Perjalanan yang Menjelang

Algonz Dimas B Raharja
12 min readOct 7, 2020

--

“Night Walk” by Jason Boomgarden (https://www.artpal.com/jasonboomgarden?i=119274-4)

We need be careful how we deal with those about us, when every death carries to some small circle of survivors, thoughts of so much omitted, and so little done — of so many things forgotten, and so many more which might have been repaired

— Charles Dickens, Oliver Twist (1838) Chapter 33, pg. 285.

Jika ditanya buku favorit, bisa jadi buku klasik tulisan Charles Dickens ini menjadi yang pertama saya sebut. Bukan apa-apa, hanya saja novel Oliver Twist in pertama saya baca sekitar tahun 2002. Atau, lebih tepatnya sekitar kelas 2 sekolah dasar.

Mulanya tak sengaja, saya hanya bertemu hari-hari malas bersosialisasi dan lantas menyepi di perpustakaan. Sudah tentu, perpustakaan sekolah saya amat sepi, dan berdebu. Tak ada penjaga perpustakaan karena memang tak ada yang perlu dijaga. Perpustakaan itu terletak di bagian belakang sekolah, dekat ruang UKS. Banyak tersebar cerita seram tentang ruangan bagian belakang sekolah ini. Mungkin itu sebabnya kawan-kawan tak begitu lekat dengan perpustakaan. Kebanyakan, tiap kelas mengumpulkan iuran untuk membuat sudut-sudut baca di masing-masing kelas. Tentu saja langkah ini makin menepikan perpustakaan sekolah yang bisa dibilang hidup segan mati tak mau itu.

Buku Oliver Twist saya temukan di antara tumpukan novel-novel anak terjemahan yang sepi peminat. Jajaran buku ini tertutup oleh buku-buku besar bertajuk “30 Tahun Indonesia Merdeka” yang amat legendaris di masanya. Oleh karena rasa kasihan dan penasaran, saya pun mengambil buku itu di suatu siang yang malas. Dan begitulah, seminggu saya habis bersama Charles Dickens.

Hingga kini, buku ini menjadi yang paling sering saya baca ulang. Selain karena bertambahnya pemahaman atas latar kejadian cerita Oliver Twist, tetapi juga karena kerinduan tentang petualangannya.

Kutipan Dickens yang saya comot di atas menjadi intisari cerita tokoh Oliver. Sederhananya, kita hanya perlu berhati-hati menghadapi orang-orang di sekitar kita. Alasannya? Karena setiap kesengsaraan membawa kita kepada sebuah pergumulan atau lingkaran kecil orang-orang dengan nasib serupa. Dickens memakai lema “every death carries to some small circle” yang tak lain menginterpretasikan kesengsaraan sama dengan kematian.

Dari apa yang disebut “small circle of survivors” rasanya Dickens ingin menunjukkan bahwa dari sebagian orang-orang sengsara akan bermuara pada tujuannya masing-masing. Yang tak lain dan tak bukan adalah perkumpulan orang-orang sengsara.

Dickens mengambil latar waktu Revolusi Industri di Inggris pada abad ke-18. Tepatnya tahun 1760–1840. Meski, frasa “Revolusi Industri” sendiri baru populer lewat sejarawan Inggris, Arnold Toynbee pada kuliah-kuliahnya dalam rentang tahun 1881. Di sisi lain, terma ini jauh lebih tua dan justru berasal dari diplomat Prancis, Louis-Guillaume Otto pada 1799. Friedrich Engels dalam bukunya “The Condition of the Working Class in Englandyang terbit pada 1845 juga menjelaskan proses terjadinya revolusi industri di Eropa. Seperti Otto, Engels juga berpendapat revolusi industri justru berhulu di Prancis.

Namun, secara tegas Toynbee memopulerkan lema itu karena Inggris dianggap yang terdepan dalam hal revolusi industri. Toynbee tahu betul bahwa hampir keseluruhan proses revolusi industri dapat dilihat di Inggris. Dalam waktu seksama. Atau lebih tepatnya, di London.

