat.

Setelah diterima untuk bekerja di sebuah perkebunan pimpinan seorang bernama Curley, drama dan kesedihan seperti terlokalisasi. Di dalam perkebunan itu tak hanya George dan Lennie yang merana. Ada beberapa orang lain yang ikut digambarkan sekilas bagaimana kerentanan mereka. Terutama tokoh Crooks, seorang Negro yang di masa itu seperti makin tak berdaya secara kultural dan ekonomi. Sosok Crooks digambarkan sebagai “si sinis” yang sedikit banyak berperan penuh kesadaran.

Sosok pemutar konflik dalam kisah ini adalah istri Curley yang gemar menggoda para pekerja dan digambarkan bersifat mendekati “pelacur” oleh suaminya. Sedangkan sosok lain adalah Slim “si bijak” yang digambarkan sebagai penengah cerita dan dihormati tokoh-tokoh lain. Banyak kalimat-kalimat “indah” keluar dari ungkapan Slim. Salah satunya adalah “I don’t know why. Maybe ever’body in the whole damn world is scared of each other” yang sedang menanyai George tentang keputusannya berjalan bersama Lennie — — dengan masalah mentalnya — — untuk mencari kerja.

George belakangan menjawab kerisauan Slim itu dengan mengungkapkan bahwa lebih baik jika kita pergi ke berbagai tempat bersama seseorang yang kita kenal baik. Ia berkawan cukup baik dengan George hingga saat setelah George terpaksa membunuh Lennie di akhir cerita.

Curley dan tukang pukulnya bernama Carlson adalah sosok antagonis yang sebenarnya juga kesusahan. Mereka mau tak mau tegas dengan segala kesalahan di perkebunan mereka. Terlebih ketika Carlson membunuh anjing tua pesakitan milik Candy — — seorang buruh tua yang menawarkan tabungannya untuk mimpi George dan Lennie — — tanpa belas kasihan. George sendiri tak tega jika Lennie yang kedapatan membunuh istri Curley yang gemar menggoda karena tak sengaja itu hendak dieksekusi Carlson.

Saat George tahu bahwa istri Curley berhasil “memikat” Lennie yang malang, ia sadar bahwa mimpinya untuk membeli sebuah lahan untuk mereka berdua tak akan terwujud. Istri Curley yang mata keranjang dan licik itu justru mendekati Lennie dan memintanya memegang rambutnya. Bukannya ia merasakan kenikmatan seksual yang didambakannya, malah nyawanya terenggut saat Lennie mencengkeram rambut perempuan itu dengan kuat. Istri Curley yang penasaran dengan “kekuatan” Lennie pun menjerit. Nahas, jeritan itu membuat Lennie ketakutan dan malah mencengkeram perempuan itu hingga mati. Sama seperti saat ia membunuh anak anjing dengan tidak sengaja. George merasa gagal menjaga “kekuatan” Lennie pada titik ini.

Cita-cita memelihara kelinci tetap diperdengarkan Lennie sampai saat kematiannya. Bahkan di saat itu, secara tragis Steinbeck membuat ceracau Lennie tentang “the fatta the lan” — — rumah impian Lennie — — menjadi amat menyedihkan. George terpaksa berbohong kepada Lennie bahwa tempat impian itu akan segera mereka miliki. George menyuruh Lennie menghadap sungai dan menggarami khayalan Lennie. George terus meluncurkan kalimat-kalimat penuh harap mengenai mereka akan memiliki sapi, babi, dan kelinci di rumah impian itu.

Dengan kepala menghadap ke seberang sungai, Lennie sempat berujar “I thought you was mad at me, George” sebagai tanda bahwa ia menyadari kesalahannya membunuh istri Curley — — yang tak lain adalah menantu Si Bos — — . Namun George yang tak punya pilihan menjawab, “No, Lennie. I ain’t mad. I never been mad, an’ I ain’t now. That’s a thing I want ya to know”. Dan setelahnya, di tengah segala kegagalannya melindungi Lennie, George mendengar kalimat “Le’s do it now. Le’s get that place now” dari mulut Lennie.

Kalimat terakhir Lennie itu berarti ia hendak mengajak George segera ke tempat impiannya. Ke rumah dengan kelinci-kelinci kecil. Namun bagi George, itu adalah tanda bahwa ia harus segera menyudahi nyawa Lennie sebelum Carlson atau Curley melakukan hal serupa. George lantas menembakkan pistol ke belakang kepala Lennie dan berdiri mematung di sana sampai Slim datang untuk menghiburnya. George tahu ia telah gagal karena sebelumnya ia yang menyuruh Lennie bersembunyi di lembah sungai itu. Namun ia lantas dengan terpaksa menjadi eksekutor bagi kawan seimpiannya itu.

