Pada Tiap Kelokan Paradigma

Algonz Dimas B Raharja
14 min readDec 4, 2020

--

“Just Thinking” by Val Stokes (https://fineartamerica.com/featured/just-thinking-val-stokes.html)

Having eyes, but not seeing beauty; having ears, but not hearing music; having minds, but not perceiving truth; having hearts that are never moved and therefore never set on fire”

— Tetsuko Kuroyanagi, Totto Chan: The Little Girl at the Window (1984), pg. 39

Acapkali, baik disengaja maupun tak disengaja, kita sering memiliki suatu hal yang diinginkan agar lekas terjadi, namun lupa bagaimana proses menuju ke sana. Atau jangan-jangan, justru kita lupa apa tujuan kita setelah melalui proses panjang yang melelahkan. Kita seringkali lupa juga bahwa eksistensi kita sebagai manusia ditentukan dengan berbagai hal. Salah satunya adalah ide, dan kemudian dikembangkan lewat apa yang disebut pendidikan. Dari sana, kepala kita berpikir dan bergulat dengan kehidupan.

Tak banyak dari kita — manusia — mampu melakukan observasi sebelum mengeksekusi sesuatu. Beberapa dari kita bahkan tak begitu paham perlunya mengamati sebelum mencapai satu tujuan. Tapi tentu itu semua bukan menyoal salah benar. Sebab dalam sebuah tataran perjalanan hidup yang panjang, tak ada salah dan benar. Setiap orang memiliki basis edukasinya masing-masing, dan kita tak bisa menyalahkan jika seseorang sulit memahami sesuatu karena berkaitan tentang suatu pengajaran tertentu. Tak semua mendapat kesepahaman yang sama. Begitu pula tak semua lahir dari sebuah kesepahaman yang bermakna “ sepakat”.

Edukasi atau pengajaran adalah titik terang daripada suatu kolase panjang kehidupan. Kita tak pernah berhenti belajar — harusnya — , namun beberapa orang memilih berhenti belajar karena memang hal itu dianggap tak lagi relevan. Atau mereka hanya tak sadar bahwa setiap harinya kehidupan adalah pelajaran, edukasi itu sendiri.

Bahkan tak jarang, di antara kita justru memiliki keahlian di luar subjek-subjek pengajaran baku. Hal ini bukan karena memang edukasi itu tak seru dan menjemukan, tapi lebih karena edukasi adalah kebebasan. Kebebasan mencapai sesuatu menimbulkan impuls untuk mencipta ide. Entah baik atau buruk, ide adalah yang termegah di antara angan-angan manusia lainnya.

Ide dapat membentuk sesuatu dari tiada menjadi ada atau sebaliknya. Ide dapat berkelana lebih jauh daripada kaki berpijak maupun mata melihat, pun jangkauan tangan yang menggapai.

Begitu kiranya saat kita semua dalam usia anak-anak. Ide adalah hiburan termegah yang harganya murah. Ia tak susah dicari layaknya huruf “N” pada permen legendaris, Yosan. Atau terlampau mahal seperti set boneka Barbie atau set permainan mobil Tamiya. Ide mungkin sama harkatnya dengan bagaimana permainan video gim mendominasi anak-anak perkotaan, atau bermain bola bagi anak-anak di pedesaan dengan lapangan luas. Ide sama-sama memabukkan bagi anak kecil. Ia bergerak sekencang mungkin tak terbatas. Tak terbentur realita. Bahkan jika terbentur pun, seorang anak punya ribuan ide lain yang melampaui kemampuannya. Meski saya yakin, tak semua anak seperti itu.

Saya pernah termasuk dari sekian anak dengan banyak ide. Saya kira selain oksigen dan nutrisi dari makanan, ide adalah faktor ketiga yang mendukung kehidupan saya. Bukan tak mungkin, jika tanpa ide atau angan-angan serampangan, saya mungkin berakhir menjadi insan ogah-ogahan yang hidup segan mati tak mau.