Beberapa ahli memang berpendapat bahwa ditemukannya mesin uap menjadi motor penggerak roda revolusi industri ini. Namun sebelum itu, proses ini sejatinya berawal dari industri tekstil di Inggris yang mulai melakukan mekanisasi dengan uap air. Dari sana barulah kemudian mesin uap mulai dirancang. Dan kemudian merambah ke pembuatan pelat-pelat baja dan besi serta menuju ke pembuatan mesin-mesin mekanis berbahan logam.

Secara ringkas, Revolusi Industri di Inggris pada abad 18 menyebabkan fenomena lain pada manusia. Salah satunya adalah migrasi besar-besaran masyarakat pedesaan ke kota-kota seperti London dan kota industri lain. Bertumpuknya manusia pada satu tempat yang sudah mampat tentu saja menimbulkan banyak kesengsaraan. Alih-alih menggapai mimpi untuk menjadi aktor utama industri, beberapa dari mereka justru terhimpit pada gang-gang kumuh. Tak jarang, beberapa lainnya mulai menemukan pekerjaan-pekerjaan kriminal khas kawasan perkotaan.

Kecepatan industri di London, mau tak mau menggerus lambannya produksi pertanian di pedesaan. Seperti yang Dickens gambarkan sebagai Mudfog, tempat lahir dan tempat masa kecil Oliver. Mudfog sendiri dipercaya sebagai bentuk fiksi dari sebuah kota kecil bernama Chatham, di utara Kent. Tempat ini terletak di sebelah tenggara London, atau sekitar 110 kilometer dari jantung Inggris itu.

Oliver kecil, — — seperti yang sudah tenar diketahui — — adalah seorang yatim piatu. Ia hidup lewat belas kasihan Nyonya Mann di sebuah rumah sosial hingga usia sembilan tahun. Ibunya, Agnes ditemukan sekarat dengan pendarahan saat hari kelahiran Oliver. Dalam versi novel panjangnya, Dickens membuka kisah dengan proses kelahiran Oliver sekaligus kematian ibunya di meja operasi yang ditangani Nyonya Thingummy. Agnes, ibu Oliver hanya sempat mengatakan “Let me see the child, and die” sebelum ia meninggal.

Dalam versi novel anak, lima halaman pertama adalah halaman perpisahan. Atau tepatnya adalah pertemuan yang singkat. Antara bayi Oliver dengan ibunya. Yang setelahnya, kepelikan hidup menanti Oliver dengan tegas di tangan Nyonya Mann. Tokoh yang disebut terakhir ini adalah bentuk realis dari seorang oportunis sejati. Ia mengurus banyak anak-anak malang bukan karena dia mencintai mereka. Tetapi lebih tepatnya, mereka membuat Nyonya Mann banjir keuntungan. Caranya? Tentu saja, menjual tenaga kerja anak. Dan untuk memotong ongkos makan, ia hanya menyajikan bubur dan sereal ala kadarnya bagi 25 anak di rumah sosial alias panti asuhan eksploitatif itu.

Anak-anak yang “dipelihara” Nyonya Mann hanya akan menerima makanan layak, mandi, serta pakaian bagus kalau ada inspeksi dari pejabat setempat. Selain itu, anak-anak itu adalah tenaga kerja.

Karena Ibunya meninggal, nama Oliver Twist didapat dari pemilik rumah sosial tersebut, yaitu Pak Bumble. Tokoh ini amat tenar dengan gambaran gemuk, koleris, dan serakah. Meski ia bertugas di bawah gereja, namun Bumble tak lebih dari sekadar makelar anak. Ia menamakan Oliver menurut abjad, nama belakang “Twist” diberikan karena sebelumnya ada anak yang diberi nama “Swubble”.

Di usianya yang ke-9, Oliver dibawa Pak Bumble pada sebuah ruang berisi sepuluh orang tua. Mereka tak lain adalah senat rumah sosial anak yang menentukan nasib Oliver selanjutnya. Secara singkat, Oliver harus bekerja keras karena dianggap sudah ‘layak’ untuk disebut pekerja. Ironisnya, meski bekerja amat keras, Oliver dan kawan-kawannya di rumah sosial tak diberi makan layak. Bahkan, Dickens menggambarkan bahwa pemilik usaha yang mempekerjakan mereka tak perlu susah-susah mencuci mangkok bekas makan. Musababnya adalah karena para anak-anak ini kerap menjilati mangkok itu hingga bersih.