Tak mudah untuk mengembangkan karakter tokoh dalam sebuah novel seratusan halaman. Saya kira, Steinbeck mampu meringkas segalanya dalam sebuah muara bernama tragedi. Hampir semua tokoh — — termasuk anjing milik Candy — — berada dalam kondisi terjepit, tak beruntung. Bahkan Curley yang merupakan anak dari Si Bos pemilik perkebunan. Apalagi George, si tokoh utama yang mau tak mau terjepit sedemikian rupa sampai harus merelakan mimpinya. Dan, oh iya, membunuh rekan seimpiannya. Rekan yang ia katakan sebagai “the guy I know”, rekannya dalam perjalanan panjang di tengah depresi besar.

Steinbeck mampu menggambarkan bagaimana manusia, atau individu tak punya pilihan banyak ketika terjepit secara ekonomi dan — — kind of — — moralitas. Terkadang, kedua hal itu tak melihat bagaimana kondisi seseorang. Entah fisik atau psikologisnya. Lennie tentu tak mungkin mati jika ia mampu mengendalikan mentalnya. Tapi nasib berkata lain, Lennie memang menjadi subjek yang dibuat untuk menggerogoti batasan antara realita dan fakta.

Faktanya, Lennie memiliki keterlambatan mental dan kelebihan kekuatan secara fisik. Namun realitasnya, keadaan hidup tak peduli semua itu. Ia, tentu bersama George, harus ikut menyulam mimpi dengan mencari pekerjaan serabutan. Ia tentu tak pernah tahu apa yang terjadi di Amerika Serikat saat itu. Tak tahu apa-apa saja yang menyebabkan hidup mereka tertekan dan kesulitan. Toh, Lennie tak peduli hal itu. Ia hanya punya satu mimpi jelas, yaitu punya tanah dan rumah sendiri serta beberapa ekor kelinci. Lennie, adalah kepolosan hidup.

Sebaliknya, George adalah orang yang — — saya kira — — terjepit dalam kedua hal di atas. Antara realita dan fakta bahwa ia tak mampu melindungi Lennie sekaligus berjuang mengejar mimpinya.

Beberapa dari kita seperti George, terjepit dalam realita dan fakta.

Suatu kali di masa kuliah seorang dosen pernah menanyakan apa beda realita dan fakta. Saya sempat tak terpikir untuk apa kami membahas itu di sebuah mata kuliah yang tak ada urusannya dengan filsafat ilmu atau filsafat materialisme. Muncul cukup banyak definisi dari kawan-kawan sekelas. Dan saya kira tak ada satu pun yang salah. Tapi juga tak semuanya benar. Dosen kami sepertinya hanya mengetes pemahaman kami soal realitas dan fakta. Ia lantas mengatakan bahwa persoalannya hanya pada waktu.

Realitas bersifat permanen, dan fakta cenderung temporal. Fakta, suatu kali dapat menjadi realitas, tapi tidak di lain waktu. Namun realita, hampir seperti materi, ia bisa disanggah atau diterima, tergantung fakta mana yang kita ambil sebagai sudut pandang.

Tanpa menyinggung Sigmund Freud, saya kira mimpi atau bermimpi adalah salah satu fakta tapi bukan realitas. Tidak ada mimpi yang permanen. Tapi faktanya, hampir setiap orang bermimpi macam-macam. Namun, Freud telanjur mempercayai bahwa mimpi hadir untuk mewakili pemenuhan terselubung dari sebuah keinginan. Dan penyebabnya adalah rasa tertekan dalam seorang individu.

Dalam psikoanalisanya, Freud menginterpretasi mimpi sebagai kemampuan bawah sadar yang — — mau tak mau — — bertransformasi dan berhubungan dengan kehidupan nyata. Hubungan itu tidaklah acak, sebab mimpi adalah pemenuhan keinginan yang — — sekali lagi — — identik dengan realita tapi tidak demikian dengan fakta. Dan semua itu dibatasi oleh keinginan seseorang. Sekalipun keinginan itu ada di alam bawah sadar.

Mimpi seringkali memang nampak realistis, selama itu tak muluk-muluk. Namun tetap saja, dalam kadarnya, ia tetaplah hasil dari pseudo-reality. Sebuah realitas palsu. Namun itu fakta, kita bermimpi. Realitas selanjutnya berhubungan dengan keberadaan. Eksistensi. Dan eksistensi tak selamanya mudah dipahami. Terkadang lebih rumit karena kondisi tak selaras dengan realita. Fakta tak selalu sejalan dengan realita. Sebab, fakta mengandung tendensi. Mencakup keinginan dari angan-angan seseorang untuk suatu hal.

Selebihnya, baik itu realita maupun fakta, mimpi seringkali indah hingga kita membawanya tiada. Seperti saat George mengeksekusi Lennie yang sekaligus membunuh mimpinya. Atau dengan kata lain, ia hanya mempercepat Lennie untuk menyadari realita, bahwa realita dari mimpi adalah ketiadaan.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet