Selangkah Lagi: Sebuah Refleksi Panjang (Bag.1)
Pengantar: Tiga Dekade
“There is no happiness on earth to compare with that which a beautiful and fruitful mind finds in a propitious hour within itself”
-Arthur Schopenhauer, On the Suffering of the World (1970, English Edition)
Hai kesadaran, apakah kamu masih kuat dan baik-baik saja?
“Selangkah Lagi” adalah ruang yang saya ciptakan untuk menulis pesan. Sebagai pengingat, ruang ini saya buat saat saya tengah berada dalam fase minus dalam hidup saya. Saya tenggelam lebih jauh daripada sekadar depresi psikis. Tentu saja, ini bukan kali pertama saya berada di fase seperti ini. Tapi, kali ini mungkin adalah hal baru. Saya merasakan semua hal yang seyogianya tidak perlu mengganggu hidup saya. Alhasil, saya kembali jatuh pada apa yang saya kenal sebagai perasaan unwanted, tidak diinginkan, tidak diharapkan, tidak punya daya, dan tentu saja, kehilangan rasa percaya diri.
“Selangkah Lagi” merupakan cara untuk mengenang mereka, teman dan kawan, yang berperan menopang kesadaran saya sejak saya beranjak remaja. Saya akan berusaha menulis tentang mereka, sejauh ingatan saya. Tulisan ini mungkin tidak akan berujung. Namun, untuk membantu saya menyadarkan diri akan perjalanan hidup, saya merasa perlu memulainya.
“Selangkah Lagi” saya tulis dengan sisa-sisa kepercayaan diri saya, sisa-sisa motivasi hidup yang masih menempel pada jiwa saya. Saya berusaha untuk tidak kehilangan harapan, meski saya tahu, saya dan anda tentu akan kebingungan menentukan mana harapan dan mana keinginan.
“Selangkah Lagi”, seyogianya adalah jalan yang coba saya gambar tipis untuk mengingatkan saya pada orang-orang berharga. Orang-orang yang dalam persimpangan hidupnya bertemu dan menerima saya sebagai sahabat. Orang-orang yang, dalam rentang ke sekian usianya menempatkan saya sebagai bagian dari perjalanannya, atau setidaknya saya menempatkan mereka dalam perjalanan hidup saya.
“Selangkah Lagi” bisa jadi adalah pesan-pesan, jika di kemudian hari kehidupan tidak lagi menjabat tangan saya erat. Meski, saya tahu bahwa saya telah mencoba berkawan dengan hidup selama hampir tiga dekade. Saya maupun anda mungkin tidak meminta bertemu dengan hidup. Tapi, bagaimanapun hidup meminta kita untuk senantiasa mengajaknya berkawan. Nyaman atau tidak, hidup tetap muncul di saat mata kita terbuka dan kita bisa merasakan napas nahas itu saat terbangun dari tidur.
Tiga dekade. Apa saja yang telah saya perbuat hingga kehidupan seolah menghukum saya untuk hidup selama itu?
Sejujurnya, saya tidak pernah meminta waktu sebanyak ini untuk hanya sekadar kebingungan dalam menjalani kehidupan. Saya mengawali kehidupan dengan tanda tanya besar. Tanda tanya yang terpaksa saya selesaikan sebagai luka batin saat saya seharusnya bermain bola atau berebut layang-layang. Luka batin tersebut, mau tak mau saya hidupi dan kelola saat saya berusia belasan. Dalam hal ini saya berterima kasih untuk psikolog di sekolah saya saat itu dan juga romo pamong yang saya anggap sebagai sahabat.
Awalnya, sebagai anak-anak beranjak remaja, saya enggan urusan batin saya direcoki oleh orang lain, orang dewasa. Seperti kata Arthur Schopenhauer, the meaning of life is to deny it. Berkaca pada apa yang saya rasakan saat itu, saya menolak kehidupan. Tapi, saya bukan pemurung. Saya pembadut ulung. Pun demikian pula hidup memberi saya kesaktian sebagai individu dengan ekstraversi cukup tinggi. Namun, keduanya hanya berlaku bagi mereka-mereka di luar diri saya. Saat kembali bersama diri saya sendiri, saya adalah pemurung yang introver.
Saya menolak kehidupan dengan cara saya sendiri. Saat itu, saya menolak kesedihan dan kerapuhan saya dilihat oleh orang lain. Saya menolak tunduk pada hidup yang melemahkan saya. Saya mendorong diri saya untuk tetap tangguh, entah bagaimanapun hidup memukul mundur saya. Singkatnya, saya berkeras hati untuk semua hal, termasuk kehadiran orang-orang yang memberi perhatian pada saya.
Seperti pesimisme Schopenhauer, pada mulanya saya mengenal kehidupan ini lewat kacamata kepicikan. Hidup yang mampat. Hidup yang senantiasa akan kecil dan tidak mungkin berkembang. Meminjam frasa dari Schopenhauer, mungkin saat saya menginjak remaja dan merasa sendirian, saya mengalami apa yang disebut the problem of existence. Saya belum menyadari atau saya hanya mempermasalahkan persoalan eksistensi.
Kembali ke tahun 2007. Saat itu, saya teralienasi, tercerabut dari mimpi-mimpi masa kecil yang sederhana. Saya kerap menggambar formasi sepakbola berikut logo klub bola yang saya buat bersama teman sekelas di sekolah dasar. Saya ingin bersekolah di sekolah A karena saya yakin akan kemampuan saya saat itu. Kendatipun tidak diterima, toh saya sudah mencobanya, sendirian. Saya bawa nilai-nilai ujian akhir untuk mendaftar sekolah itu dengan mengayuh sepeda angin, jauh dari tempat tinggal. Alhasil, semua usaha tadi harus dihadapkan pada fakta bahwa eksistensi tidak mengharapkan saya di tempat itu. Saya diterima, tetapi waktu menunjukkan bahwa saya harus pergi dari tempat itu. Terasing. Kembali ke titik nol, di mana eksistensi saya tidak dikenal lagi.
Beberapa hari setelah genap berusia 12 tahun, saya harus tinggal jauh dari siapa pun yang pernah saya kenal. Saya memulai dari kehampaan. Kekosongan. Hal yang baru kemudian saya sadari adalah perasaan tidak diinginkan, unwanted. Saya membaca hal ini ketika tiba pada suatu siang di ujung timur pulau Jawa dan melafalkan tulisan pada sebuah papan bertuliskan “pa-n-ti a-su-ha-n”. “Wow, ini adalah hal baru,” pikir saya waktu itu.
Perasaan pertama tentu saja saya berpikir bahwa kehadiran saya di dunia ini hanya setitik kecil dari keengganan. Ketidaktahuan. Ketidakberharapan.
Tapi tenang, empat tahun sebelum tsunami batin yang hebat itu saya sudah menamatkan “Oliver Twist” karya Charles Dickens. Sehingga saya tidak begitu takut dengan “panti asuhan”. Sebab, panti asuhan terburuk pernah saya baca dalam karya Dickens tersebut. Saya hanya berpikir bahwa, setidaknya saya akan punya ruang hidup, lebensraum, dan tentu sudut pandang baru di tempat itu.
Apriori. Begitulah kiranya yang saya pikir dan rasakan saat pertama kali menjejak kaki di depan tempat tinggal saya saat berusia 12 tahun itu. Perasaan-perasaan hancur itu perlahan saya hadapi dengan sebagaimana mestinya, esktraversi diri saya. Saya bukan pemurung dan pemarah ketika bertemu orang-orang baru. Saya berusaha bersikap tegar. Tegar seperti pagar yang tak berfondasi. Sejak saat itu, menurut guru bahasa Indonesia dan seni musik waktu itu, saya mulai menjalani pendewasaan dini. Hari-hari saya sebagai anak-anak menuju remaja tidak akan pernah sama lagi dengan kawan lainnya.
Schopenhauer berpendapat bahwa pencarian kebenaran acapkali terdistraksi oleh prasangka dan apriori palsu. Kita seringkali menyangkal rencana-rencana keselamatan, kebaikan, dan kedamaian. Kita, lebih mudah memilih menjadi keras — bukan tegar, bagai karang, yang membendung aliran batin dalam diri kita sendiri. Di kedalaman batin, kita hanya menyembunyikan apa-apa saja yang tak boleh dilihat atau dikenal orang lain. Menyembunyikan diri kita yang sesungguhnya. Si Rapuh.
Pada dasarnya, semenjak kejadian itu saya menjadi pemikir. Apapun saya pikir di waktu luang saya. Mulai dari hal tidak penting sampai menjadi bagian dari kelompok protes terhadap kebijakan asrama. Di sekolah, seperti pada biasanya hidup berjalan, persoalan saya hanya buku dan cinta. Buku untuk membesarkan hati, dan cinta sebagai bagian dari pseudo-acceptance untuk batin.
Selebihnya, prestasi begitu saja datang dan pergi di sekolah, tanpa pernah saya hargai. Tapi saya ingat satu hal, terima kasih teman-teman yang pernah mendukung saya saat pemilihan ketua OSIS dan memberi semangat saat saya hendak berangkat mewakili kabupaten untuk Jambore Daerah. Terima kasih pula untuk mereka yang menggoda saya dengan memanggil nama panggilan saya — Gombloh — saat grup musik kami tampil. Dan terima kasih untuk siapa saja yang menemani saya merayakan kelulusan sebagai lulusan terbaik di sekolah menengah pertama. Saya mengingat wajah-wajah kalian, dan diam-diam saya mengikuti kehidupan kalian, semoga kalian senantiasa bertemu dengan sukacita. Terima kasih sudah berkenan merayakan keberadaan saya, saat saya sendiri waktu itu sudah mati rasa terhadapnya.
Jika tak salah ingat, ada dua hal dari hidup yang terbangun saat itu. Pertama, kesabaran. Saya tumbuh dengan berapi-api, meski saya mendorong diri saya untuk menjaga api itu tidak menjilat orang-orang di sekitar saya saat itu. Kedua, kepercayaan diri. Saya tumbuh hampir tanpa apresiasi dari orang-orang terdekat. Apresiasi datang dari orang-orang lain. Saya kira di sini hidup memberi keadlian. Tapi maaf, apresiasi lantas tidak sebegitu penting bagi diri saya.
Kesabaran berbeda dengan keras hati. Kesabaran, mau tak mau menuntut kita untuk menghidupkan rasa. Di lain pihak, keras hati adalah suatu langkah mematikan perasaan. Keduanya mungkin tampak sama di luar, tapi berbeda di dalam. Bagi seorang anak yang berkeras hati sedari dini, menjadi sabar dan menghidupkan rasa teramat sulit dilakukan. Belum lagi fakta bahwa ya memang saat itu saya hanya seorang anak kecil. Merangkum segalanya dalam kepala kecil saya waktu itu seperti membenamkan Jupiter beserta keenam puluh tujuh bulannya ke dalam kolam karet.
Saya lupa bagaimana detailnya, namun kesabaran ini pernah terbangun sedemikian rupa. Perjalanan batin saya terbentuk setelah benturan-benturan tak karuan selama setahun pertama. Saya mengisi kekosongan dengan pertemanan dan cinta. Saya tahu bahwa hal topik pertama jarang gagalnya jika dibandingkan yang kedua. Namun demikianlah kiranya tahun-tahun pertama di usia 12 tahun itu berjalan.
Tahun kedua, saya mulai merasa punya eksistensi. Ekstraversi faktual sekaligus banal dalam diri saya bekerja lebih baik daripada yang saya kira sebelumnya. Jika seseorang mungkin mengawali hidup dengan mempertahankan “nilai” dari orang tuanya, berbanding terbalik, saya berusaha membangun “nilai” tersebut pada diri sendiri. Namun, bertumbuhnya “nilai” ini lantas membuat saya sedikit songong. Demikianlah kemudian muncul perasaan bahwa saya tidak perlu orang lain untuk mengelola luka batin saya. Sebab bagaimanapun, luka batin saya tetap di tempat semula, tanpa terkelola, hanya terabaikan saja.
Pada saat itulah saya bertemu dengan Bu Y dan Romo S. Bu Y adalah seorang psikolog, tinggal tak jauh dari sekolah dan sering berpraktik di sekolah. Sebagai anak yang kerap kali mendebat Guru BK, rasa-rasanya Bu Y adalah lawan sepadan bagi saya saat itu. Sejauh ingatan, Bu Y beberapa kali mendekati saya namun saya tolak, bahkan saya pernah bercerita kepada teman saya bahwa saya tidak butuh Bu Y. Singkat cerita, justru saya yang mendekati Bu Y dan ia menerima saya tanpa menggurui.
Romo S adalah sahabat saya saat itu. Tulisan-tulisan pertama saya bertemu dengan pembaca pertamanya, ialah Romo S. Mungkin usia kami terpaut dengan perbandingan satu banding dua saat itu. Namun, saya rasa dalam beberapa hal saya bisa bercerita tanpa tekanan dengan Romo S. Kami memiliki minat yang sama dalam hal petualangan. Mungkin, salah satu temuan saya di tahun-tahun itu adalah menyadari bahwa saya begitu menikmati petualangan dan hal baru. Petualangan menjadi salah satu ruang yang kemudian menjadi tempat mengurai pikiran-pikiran intrusif di kepala saya.
Pertemuan dengan eksistensi membuat saya lebih hidup, setidaknya saat itu. Dukungan dari kawan-kawan yang membuat hari-hari gelap saya sedikit lebih berwarna menjadi salah satu alasan saya tetap melangkah. Meski di sisi lain, kesabaran tumbuh tak begitu selaras dengan kepercayaan diri. Saya menyadari bahwa saya punya permasalahan menyoal penerimaan. Saya acapkali menganggap diri tidak layak untuk diterima. Sebab, orang tentu memiliki keinginanannya, ekspektasinya terhadap saya. Dan saya tahu, itu di luar kuasa mereka, pun di luar kuasa saya. Karena tentu saja, saya menjalani hidup saya, begitu pula mereka. Saya tidak punya daya untuk memenuhi keinginan orang-orang terhadap saya.
Saat itu, terkadang saya berpikir “apa tujuan hidup saya?”.
Jawaban dari pencarian-pencarian tujuan hidup tadi, sejujurnya, sampai sekarang pun tidak saya temukan. Mungkin, tanpa sadar beberapa di antaranya sudah terjadi.
Pada tahun-tahun kedua kehidupan alienasi, tanpa sadar saya sudah bisa lepas dari kesedihan menahun akibat latar belakang diri saya. Setelah mencoba berdamai dengan keadaan. Memaafkan mereka yang berperan di dalamnya. Saya mulai berhenti mengutuki kegelapan.
Beberapa hal dalam hidup memang datang dan pergi tanpa kita pernah sadari. Saya tidak pernah berpikir bahwa pertemuan saya dengan Bu Y dan Romo S lantas berdampak pada proses penyembuhan luka batin saya. Tadinya, saya bukan orang yang kontemplatif. Saya lebih suka mengurung diri dalam keramaian, canda tawa, dan obrolan-obrolan yang makin jauh dari kedalaman diri saya. Saya suka berlarian meninggalkan diri saya yang sebenarnya. Ada bagian diri saya, seorang anak kecil, yang meringkuk sendirian tanpa dikenal, tanpa pernah didengar, dan tak pernah dihidupi.
Selanjutnya, dalam perjalanan menjadi kontemplatif tadi, saya mulai mengajak bagian diri saya tadi ke dalam suatu tempat. Kami mengobrol. Kami saling mengenal. Di sini, bagian introversi dari diri saya bekerja. Saya mulai menyukai gubug-gubug kecil di tengah sawah, pohon rindang di sekitar ladang, di jembatan sungai di mana saya sering memainkan gitar, atau di sebuah ruang kapela di mana saya mengajaknya mengobrol sambil berlatih piano.
Tanpa sadar, saya mulai mengenal dunia yang hilang dari anak kecil tersebut. Dia yang akan tinggal selamanya dalam diri saya.
Jujur saja, saya belajar banyak dari anak kecil tersebut. Mungkin akan belajar seumur hidup saya, itu pun kalau saya masih berminat hidup lebih panjang. Sekali waktu, anak kecil tersebut mengajak saya bertualang ke kehidupannya. Kehidupan yang sepi dan sederhana, di mana ia merasa diterima oleh sekitarnya, keluarganya. Hingga kemudian satu per satu fakta kehidupan membawanya tenggelam, menghilang dalam duka.
Penerimaan. Inilah kata yang menjadi soal. Tidak semua orang mampu hidup tanpa merasa diterima. Tidak semua orang, berkenan mengusahakan dirinya untuk sekadar diterima oleh orang lain, atau bahkan dirinya sendiri. Kita hanya menjalani hidup dengan terseok-seok tanpa pernah sadar bahwa acapkali kita hanya mendorong pergi orang-orang yang berusaha membantu kita untuk tegar. Saat itu, saya merasa menjadi orang paling picik sedunia ketika menyadari bahwa saya menjadi bagian dari orang-orang keras hati tersebut.
Perlahan, saya belajar dan mengoreksi batin saya, hati saya. Saya menulis cerita, lirik lagu, dan membaca. Saya menemukan kontemplasi dalam kegiatan-kegiatan tersebut. Saya koreksi hal-hal apa saja yang membuat saya berkeras hati. Nyatanya, hati saya bisa digemburkan, diluluhkan oleh tulisan dan proses membaca. Keduanya membutuhkan kesabaran, yang untungnya sudah saya bangun terlebih dahulu. Baru dari sana lantas perlahan hati saya sedikit melunak, ia lantas mencari aliran lirihnya sendiri.
Perjalanan kontemplasi tersebut lantas menuntun saya untuk lebih tegar dan tangguh. Namun, persoalan penerimaan tidak serta merta ikut serta dalam perkembangan positif itu. Di saat kita melihat diri kita sudah cukup baik bertumbuh, banyak orang berekspektasi lebih liar daripada diri kita sendiri. Dan tentu saja, akan seperti itu sampai kapan pun anda hidup. Kita tidak akan pernah cukup memuaskan ego orang lain, keinginan orang lain terhadap diri kita sendiri. Hingga, kita akan sampai pada pertemuan-pertemuan yang mematikan harapan, membunuh tujuan.
Seringkali, saya berpikir dan bertanya,”Apakah adil jika semua hal ini harus saya tanggung tanpa timbal balik?”.
Saya kira wajar, jika seseorang yang sepanjang hayatnya mengelola ruam-ruam luka di batinnya, meminta bahagia barang sedikit saja. Namun, entah kenapa, rasa-rasanya kebahagiaan itu, atau apapun itu yang mengenakkan, hanya hadir sementara, di sela-sela duka yang lebih sering datangnya. Atau, sebetulnya harapan akan kebahagiaan itu justru mematikan dirinya sendiri?
Di titik ini, di waktu yang sama saat saya mulai menulis refleksi ini, saya merasakan kesakitan yang amat sangat. Saya rasa, harapan mengkhianati saya. Semua hal yang saya usahakan sebagai proses, menarik diri dari saya. Seperti semula, saya kembali mempertanyakan eksistensi saya dalam kehidupan. Masih layakkah saya hidup? Jika iya, untuk apa? Jika tidak, mengapa?
Dan bilamana kehidupan memang mau berkawan dengan saya lebih lama lagi, apa yang harus saya lakukan untuknya? Atau, jikalau memang ia sudah enggan dengan saya, apa yang seyogianya saya lakukan?
Hidup hanya sesederhana menyelami duka, mencari sepercik bahagia. Saya berani bertaruh, mereka yang lahir dan dilahirkan adalah bagian dari duka. Beberapa orang bahkan rela merenggut kebahagiaan orang lain demi bahagianya sendiri. Bukankah lantas bahagia itu juga bagian dari ego? Lantas, siapa kiranya manusia yang bisa lepas dari ego?
Kita menghidupi hidup dengan berbagai cara, dengan sesiapa, di mana saja. Namun, apakah lantas hidup hanya layak dihidupi sebagaimana kita bangun tidur, menjalani hari, lalu tidur lagi? Atau, hidup yang berdampak bagi sesama, man for others?
Saat berusaha menulis refleksi ini, kepala saya amat berisik dengan pertanyaan-pertanyaan kehidupan. Kenapa saya selalu dianggap kurang? Apakah saya masih kurang pantas dan layak? Apa yang kurang dari diri saya? Atau jika memang ada kelebihan, mau dibagaimanakan kelebihan itu? Sampai di suatu titik di mana saya bertanya,”Apakah saya masih layak untuk hidup?”.
Setidaknya, hanya butuh waktu dua bulan untuk meruntuhkan kesadaran dan harapan yang saya coba bangun beberapa waktu terakhir. Saya tidak tahu tentang bagaimana seseorang dianggap ada. Atau, keberadaannya berharga di mata orang lain. Saya berusaha berpikir positif dalam tiap-tiap hujaman guntur yang terlontar ke hati saya. Sepertinya, dalam beberapa kesempatan, perasaan bersifat kolektif dan korektif, saya meyakini itu. Namun, ada beberapa hal yang lantas membuat saya tenggelam dalam reruntuhan harap.
Ekspektasi dan harapan bukanlah dua hal yang sama, meski nampak serupa. Mungkin, sebagian orang berkekspektasi sempurna terhadap keberadaan saya baginya. Namun, sebaliknya, saya berharap bisa menjadi sempurna bersama orang tersebut. Ekspektasi, seringkali mengkhianati kita, atau membuat kita berkhianat ketika mendapati bahwa ekspektasi tersebut tidak sesuai ingin. Sebaliknya, harapan adalah ia yang sunyi, tercapai atau tidaknya harapan adalah bagian dari kesunyian tersebut. Ekspektasi melibatkan ego, harapan melibatkan rasa.
Kecewa adalah bagian dari ketidaksesuaian ekspektasi terhadap fakta. Namun, harapan seyogianya tidak mengenal kecewa. Ia hanya tidak pernah mati, itu saja. Namun, membunuh harapan sama saja mematikan pelita, mematikan nyala dari jiwa, yaitu rasa. Bagi orang yang pernah berada di kondisi keras hati, rasanya harapan adalah bagian nyala lilin yang melunakkan batu cadas di dalam hati saya.
Harapan adalah hal baik, dan hal baik tidak akan pernah mati, begitu kiranya tulis Stephen King dalam The Shawsank Redemption.
Tapi nahas, dalam kejatuhan dan depresi pun, acapkali kita terus berada di posisi keliru. Apapun yang kita usahakan dengan baik, justru seringkali berpaling. Memilih untuk menjadi penentu salah dan benar, hitam dan putih. Menolak bertumbuh dan mengelola luka, menikmati bulir demi bulir untuk makin mengeraskan hatinya. Berkeras pada fakta bahwa menjadi individu yang penuh harap atau penuh pesimisme adalah pilihan. Harapan memang tidak akan pernah mati, sekalipun orang lain berusaha membunuhnya. Namun, menghidupi harapan, sekali lagi adalah sebuah pilihan.
Seseorang akan selamanya berada di tempat gelap ketika ia menolak dirinya, menolak nyalanya, menolak harapan-harapan baik dari tunas-tunasnya. Sekalipun satu tunas akarnya mati, hati dan jiwanya bak pembibitan harapan yang tak akan kehabisan benih. Bahkan akar mati pun sempat menggemburkan tanah di sekitarnya, menyerap nutrisinya, dan kematiannya kembali menjadi nutrisi bagi tanah tersebut.
Manusia seringkali mendaku bahwa ia tak lagi punya fondasi yang kuat untuk sekadar membangun harapan. Seolah ia lupa, harapan bukan bangunan, ia tumbuh sebagai benih, bukan bangunan yang dibangun dengan lelah. Harapan hanya meminta kita untuk merawat. Sekalipun ia mati akar, ia akan tumbuh kembali seiring bagaimana tanah di ruang tumbuh itu mengusahakan kesuburan, bukan kekeringan. Bahkan tak jarang, harapan tumbuh di tempat kering.
Beberapa orang mungkin dengan mudah dicintai orang lain di sekitarnya. Beberapa lainnya hanya bisa mensyukuri jika ada orang-orang lain yang mencintainya, menerima keberadaannya.
Kita tidak pernah bisa memilih bagaimana jalan takdir. Pun ketika seseorang mengutuki takdir dan hanya berpasrah bahwa ia tak akan lepas dari takdir. Sebermulanya adalah kita tidak bisa memilih bagaimana kita lahir. Semua hal itu di luar kuasa kita. Dan hidup diberikan untuk membuat kita berani menentukan jalan kita sendiri, terlepas dari betapa buruknya takdir yang tidak pernah kita pilih sebelumnya.
Saya, secara personal, menganggap bahwa beberapa hal terkait takdir adalah omong kosong kehidupan. Hidup sendiri adalah kekosongan, sehingga takdir adalah omong kosong dari kekosongan. Ia seyogianya hampa. Tak berisi. Ia hanya bisa menjadi berat dan membebani ketika seseorang mengisinya saban hari dengan rasa takut, kekhawatiran. Khawatir adalah hal wajar bagi manusia yang kerap kali menghadapi ketidakpastian hidup. Namun, tenggelam dalam kekhawatiran acapkali hanya memisahkan kita dari diri kita yang sesungguhnya. Diri di saat ini, bukan di lain hari.
Khawatir tanpa sadar akan membutakan kita pada jalan-jalan yang sejatinya bisa dilalui dengan beberapa usaha. Namun, jika khawatir itu tak disertai harapan, yang muncul hanyalah kehendak untuk luka atau melukai. Kehendak untuk menetapkan bahwa “saya berhak keliru” karena “anda pernah keliru”, kehendak untuk menguasai benar dan salah.
Harapan tidak akan ada habisnya, tapi kekhawatiran memang lebih menarik untuk terus dihidupi. Karena kenyamanan untuk berada dalam posisi tidak aman, insecure. Beberapa orang lebih nyaman menjadi gamang, daripada hidup dengan harapan. Ia rela mematikan hatinya, mengubur cita-citanya, bahkan kehabisan energi untuk berbagi suka, luka, dan duka.
Sampai saat tulisan ini hendak saya akhiri, saya masih berpikir terkait kelayakan saya melanjutkan hidup. Terkait apakah saya dengan apa-apa saja yang ada pada diri saya ini setidaknya bisa berarti bagi orang lain. Atau, sekadar diterima sebagai manusia tanpa harus dijejali ego dari orang-orang dari sekitar.
Bagaimanapun nanti hidup ini akan berakhir, saya akan berusaha menulis tentang harapan. Tentang orang-orang yang pernah menjadi nyala di hidup saya. Sahabat yang mungkin saya kenal hanya sekenanya dalam perjumpaan singkat kami atau di persimpangan hidup kami. Tentu saja tidak akan ada semua nama, toh saya tidak pernah tahu bakal sampai di mana tulisan ini nantinya.
Saya hanya ingin berusaha. Itu saja. Tidak kurang dan tidak lebih.