Kesusahan ini kemudian memunculkan ajang ‘perjudian’ antar anak yang menyebabkan Oliver kena damprat. Bukan karena apa-apa, tetapi ia menjadi tenar karena adegan memberanikan diri untuk meminta tambah makanan. “Please, sir, I want some more”, begitu kalimat terkenal dari Oliver saat mendobrak tradisi di dalam rumah sosial. Di masa itu, hal seperti ini amat tak sopan. Atau setidaknya bagi anak malang seperti Oliver, jatah makan adalah pasti dan tak ada tambahan.

Singkat cerita, di tengah kegusarannya digilir bekerja dari rumah ke rumah. Hingga terakhir bekerja pada Pak Soweberry. Ia sempat merasakan sedikit kemewahan di sana. Namun iri hati dan fitnah ia dapatkan dari Noah Claypole, seorang remaja magang. Noah sempat memaki Oliver dan mengatakan bahwa ia seorang anak pelacur. Pertengkaran pertama Oliver pun terjadi. Tak butuh waktu lama, ia lantas dikembalikan ke Pak Bumble. Hingga kemudian Oliver benar-benar muak dengan Mudfog dan lantas memutuskan pergi ke London. Berjalan kaki.

Bagian awal kisah Oliver Twist nampak sedikit klise dengan drama yang padat. Namun, di era itu kisah ini mendobrak tradisi romantik yang menjalar di banyak kisah. Sudut pandang Dickens membuat kritik panjang bagi perlakuan panti-panti asuhan di Inggris pada masa itu yang mengeksploitasi anak-anak. Dan juga bagaimana Dickens mengkritisi implementasi Poor Law Amendment Act 1834 di Inggris dengan sistem workhouses-nya. Sistem ini menampung orang-orang miskin untuk bekerja dan tinggal pada sebuah rumah sosial. Di mana tak jarang, mereka dipisahkan dengan keluarga mereka. Dengan bayaran tak seberapa, mereka pun harus menerima makanan yang kualitasnya amat buruk.

Kelaparan di rumah sosial menjadi persoalan utama di rumah-rumah sosial Inggris saat itu. Dengan berdasar pada prinsip Malthussian bahwa pertumbuhan penduduk mengikuti deret ukur, maka pemerintah Inggris berusaha mencari jalan keluar. Yaitu dengan ‘memenjarakan’ mereka lewat rumah-rumah sosial yang tak manusiawi. Doktrin Malthus yang berujar bahwa ketersediaan makanan mengikuti deret hitung, maka bukan tak mungkin rumah sosial menjadi jalan keluar. Para pekerja-pekerja miskin itu memang diberi makan. Tapi tentu amat tak berkualitas.

Bahkan, pada pertengahan tahun 1840-an sempat terjadi skandal di Rumah Sosial Andover yang baru terkuak lima tahun setelahnya. Skandal ini menghadirkan kondisi mengenaskan para pekerja di rumah sosial yang harus berebut tulang untuk makan. Mereka menggerus tulang-tulang yang sebagian besar akan dijadikan pupuk itu untuk diambil sumsumnya. Tak hanya itu, kepala rumah sosial pun kedapatan melakukan pelecehan seksual yang masif terhadap para pekerja perempuan. Para pekerja ini, mau tak mau terjebak dalam kondisi seperti ini selama bertahun-tahun. Pilihannya hanya mati kelaparan di luar rumah sosial atau kelaparan tapi hanya setengah mati di dalam rumah sosial.

Dalam kisah Oliver, tekanan psikologis dirasakan amat kentara bagi orang-orang yang kelaparan. Mereka tak punya celah lain kecuali mengikuti aturan main dalam sebuah ‘kontrak hidup’ yang dijalani. Namun, sebenarnya yang menekan mereka bukanlah rasa lapar, tapi ketakutan. Takut akan hal-hal yang belum tentu terjadi.

Oliver membuktikannya dengan lari dari rumah sosial. Ia, sebagai anak yatim piatu tak dipengaruhi oleh rasa memiliki dan ingin memiliki dari sebuah keluarga. Ia bebas. Namun, di sisi lain ia memiliki ketidakberdayaan karena ia tak tahu keluarganya dan juga asal-usulnya. Oliver hanya bermodal nekat saja pergi ke London. Tak ada harapan apapun di sana. Lain halnya para pekerja dari kawasan rural yang berbondong-bondong menjemput zaman baru di London pada masa itu. Oliver hanya tahu, bahwa hidupnya ada di kakinya. Dan ia tak perlu tahu selebihnya, atau takdir selanjutnya.

Dengan gontai dan menumpang ke sana kemari, Oliver tiba di London dengan kondisi lemas. Ia lantas berkenalan dengan komplotan pencopet anak. Ia bertemu salah satunya, yaitu Jack Dawkins atau Artful Dodger. Dari sana, ia dibawa kepada Fagin. Sosok Fagin disebut Dickens sebagai seorang Yahudi licik yang serakah. Dalam 38 bab pertama — — dari 53 bab — — novelnya, Dickens menyebut Fagin sebagai “Si Yahudi” sebanyak 257 kali. Hal ini sempat menuai kritik yang menyebut bahwa Dickens adalah seorang anti-Semit. Namun, Fagin tetaplah seorang antagonis sejati yang — — kalau boleh dibilang — — cerdik.

Fagin berbeda dengan sikap antagonis Nyonya Mann atau Pak Bumble. Ia adalah seorang yang hati-hati. Amat berhati-hati. Berbeda dengan orang-orang jahat amatiran yang sebelumnya ditemui Oliver, Fagin hadir lebih ramah. Ia menempatkan Oliver sebagai muridnya di sekolah para copet di bagian East End, London. Mulanya, Oliver amat menikmati pertunjukan sulap-menyulap a la Fagin. Ia terpesona dengan cara komplotan itu meniadakan barang orang lain tanpa terlihat. Oliver yang amat polos pun segera beradaptasi dengan komplotan itu.

Seperti perjalanan, Oliver menemukan muaranya pada sekolah copet milik Fagin. Sekali lagi, ia terekspoloitasi. Namun kali ini ia sedikit menikmati, karena makanan lezat dan baju bagus hasil dari uang-uang haram.

Namun, seenak-enaknya suatu perjalanan, atau senyaman-nyamannya suatu takdir, nurani tak bisa dibohongi. Perjalanan yang menjelang antara Mudfog dengan London telah membuat takdir Oliver berjungkir balik. Ia mendapat “keluarga” di sekolah copet Fagin. Mendapat teman — — sekaligus musuh — — dan juga mendapat sosok kakak yang baik, Nancy. Sosok Nancy muncul sebagai anomali sekaligus ironi dalam kisah Oliver.

Selepas ia mengetahui bahwa pekerjaan Fagin adalah pencuri, Oliver hanya bisa pasrah dan ketakutan. Ia lantas tertangkap saat kawanannya ketahuan mencuri sapu tangan di sebuah toko buku. Namun, justru dari pertemuan ini Oliver menemukan jalannya yang lain, yaitu bertemu dengan Pak Brownlow. Seorang dermawan yang lantas menjadi sosok sentral di bagian tengah cerita.

Brownlow merawat Oliver dan percaya bahwa ia bukanlah anak yang jahat. Namun Fagin, dengan dorongan seseorang bernama Monks terus-terusan mencari Oliver. Mereka berdua bersikeras menjadikan Oliver sebagai seorang bajingan kelas teri di London. Melalui bantuan Bill Sykes, kekasih Nancy, Oliver tertangkap. Bahkan Nancy sendiri yang menangkapnya dengan muslihat saat Oliver pergi ke toko buku atas utusan dari Brownlow. Namun belakangan justru Nancy adalah satu di antara para penjahat yang mengizinkan nuraninya bekerja.

Layar terkembang yang baru saja hinggap di kehidupan Oliver mendadak tumbang. Ia kembali lagi ke Fagin. Dan kemudian cerita menjadi amat penuh dengan ketegangan serta singgungan banyak tokoh. Satu per satu dari mereka lantas membawa Oliver kepada masa lalunya.