Kehidupan kanak-kanak saya terbatas, tapi saya memutuskan untuk mengembangkan layar selebar mungkin agar ide saya tetap mengembara. Ia bahkan pergi jauh melampaui keberadaan saya yang terbatas. Di masa kanak-kanak, tak banyak keinginan saya yang terpenuhi, bahkan yang paling mendasar pun. Namun, melalui ide ini pikiran saya bekerja lebih lama daripada jam pelajaran di sekolah.

Misalnya, di kala itu bermain layang bagi anak-anak perkotaan masih dapat dinikmati meski agak berhati-hati. Tak banyak tanah lapang di kota. Juga juluran kabel dan tiang-tiang listrik di mana-mana membuat permainan layang-layang bagi anak perkotaan serupa dengan adu pacu pesawat ruang angkasa dalam film Star Wars. Tak semua dari kami bisa membeli layang-layang. Entah karena memang tak ada uang, atau memang dilarang orang tua. Kebetulan, orang tua saya beralasan keduanya. Bahkan saya tak boleh membelinya dengan uang tabungan receh milik saya sendiri. Alasannya, berbahaya.

Sebagai anak kecil yang seringkali menafikan kata “bahaya” dan memuja kenekatan, saya memberontak, itu pasti. Saya memang tak boleh membeli layang-layang, atau membuatnya seperti kawan-kawan lain. Tapi saya tak pernah mendengar larangan untuk tak membeli senar layang-layang. Beruntung, orang tua saya cukup fair soal ini. Saya membeli senar layang-layang paling wahid kala itu, merk Cobra yang konon diproduksi di Madura. Senar ini — lagi-lagi konon katanya — terbuat dari pecahan-pecahan kaca yang dihaluskan. Tajamnya tentu bukan main dan tak layak digunakan untuk bermain yang bukan-bukan.

Melalui ide saya membeli senar layang-layang tapi tak punya layang-layang, kebebasan pun muncul. Larangan membeli layang-layang saya taati. Tapi tentu tidak dengan “mendapat” layang-layang secara cuma-cuma, itu tak masuk klausul hukum dan aturan.

Sekitar kelas tiga sekolah dasar, dengan sadar dan pasti saya menaikkan sebuah kresek berwarna gelap yang saya tali dengan senar Cobra tadi. Senar ini cukup mahal untuk satu gulungannya, sehingga saya akan memakainya dengan hati-hati. Menghindari tiang listrik adalah kewajiban, ditambah saya tak akan bermain di lapangan luas bersama kawan-kawan lain. Alasannya, tentu saya akan ditertawakan karena bermain plastik kresek, dan ancaman lain yaitu senar dirampas oleh anak-anak yang lebih besar.

Untuk meminimalkan risiko, ide saya menyuruh saya bermain lewat loteng rumah kerabat saya yang tak jauh dari lapangan. Dengan uluran senar sekitar sepuluh meter saja rasanya sudah bisa menggapai beberapa layangan di lapangan kecil yang hanya berjarak tiga rumah dari “hanggar” milik saya itu.

Umumnya layang-layang dinaikkan selepas pukul dua sore, sejam kemudian beberapa di antaranya hanya akan dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya atau istilahnya “dipanjar”. Karena, pukul tiga sore kawan-kawan saya punya kewajiban — yang tentunya banyak keterpaksaan di sini — untuk pergi mengaji. Saya kira, ini kesempatan saya, dan juga kesempatan anak-anak lain yang malas pergi mengaji. Memang tidak fair untuk beradu tangkas dengan layang-layang yang dipanjar. Tapi saya pikir biar saja, toh layang-layang milik saya hanya kresek bekas tanpa rangka yang menangkap angin hanya dengan menggembung, belum pula kontrol yang sulit.

Tapi kontrol sesulit apa pun tak mengecilkan kualitas senar Cobra ini. Kebanyakan, kawan-kawan di lingkungan saya lebih memilih menabung untuk membeli layangan mewah merk “CMS” daripada menabung membeli senar. Prioritas layang-layang lebih utama, untuk senar baru kemudian. Logika ini saya balik — tentu karena larangan membeli layang-layang — dan lantas saya gunakan untuk bertarung. Sore itu, dua layangan tumbang karena “ kresek terbang” milik saya. Tak ada kecurigaan mulanya, karena memang kresek terbang adalah fenomena umum di perkotaan yang banyak sampah. Tapi kilatan senar milik saya lama-lama menimbulkan pertanyaan, meski akhirnya tak ada yang bertanya.

Dari hari itu, saya taklid dengan “ kresek terbang” milik saya. Hasilnya lumayan, meski tak semua layang-layang yang saya tumbangkan terbang ke arah loteng tempat saya bermain, tapi lima layang-layang dalam satu semester sudah cukup. Lainnya menjadi sedekah bagi kawan-kawan pengejar layang-layang yang tadinya hanya mampu menonton dan adu bacot, karena tak ada sisa uang jajan untuk tabungan.

Beberapa dari kawan yang tahu tindakan culas saya ini seringkali bertanya,”Kenapa kau tak memainkan layang-layang hasil pungutanmu itu saja? Kresek itu dibuang saja lah”. Jawaban saya lugas, pertama adalah kamuflase. Saya tak pernah bisa benar-benar menerbangkan layang-layang sendiri. Dan tak mungkin saya menerbangkan layang-layang hasil pungutan dan keculasan dengan kawan-kawan di lapangan. Mereka bakal tahu kalau saya pemilik “kresek terbang” ketika saya menerbangkan layang-layang baru hasil pungut. Sebab, di saat itu pasti tak ada orang tak waras lain yang menerbangkan kresek.

Saya memberi jeda satu semester. Masing-masing sudah terbagi antara masa menabur, yaitu masa bertarung dan memungut layang-layang. Dan kedua adalah masa berpantang, yaitu di mana saya bergabung sebagai tim “sorak dan kejar” di lapangan yang tak punya layang-layang. Lalu ketiga adalah masa tuai, di mana saya pergi ke lapangan itu dengan gagah membawa senar Cobra saya dengan layang-layang hasil pungut dan menerbangkan bersama kawan-kawan yang di masa tabur sudah saya curangi dengan “kresek terbang”. Tentu saja mereka sudah lupa bentuk layang-layang milik mereka enam bulan lalu. Apalagi merk “ CMS” yang tersohor di kota saya hadir dengan desain-desain baru tiap bulannya.

Semua tadi berawal dari ide liar saya. Ide yang melampaui kemampuan saya bermain layang-layang. Tapi hati kecil saya ingin bermain. Tapi sampai sekarang saya tidak bisa menaikkan layang-layang sungguhan. Karena, setelah masa menuai tadi saya benar-benar bangkrut. Semua layang-layang saya berikan kepada kawan-kawan tim “sorak dan kejar”. Alasannya, karena memang menerbangkan kresek lebih mudah daripada menerbangkan layang-layang dengan rangka bambu. Hampir semua layang-layang hasil pungut saya mengalami kerusakan pada bagian ujung hidung diagonal vertikalnya karena gagal take off dan lantas meluncur turun hingga patah.

Kegagalan dalam dunia bermain layang-layang tak begitu memusingkan saya. Toh, pernah menumbangkan deretan layang-layang “CMS” nomor wahid dengan hanya bermodal kresek dan senar tokcer saja sudah cukup. Tapi baru kemudian saya sadar — sambil setengah mengumpat — bahwa ide untuk mengakali larangan “membeli” layang-layang membuat saya lebih “cerdas”. Ya tentu, ini cerdas yang lebih mengarah ke kegiatan culas.

Mengingat masa kanak-kanak tak lengkap jika tak mengulas novel Totto Chan-nya Tetsuko Kuroyanagi versi translasi oleh Dorothy Britton. Novel yang kali pertama terbit dalam bahasa Jepang tahun 1981 ini cukup menggemaskan sekaligus menenangkan. Meski berakhir dengan cukup sedih, namun sebagai novel anak-anak Totto Chan perlu diabadikan sebagai karya sastra pedagogis termasyhur.

Novel ini bercerita tentang gadis kecil bernama Totto yang memiliki keaktifan melebih kawan-kawan seusianya. Tomoe Gakuen adalah sekolah yang dipimpin oleh kepala seolah bernama Mr. Kobayashi, tempat di mana dunia Totto-chan terbentuk. Totto-chan adalah anak perempuan riang yang tak bisa dibatasi dalam berekspresi, dan Tomoe Gakuen adalah jawabannya.

Petualangan Totto-chan bermula dari kereta api Oimachi yang membawa ia dan ibunya pergi di Stasiun Jiyugaoka. Ah, pertama-tama saya kagum dengan ibu Totto-chan yang amat “sempurna” dalam menanggapi anaknya. Meski tak menjadi tokoh utama dalam cerita, namun sosok Ibu ini adalah benang penyambung antara Totto-chan, dunianya, Tomoe Gakuen, dan Mr. Kobayashi.

Cita-cita Totto-chan pertama kali adalah menjadi penjual tiket kereta api. Hal itu diucapkan sekenanya saat ia merasakan bagaimana memegang tiket kereta api. Padahal sebelumnya, menurut Ibunya, Totto-chan bercita-cita sebagai mata-mata. Diskusi kreatif akhirnya membuat Totto-chan bertanya pada ibunya tentang kemungkinannya untuk menjadi penjual tiket yang sebenarnya adalah mata-mata.

Tentu saja, cita-cita Totto-chan akan berubah setiap ia melihat hal-hal baru. Seperti ujaran,”I’ve changed my mind. I Think I’ll join one of those little bands of street musicians who go about advertising new stores!”, Totto-chan benar-benar seorang anak yang tanpa tedeng aling-aling memburaikan idenya keluar dari seluruh inderanya. Tak ada yang bisa membatasi gadis kecil ini. Kesan ini saya dapat saat pertama kali menyelesaikan satu bab buku ini saat SMA.

Ya, saya membaca buku anak-anak ini baru saat SMA. Entah karena kurang introver atau memang hanya buku ini tak eksis di perpustakaan SD dan SMP, yang jelas di usia remaja tanggung itu saya baru merasakan masa “kanak-kanak” lewat Totto-chan.

Buku ini disarankan kepada saya oleh penjaga perpustakaan di SMA yang sepertinya bosan melihat saya terlalu serius membaca karya-karya Sindhunata dan Y.B. Mangunwijaya di tingkat dua sekolah. Membaca Totto-chan otomatis membuat hari-hari seolah cerah. Sekolah menengah atas yang membosankan sekiranya nampak seperti taman kanak-kanak. Ya, walaupun toh sampai kapan pun kita adalak kanak-kanak yang malang.

Kebetulan, saat itu di sekolah sedang terjadi resistensi terhadap kepala sekolah. Pergolakan ini dilakukan oleh beberapa kelompok murid dan juga guru. Tak khayal, beberapa guru tetap dikeluarkan atau dipensiunkan dini. Kebanyakan adalah mereka yang berani mendobrak metode pedagogis di sekolah kami. Sedangkan di sisi murid-murid saya terjepit di antara dua tempat. Pertama adalah konflik di sekolah, dan kedua adalah saya tinggal satu atap dengan kepala sekolah tersebut, karena saya tinggal di asrama yang juga sebuah biara. Saat itu, saya tak begitu peduli dengan konflik ini, tapi lambat laun akhirnya saya terkena juga.

Saat tingkat dua berjalan satu semester, santer terdengar kabar bahwa ekstrakurikuler pecinta alam di sekolah kami hendak ditutup. Alasannya beragam, tapi yang paling membuat kami tak habis pikir adalah karena ekskul ini tak menghasilkan prestasi — dalam hal ini berupa piala atau piagam penghargaan — . Tentu beberapa dari kawan-kawan anggota pecinta alam marah. Sebabnya, pecinta alam di sekolah kami memang tak mengejar prestasi macam itu. Tapi, sebagai pecinta alam sekolahan, saya kira pengalaman mereka cukup besar.

Tahun 2010, ekskul yang terkesan tak jelas jluntrungannya ini pernah melakukan ekspedisi besar ke Gunung Dempo di Pagaralam, Sumatra Barat. Ekspedisi ini jangan dibayangkan hanya berupa jalan-jalan ke gunung lalu mengambil beberapa foto untuk feed Instagram. Saat itu, media sosial utama masih Facebook atau bahkan Friendster. Ekspedisi ini bekerja sama dengan Mapala UI dan beberapa media besar nasional dan berisi penelitian terpadu antara analisis vegetasi dan sosial masyarakat di sekitar Gunung Dempo. Bahkan, ekspedisi itu sempat diliput beberapa acara bertema alam bebas di televisi nasional yang sedang marak kala itu. Asal tahu saja, kegiatan alam bebas belum begitu populer hingga tahun 2012 saat film “5cm” yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Dhonny Dhirgantoro. Dan kala itu, tak banyak anak-anak SMA yang pergi ke hutan dan menyepi. Buat apa juga pergi ke hutan, jika hari-hari bisa diisi dengan pesta dan cinta bukan?

Ekspedisi yang menjadi rangkaian ulang tahun sekolah yang ke-75 itu menjadi kali terakhir kejayaan kawan-kawan pecinta alam di sekolah saya. Setelah itu, kegiatan mereka seperti tak mendapat restu dari sekolah, hidup segan mati tak mau. Baru kemudian saat isu pembubaran ekskul ini mencuat, beberapa kawan yang kebetulan juga kawan dekat saya mulai membuat kegiatan peduli lingkungan di pedesaaan lereng Gunung Semeru di Lumajang. Saya — yang bukan anggota — lantas tertarik untuk mengikuti perjuangan kawan-kawan tadi. Bukan apa-apa, tapi sepertinya sangar saja melihat perlawanan anak-anak remaja.

Tak banyak anak-anak, dari usia balita hingga jelang dewasa mau repot melawan sesuatu di luar urusan larangan orang tua. Sistem pendidikan di Indonesia umumnya memang dibuat untuk membuat pelajar menjadi patuh. Bukan untuk berpikir bebas. Beberapa sekolah swasta memang memakai konsep bebas berpikir dan bertanggung jawab, tapi tak semua dijalankan secara demikian. Salah satunya adalah sekolah saya mungkin.

Kesan pertama masuk sekolah saat itu adalah kejuaraan, prestasi, dan lomba. Meski tak semua nampak diproyeksikan untuk menjadi robot, tapi beberapa kawan saya terlihat demikian. Atau bahkan, mereka tak terlihat sama sekali sampai lulus karena sibuk ikut program pengayaan menuju olimpiade tertentu. Saya pernah diikutkan beberapa lomba sepanjang tiga tahun sekolah, dan saya justru merasa kesepian karena hanya ada saya, buku, dan guru. Pikiran saya seolah dikunci dalam terali besi dengan tujuan prestasi. Beberapa kawan sukses dengan cara ini, tapi tidak dengan saya. Akhirnya, dengan keadaan sadar dan tidak dipengaruhi hal-hal lain, saya memilih untuk ikut perjuangan kawan-kawan pecinta alam tadi. Sebab, tak ada satu pun lomba yang saya menangkan, dan itu tandanya saya tidak cocok ikut kompetisi macam itu.

Kepala sekolah kami memang bukan Mr. Kobayashi yang membebaskan murid-muridnya untuk berpikir dan berkreasi. Atau, memberi ruang seluas-luasnya untuk ide anak-anak. Mungkin karena memang berbeda saja, sekolah dasar dan sekolah menengah atas. Tapi, saya masih yakin bahwa di mana pun tingkat pendidikannya, anak-anak tetaplah anak-anak. Bahkan para lansia pun secara psikologis akan memasuki tahapan kembali berpikir dan berbuat seperti anak-anak. Tua itu pasti, tapi dewasa adalah pilihan.

Konflik di sekolah saya kira justru menguji bagaimana kualitas pendidikan dalam sekolah itu dijalankan. Perlawanan sekelompok pelajar memang kerap ditertawakan, karena anggapan “masih anak-anak” atau “tak tahu apa-apa”. Namun, jika membalik logika itu, justru harusnya mereka yang berujar demikian merasa malu, sebab kebijakan mereka dilawan oleh anak-anak ingusan tak tahu apa-apa. Jika para cecurut yang dianggap dungu ini saja melawan, apalagi mereka yang lebih tahu dan paham? Bahkan bisa dibilang, ketidaktahuan itu bukan dosa, ketidaktahuan bukan kesalahan.

Totto-chan adalah anak yang tidak tahu dan kemudian menjadi serba tahu. Ia belajar bagaimana mengenal hasil bumi lewat bekal sekolah yang meliputi makanan dari laut dan dari gunung. Sedari kecil, secara tak langsung ia mengenal alamnya, lingkungannya, melebihi keharusan ia harus mahir membaca, berhitung, dan menulis. Dalam pendidikan dasar, obeservasi dan pemahaman menjadi yang utama. Namun tak demikian dengan kita, nilai adalah hal utama dan tolok ukur paten. Anda tak akan dikenal jika nilai dan prestasi anda pas-pasan. Jadi, sekolah-sekolah di Indonesia saya kira masih menganut sistem mendidik si pandai dan menenggelamkan si pandir yang kesulitan memahami sesuatu.

Beberapa sekolah dalam promosi omong kosongnya kerap kali memakai kata “pendidikan berkarakter” sebagai salah satu visi utama. Namun, tak banyak dari sekolah-sekolah ini yang benar-benar menjadikan “karakter” sebagai tolok ukur pedagogis. Memang sulit untuk taklid terhadap satu ide, jika kita tertekan oleh sesuatu yang tak nampak. Karakter apa yang akan hadir jika para pelajar di sekolah dituntut untuk bersaing dalam berprestasi. Bagaimana dengan mereka yang — katakanlah — hanya ingin sekolah saja cukup?

Tak jarang, dalam kisah Totto-chan beberapa orang tua murid tak yakin dengan metode pendidikan Mr. Kobayashi yang demikian bebas dan unik. Lihat saja bagaimana ia menyuruh para orang tua murid untuk memakaikan seragam untuk anaknya berupa pakaian usang. Lalu di sekolah, mereka diajak bermain lumpur hingga beberapa di antaranya terluka. Anak-anak memang senang dan bahagia meski terluka, tapi tidak bagi orang tua mereka. Di sini, pertentangan terhadap apa itu pendidikan menjadi bias.

Orang tua, seperti bagaimana kata itu disebutkan, adalah orang yang tua. Hal ini bisa berarti bahwa mereka sudah berumur, berpengalaman, atau hanya mereka kebetulan mempunyai anak di usia itu dan menjadi “tua”. Dari hal ini, umumnya para orang tua secara sepakat akan menjadikan anak-anaknya agar lebih baik dari mereka di masa lalu. Harapannya, anak-anak mereka harus merasakan masa kecil yang lebih indah dan madani. Lalu banyak lagi rentetan angan-angan orang tua lainnya. Singkatnya, anak adalah proyeksi orang tua terhadap hal-hal yang tak dirasakannya di masa lampau. Oleh karena itu, beberapa dari orang tua ini akan bersikap teramat protektif. Hal yang satu ini cukup bertolak-belakang dengan prinsip pedagogis, di mana justru diharapkan mampu menyalurkan ide anak dengan lingkungan sekitar, bukannya lingkungan orang tuanya saja.

Pendidikan, pada dasarnya adalah persoalan paradigma, sebuah kerangka berpikir. Baik pengajar maupun pelajar memiliki hal ini. Dan lantas pendidikan yang sekiranya pantas dan layak adalah di mana pengajar dan pelajar memiliki paradigma selaras. Selaras belum tentu sama, karena kerangka berpikir tiap kepala tak bisa disamakan, kecuali anda di sekolah militer. Paradigma bukan doktrin militer, ia merupakan kerangka dari sebuah bangunan besar bernama pikiran. Ia dapat mengalami perbuahan struktur atau bahkan keropos dan runtuh. Ia pula dapat begitu saja kuat dan kokoh ketika mendapat dukungan pondasi dan atap yang juga bernas.

Berbicara soal paradigma, setiap kepala memiliki belokannya sendiri. Kerangka berpikir bersifat dinamis. Seperti bagaimana akhirnya anak-anak di Tomoe Gakuen berpisah dengan sekolah tercintanya itu. Mereka terpaksa mengikuti paradigma berpikir orang tua mereka yang tak bisa memahami konsep pedagogis di Tomoe. Sedangkan, karakter adalah hal utama yang dilakukan guru-guru di Tomoe.

Pada bab ke-46 yang berjudul “Chalk” kita mendapat suatu tamparan keras tentang bagaimana pendidikan karakter itu secara sederhana dilakukan. Paragraf pertama bab ini berujar demikian,

“Tomoe children never scrawled on other people’s walls or on the road. That was because they had ample opportunity for doing it at school”

Ya, masuk akal. Anak-anak di Tomoe punya banyak waktu mencoret-coret dinding dan lantai kelas yang terbuat dari gerbong bekas itu dengan kapur. Bahkan, saat pelajaran mengenal not balok pada musik, mereka menggunakan lantai sebagai papan tulis raksasa mereka. Mereka bisa menggambar sebesar mungkin. Sepuas mereka. Anak-anak hanya mencari kepuasan, setelah itu mereka akan bosan. Mereka mencari dan mempelajari hal baru, setelahnya ia cari hal lain yang menarik. Begitulah karakter di Tomoe dibentuk. Mereka dibuat bosan untuk mengeluarkan isi pikirannya. Sehingga mereka tak melakukan hal-hal terkait ide liar itu di tempat lain yang dianggap kurang tepat.

Kalimat paling berkesan yang diucapkan oleh Mr. Kobayashi saya pakai untuk membuka tulisan ini. Untuk ukuran buku anak, kalimat itu teramat berbau filsafat. Seperti sebuah sindirian bernada eksistensialis, Mr. Kobayashi memeprtanyakan ke-manusia-an kita. Seperti apa yang telah diungkapkan Bapak Eksistensialisme, Yth. Søren A. Kierkegaard yang secara ringkas mengatakan bahwa manusia adalah sosok estetis dan dinamis yang secara naluriah tak bisa dibatasi oleh sesuatu hal. Harusnya, memang tak ada manusia yang mengalami kontradiksi secara inderawi. Meski nyatanya, tak semua yang “memiliki mata” dapat “melihat”, tak semua “memiliki telinga” dapat “mendengar”, dan tak semua memiliki pikiran dapat memahami “kebenaran”.

Dari semua itu, makin ke sini manusia nampak terlihat kehilangan eksistensinya. Mereka seolah tenggelam pada setiap pretensi-pretensi yang mereka buat sendiri. Mereka menyembunyikan diri mereka dari realita. Mampu melihat tapi memilih untuk tak melihat. Mampu mendengar tapi ogah mendaku bahwa mereka mendengar. Dan yang terutama, memiliki pikiran tapi memilih tak acuh pada pemahaman mengenai kebenaran atau kebajikan.

Secara lebih lanjut Kierkegaard menempatkan manusia pada tiga fase eksistensi yang berupa estetika, etika, dan religius. Namun belakangan, eksistensialisme dijabarkan secara modern oleh pasangan Simone de Beauvoir and Jean-Paul Sartre menjadi sebuah hal yang merupakan sebuah perlakuan bebas sebagai inti keberadaan manusia dalam memenuhi nilai intrinsik dan melandasi semua nilai lainnya. Manusia adalah kebebasan yang lantas memenjarakan dirinya sendiri. Ia menyukai segala yang dirasa menjadi bagian dari estetika. Ia juga lantas mulai membatasi dirinya sendiri dengan etika. Dan terakhir, ia merasa perlu mendapat kontrol dan membaptis dirinya sendiri pada sikap-sikap religius tertentu.

Ketiadaan adalah keberadaan yang sempurna. Bisa dibilang ini adalah inti dari eksistensialisme. Di mana paradigma melebur dan menjadi sebuah keabadiaan tertentu. Seperti masa kanak-kanak yang lantas kembali menyambangi kita di usia senja. Atau malahan, masa keindahan masa kanak-kanak yang tak pernah kita rasakan sebelumnya. Pada setiap kelokannya, pikiran akan tetap pada poros pertama di mana ia beranjak. Meski ia telah menjauh dan berliku tanpa terlihat lagi, namun titik awal itu melandasi eksistensi manusia yang berpikir. Ia tak hanya duduk diam mengunyah tayangan televisi nir-quality atau hanya menelan kehidupan mentah-mentah. Ia tak hanya bekerja dan bekerja hingga pikirannya tumpul, tapi juga kembali menyelami terra incognita dalam kepalanya.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet