Refleksi Mula

Algonz Dimas B Raharja
5 min readSep 25, 2020

--

https://www.moddb.com/members/amm015

On ne voit bien qu’avec le cœur. L’essentiel est invisible pour les yeux

-Antoine de Saint-Exupéry, Le Petit Prince

Tak semua hal baik dapat dilihat dengan mata, melainkan dengan hati. Setidaknya demikian yang seringkali terjadi dalam hidup saya. Mata memang memandang luas, berpetualang di setiap putaran kekuatan kornea dan retina. Namun, pemahaman akan suatu hal tak serta-merta selaras dengan kecepatan mata kita bekerja. Seringkali, kita alpa.

Bukan, kita tak alpa soal keberadaan materi atau malah ketidakberadaannya. Kita, atau mungkin saya, seringkali tak sadar akan satu hal. Nurani.

Aspek batiniah dalam sebuah kolase ‘penglihatan’ seringkali dibiarkan begitu saja. Tak begitu dipakai. Atau bahkan, memang sengaja tak terpakai. Hasilnya, saya lebih sering berhenti pada asumsi-asumsi yang bersumber pada ‘apa yang terlihat’. Hanya melihat saja tak membuat Anda, saya, dan kita memahami. Pun, dengan memahami, bukan berarti kita pernah melihat.

Misalnya saja, suatu kali saya pernah mendapat tugas dari kampus. Saat itu saya sudah alumni, dan kebetulan almamater saya punya acara. Dan sialnya, salah satu acaranya adalah seminar tentang Harimau Sumatra, Panthera tigris sumatrae. Dan setahu saya, tak ada pengalaman tertentu bagi saya untuk melihat langsung bagaimana si loreng yang hampir punah ini. Lantas lebih sial lagi, saya ditunjuk untuk menjadi moderator dalam seminar tersebut. Bukan kepalang, semalaman saya pusing. Tentu, dalam waktu semalam itu pula saya mencari pemahaman singkat tentang Harimau Sumatra. Atau bahkan, tentang seluruh spesies Panthera tigris yang masih tersisa di dunia.

Dari kolase waktu semalam itu, saya jadi mengerti bahwa setidaknya dua sub spesies hewan ini telah punah di Indonesia. Pertama adalah Panthera tigris sondaica dan kedua P.t. balica. Keduanya punah di awal abad ke-20. Dan di seluruh dunia, jumlah harimau ternyata tak sebanyak yang saya duga sebelumnya. Hanya enam sub spesies yang masih hidup di seluruh dunia. Dan lima di antaranya hidup di daratan Asia.

Semalaman, saya seolah berkenalan dengan hewan yang — menurut saya — amat populer ini. Bukannya apa-apa, hanya saja hewan harimau dipakai sebagai lambang, logo, atau banyak karya visual. Namun, di balik itu ternyata hewan ini bukan hewan yang suka popularitas. Ya, mereka punya kecenderungan hidup soliter. Tak suka berkelompok. Dan satu hal lagi, loreng yang mereka punyai sama halnya sidik jari pada manusia. Tiap ekornya punya keunikan.

Lantas, mengapa Indonesia kehilangan dua sub spesies harimau?

Nah, jawaban pertanyaan ini mau tak mau harus saya cari sebelum ada yang bertanya.

Salah satu alasan eksternal paling tenar dan populer dari kepunahan Harimau Jawa dan Harimau Bali adalah tradisi. Atau lebih tepatnya sebuah kebiasaan ‘buruk’ orang-orang di masa lampau. Pertama, tentu saja perburuan. Kedua, tradisi mirip gladiator di Jawa semasa tahun 1700-an hingga awal 1900-an, yaitu rampokan macan. Antropolog dari Universitas Leiden, Robert Wessing pernah menulis tentang hal ini pada tahun 1992. Lewat risalah berjudul “A Tiger in The Heart: The Javanese Rampok Macan” Wessing menulis bahwa tradisi rampokan dilakukan secara simultan di hari terakhir Ramadan atau menjelang Idul Fitri. Inisiatornya adalah penguasa-penguasa lokal di Jawa bagian tengah pada masa itu.

Ajang gladiator ini mempertandingkan harimau dengan kerbau di tengah alun-alun. Tentu dengan ribuan pasang mata yang menyaksikan di seputar alun-alun. Umumnya, masyarakat suka dengan hiburan macam ini. Jangankan ajang adu bunuh hewan macam ini, ajang eksekusi mati dengan guillotine di Prancis saja menjadi tontonan umum di masa yang hampir sama. Di berbagai keraton di Jawa, baik Yogyakarta maupun Surakarta, tradisi ini semacam kolosal. Bahkan, di tahun 1791 alun-alun utara Keraton Yogyakarta menjadi semacam “ruang tamu” bagi tamu-tamu Eropa dengan pertunjukan keji macam ini. Tapi tentu saja, keji tidaknya suatu tradisi juga tak sehitam-putih itu bukan?

Catatan Junghuhn pada 1845 juga menunjukkan bahwa Susuhunan dari Surakarta melakukan tradisi rampokan dengan 2000 sampai 3000 orang bersenjata. Buat apa? Tentu saja untuk berjaga jikalau obsesi manusia melihat harimau mati tak kesampaian dan justru mengancam mereka. Dengan lingkaran pengawalan berdiameter 300 kaki, para algojo siap melindungi sang petinggi kerajaan dari amukan harimau yang tengah diadu dengan kerbau.

Mata dan Hati

Bukan tak mungkin, punahnya Harimau Jawa erat kaitannya dengan ketidakpahaman manusia soal hidup bersama. Menyoal sesuatu yang dilihat tapi tak dipahami. Berkebalikan dengan apa yang mungkin kita pahami soal Harimau Jawa tapi tak pernah melihatnya lagi.

Manusia, bagaimanapun seringkali lupa berpikir tentang keberadaan suatu hal dan ketiadaannya di masa depan. Apa yang ada sekarang, dihabiskan saat ini juga. Seolah-olah, mereka berpikir bahwa tak akan ada satu pun perasaan kehilangan. Atau mungkin, kekosongan yang diakibatkan oleh ketidakpahaman.

Mata boleh saja melihat, tapi hati yang mempertimbangkan dan menilai. Mata boleh saja tahu apapun, tapi hati pula yang menentukan suatu kedalaman pengetahuan. Atau, jika kita memasukkan subjek baru; akal; maka boleh jadi penglihatan mata akan terdistorsi sedemikian rupa.

Dalam kisah fabel klasik miliknya, Antoine de Saint-Exupéry mengingatkan saya pada kesederhanaan cara melihat dan berimajinasi. Kisah petualangan anak yang ditulis Antoine dalam “Le Petit Prince” secara sederhana menunjukkan bahwa problematika hidup terkadang datang dengan cara yang sial. Sporadis. Dan tanpa kita siap sebelumnya. Kesedihan, sukacita, dan rasa ingin tahu secara simultan membuat seseorang tercerabut dari keberadaannya.

Ironis, Antoine, si penulisnya pun mengalami itu. Setidaknya, Antoine yang juga seorang pilot itu hilang di tengah Mediterania pada hari terakhir bulan Juli 1944. Hampir setahun setelah novelnya terbit dan lantas menjadi karya fabel klasik pendek yang cukup abadi. Sebelum hilang di Mediterania, Antoine juga pernah jatuh di gurun Libya pada awal tahun 1935. Dan sialnya, dia tak kapok-kapok untuk “melihat” dunia dari udara. Meski di tengah berkecamuknya Perang Dunia II pun, Antoine seolah mendalami dirinya sebagai tokoh “pangeran kecil” dalam fabel yang ia tulis.

Mata, tak akan pernah puas melihat sesuatu. Bahkan bagi seorang yang mungkin merasa dirinya telah banyak “melihat” dunia. Meski begitu, dengan atau tanpa mata, hati tetaplah indra yang tak liar. Mungkin saja, hati bisa berubah-ubah tergantung waktu, ruang, dan suasana. Namun, tak seperti mata, hati tak hanya melihat sesuatu dalam warna. Tak hanya hitam putih, tapi juga abu-abu. Ibarat aliran air, hati terkadang membendung aliran itu hingga menggenang dan dalam. Lantas, dalam suatu ketentuan tersendiri, bendungan itu terbuka dengan aliran yang begitu kuat dan deras.

Seperti sultan-sultan Jawa yang melihat harimau sebagai sebuah objek hiburan, mata seringkali tak begitu paham soal nilai. Seperti saat Antoine hilang di Mediterania, begitu pula mata tak begitu paham soal ketidaktetapan materi. Boleh saja, harimau-harimau punah dan hilang suatu saat nanti. Atau bahkan semua yang ada di dunia ini punah dan hanya menyisakan manusia belaka. Saya kira, manusia-manusia yang teramat bertumpu pada indra-indra tubuh ini bakal kesepian. Sebab, apa yang mereka lihat lambat laun akan sama, yaitu manusia-manusia lainnya. Atau gedung-gedung bertingkat lainnya. Bahkan, bencana yang tak ada habis-habisnya.

Sedang di kedalaman hati mereka, kesepian merenggut tanpa peduli dengan ruang, waktu, dan materi. Seperti sosok Pangeran Kecil buatan Antoine, merasa sepi di antara ingar-bingar kehidupan di asteroid-asteroid yang ia kunjungi. Yang terutama, pada suatu titik tertentu indra kita tak akan berfungsi pada satu ruang sepi. Hampa. Sebab banyak hal kita hilangkan, atau memang sengaja terabaikan begitu saja. Mata saja tak cukup. Begitu pula nurani saja tanpa mengetahui juga tak bijak. Seperti saat saya tahu bahwa harimau-harimau Jawa dan Bali itu punah, tapi saya tak sempat melihat mereka di hidup saya. Atau seperti Anda, saya, dan kita mengetahui suatu hal baru setelah hal itu musnah. Tak terlihat. Tak terasa. Tak ada sama sekali.

Begitulah kaidahnya, mata adalah objek pendamba materi. Apa yang terlihat. Dan hati, sebagai perpanjangan mata adalah objek, yang menjadikan ketiadaan menjadi ada. Atau, menjadikan keberadaan menjadi ada. Menempatkan sesuatu yang tak bernilai menjadi berharga. Dan sebaliknya, yang berharga bagi mata, tak ada nilainya bagi hati.

--

--

Algonz Dimas B Raharja
Algonz Dimas B Raharja

Written by Algonz Dimas B Raharja

Melihat. Mendengar. Membaca. Menulis. Berhitung.

No responses yet