Nancy dengan cara apapun mencoba mengabarkan keberadaan Oliver pada Brownlow dan orang-orang baik di sekitar Oliver. Tiap Minggu saat tengah malam, Nancy berjanji untuk menemui Rose, yang tak lain adalah saudari Oliver — — hanya belum terkuak — — di London Bridge. Pengisahan Nancy tentang perjalanan Oliiver ini lantas menjadi benang merah yang menghubungkan simpul-simpul berbelit tentang keluarga Oliver. Sayangnya, Nancy harus tewas di tangan Sykes karena suruhan Fagin melapor bahwa Nancy bertemu dengan beberapa ‘orang asing’ itu di London Bridge.

Keluarga yang ia cari ternyata tak jauh dari singgungan antara Brownlow dan sosok Monks yang menjadi rekan Fagin. Berawal dari sosok perempuan pada sebuah foto di rumah Brownlow, garis sejarah Oliver terkuak. Monks adalah saudara sebapak Oliver dari istri sah yang tak dicintai ayah Oliver, Edwin Leeford. Edwin belakangan diketahui mencintai ibu Oliver, Agnes Fleming.

Namun karena suatu pekerjaan di Roma, Edwin akhirnya meninggal karena wabah. Ibu Monks — — belakangan diketahui namanya adalah Edward Leeford — — menemukan surat warisann yang menyebut Agnes di situ. Agnes yang juga tewas saat melahirkan Oliver juga belakangan diketahui meninggalkan warisan berupa kalung emas namun dicuri oleh perawat yang melahirkan Oliver. Pak Brownlow sendiri merupakan kawan dari Edwin Leeford yang memiliki foto Edwin dan Agnes di rumahnya.

Kisah panjang itu lantas membuat pertentangan antara Oliver dengan kehidupannya berubah. Kali ini, pertentangan menjadi lebih luas yaitu antara Monks dan Oliver yang sebetulnya tak tahu apapun. Monks atau Edward hanya ingin Oliver menjadi penjahat karena itu cara satu-satunya agar Oliver tak berhak atas warisan Edwin, ayahnya. Maka ia mencari bantuan pada Fagin. Kisah makin pelik, tokoh makin banyak. Kepulan konflik di sana-sini.

Di bagian akhir, Oliver akhirnya kembali ke rumah Brownlow dengan segala latar belakang yang terang benderang. Namun, perjalanannya terasa amat panjang dan penuh kejutan. Kritik mengenai kelas sosial muncul di sana-sini. Begitu pula dengan irisan-irisan latar peristiwa yang pekat dengan kontras. Satu peristiwa di kawasan kumuh dan peristiwa lainnya di rumah mewah nan madani.

Kisah Oliver yang ditulis Dickens ini kurang lebih relevan dengan sebuah perjalanan kelas seorang individu. Di mana saya menemukan bahwa di tengah berkecamuknya euforia industrial, masyarakat tak mengenal lagi celah antara baik dan buruk. Selebihnya, yang justru jelas kentara adalah ketidakberdayaan individu menghadapi persoalan antar kelas sosial. Oliver lahir dari orang tua yang — — bisa dikatakan — — berasal dari kelas menengah. Namun takdir berkata lain, ia lahir sendirian, orang tuanya mati tanpa ia sadari keberadaannya.

Dari sana, persoalan pertama terjadi saat seorang perawat di rumah sosial mencuri kalung emas milik Agnes. Lalu bagaimana Nyonya Mann mengakali peruntungannya dengan menggarap anak-anak di rumah sosial dengan makanan minim dan kamuflase tertentu. Begitu pula Pak Bumble, utusan gereja yang secara ironis justru ‘menjual’ anak-anak pada rumah-rumah sosial untuk bekerja sekaligus menggadai kebahagiaan mereka.

Persoalan kelas makin nyata saat Oliver bertemu Fagin. Di mana Fagin memberi gambaran sentral tentang bagaimana pertentangan kelas harus dihadapi. Menurutnya, barang-barang mewah milik orang-orang kaya di London adalah hak bagi mereka yang miskin dan hidup merana di gang-gang kumuh. Tekanan ekonomi dan persaingan kerja yang amat tak seimbang di London kala itu memang memaksa sebagian orang untuk memilih jalan gelap. Seperti Fagin, Si Yahudi yang secara penuh mendedikasikan dirinya pada kejahatan.

Gambaran persoalan salah benar bernilai sama juga muncul dari sosok Fagin. Di mana ia benar-benar taklid sampai tiang gantungan untuk melegitimasi kejahatannya. Ia merasa benar karena hal itu dilakukan sepenuh hati. Bahkan, ia menyimpan beberapa barang curian berharganya sebagai bekal ‘pensiun’.

Di suatu waktu, kita bisa saja menjadi Oliver atau Fagin dalam perubahan hidup yang begitu cepat. Perjalanan seseorang tak melulu tegas dan lurus. Bahkan Oliver yang hanya bermodal nekat untuk pergi ke London pun harus berbelit begitu panjang. Meski akhirnya ia sampai pada muara yang membawanya kepada kebahagiaan, namun Oliver tak selurus itu. Begitu pula Fagin, hidupnya sebagai Yahudi di London bisa dikatakan tak lepas dari perisakan dan kesulitan hidup lainnya. Ia mungkin terlalu tua untuk berjibaku dengan belokan-belokan takdir yang senantiasa mengejutkan. Tapi di usia senjanya, Fagin tahu bahwa yang ia lakukan adalah benar, meski itu jahat.

Dan titik tengah dari kedua hal di atas adalah Nancy. Bagaimana seseorang seperti Nancy — — penjahat, pelacur, dan pencuri sekaligus — — dapat menemukan nuraninya. Sekalipun, saat nurani itu ditemukan di ujung nadir. Di ujung jurang kematian.

Setiap perjalanan memiliki ujung. Setiap prosesnya memiliki kelokan dan sesekali lubang-lubang menganga. Lubang itu — — tentu saja — — siap mengejutkan kita dengan pelbagai keingingan yang tak terwujud. Atau sekadar ketersampaian harapan dengan tujuan yang terpisah barang satu sentimeter saja. Toh, bagaimanapun harapan dan tujuan itu tak sempat sampai di titik temu.

Seperti Oliver, kita berjalan dan menjalani proses dengan kaki-kaki kita sendiri. Bilamana kaki itu goyah, maka berhentilah barang sejenak. Dan lantas berjalanlah lagi sekencangnya. Tak sampai pun tak apa, atau bahkan berbelok di tengah jalan, memang begitu nyatanya. Perjalanan dan tujuan bukanlah suatu keharusan yang dapat dipatok sedemikian rupa. Oliver tak pernah mengira bahwa di London ia kelak akan masuk dalam komplotan penjahat. Begitu pula ia bahkan tak mengira bahwa di London pula ia lantas menemui benang merah asal-usulnya.

Tentu saja, setiap dari kita memiliki “London London”-nya masing-masing. Sebuah tujuan yang bahkan kita tak tahu ada apa di sana, selain rasa ingin berjuang. Dan sedikit rasa penasaran. Kita tak perlu berekspektasi mengenai sebuah tujuan. Lantas biarkan rasa penasaran bekerja dan langkah kita berproses. Dari kisah-kisah tokoh dalam Oliver Twist bahkan tak dipungkiri bahwa setiap langkah seorang individu dapat berubah cepat. Begitu pula ada yang taklid tetap di jalannya meski ia tahu kegagalan mengintai di akhir kisah.

Kita hanya perlu berhati-hati menghadapi orang-orang di sekitar kita. Terutama di saat-saat kesengsaraan tiba, kesedihan, dan keterpurukan. Sebab dari setiap kegusaran hidup, kita dibawa pada lingkaran kecil yang berisi orang-orang selamat. Selamat dari gempuran kegagalan dan kekecewaan. Beberapa dari kita akan pernah merasakan kehilangan, atau menghilangkan. Begitu pula merasa terlupakan atau melupakan. Tapi di bagian akhir, kita perlu sadar bahwa mungkin beberapa hal telah diperbaiki selama proses perjalanan hidup ini.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet