Selangkah Lagi: Sebuah Refleksi Panjang (Bag.2)
Titik Nol: Fase Remaja Dini
“Anxiety is the dizziness of freedom”
-Søren Kierkegaard, The Concept of Anxiety (1980, English Edition), pg. 61.
Kira-kira, apakah kita pernah menyadari bahwa jiwa kita mati tertambat pada kesalahan-kesalahan di masa lalu? Atau, harapan kita telah diracuni oleh kecemasan akan masa mendatang?
Masa remaja awal adalah titik di mana kaki saya bertahap melangkah dari luka. Mencoba mengawali perdamaian dengan kecewa. Memulai perdamaian berarti memulai peperangan dengan diri sendiri. Perang yang tak melibatkan mata pedang, melainkan mata hati. Tak ada sepasukan atau beribu tembakan, hanya perlu tiga hal, “aku”, “hatiku”, dan “waktu”.
Seperti halnya peperangan, proses perdamaian dengan diri sendiri menyisakan kecemasan saban hari. Kita akan selalu cemas dengan sesuatu yang kita tidak tahu pasti apa jawabannya. Kecemasan acapkali muncul bukan ketika kita mengerjakan soal-soal inferensi matematika atau menghitung kalor dalam fisika. Kecemasan muncul ketika kita sudah menghafal rumus-rumus, mengerjakan sebaik mungkin, dan di bagian akhir, kita menunggu seseorang memberikan nilai atas apa yang sudah kita kerjakan. Kecemasan muncul ketika sesuatu berada di luar kontrol kita, kuasa kita.
Sama halnya dengan pengandaian di atas, saya mengalami kecemasan yang dahsyat saat pertama kali menapaki hari-hari dengan pergumulan diri. Menyelam lebih dalam ke dalam batin dan pikiran saya. Saat itu, saya belum genap 13 tahun. Di mana tanpa sadar, pada usia tersebut saya lebih memilih novel-novel klasik terbitan Balai Pustaka dibanding majalah-majalah maupun komik. Bukannya tidak membaca majalah dan komik, saya membaca semua itu, tapi hanya sekadar membaca. Namun, permenungan saya acapkali menemukan nyaman saat membaca buku-buku yang temanya mungkin terlalu dini bagi saya. Kecemasan membuat saya enggan mengisi pikiran dengan kekosongan, saya timpa semua itu dengan bacaan berat agar ia mampat.
Kecemasan — setidaknya menurut Kierkegaard — merupakan kegamangan dari kebebasan yang pada titik tertentu hanya menuntun kita pada pilihan untuk berbuat jahat. Dosa. Tentu saja, kadar dosa atau jahat ini relatif. Manusia boleh saja berbusa-busa menunjukkan dirinya adalah makhluk paling ber-Tuhan. Namun, di lain waktu, manusia juga akan berbusa-busa untuk menawar kekeliruannya, pilihan jahat yang ia pilih dengan sadar.
Sewaktu menjalani fase kecemasan ini, saya ingat bahwa saya cenderung membawa masa remaja awal sebagai ruang kebebasan. Celakanya, saat itu saya tinggal di sebuah tempat yang memiliki aturan ketat terkait perilaku, jadwal harian, hingga konsekuensi atas suatu pelanggaran.
Dengan sadar, saya membawa kecemasan ke semua hal yang berakibat pada konsekuensi, melanggar peraturan. Minimal, saya pernah dihukum untuk melepaskan biji jagung dari tongkolnya, kegiatan ini disebut mipil. Saya, bersama teman saya yang ketahuan melompat pagar untuk bermain playstation hingga tengah malam, dengan berat hati harus menjalani hukuman tersebut. Jumlahnya? Tumpukan jagung pasca panen di halaman seluas kira-kira empat kali delapan meter. Beratnya? Kalau tidak salah, hampir dua kuintal. Intinya, cukup untuk membuat ibu jari saya hampir tidak berguna selama hampir seminggu. Bahkan hanya untuk memegang bolpoin dengan benar pun rasanya sakit sekali.
Hukuman di atas baru satu dari sekian. Sekali lagi, saya membiarkan kecemasan berkuasa atas diri saya dan melakukan hal-hal yang mau tak mau harus dipertanggungjawabkan. Kita dengan sadar memilih suatu kekeliruan, dan tentu saja satu paket dengan tanggung jawabnya.
Manusia, adalah apa-apa saja yang memilih dan mempertanggungjawabkan pilihannya.
Namun, apakah kecemasan (anxiety) itu lantas buruk?
Jawabannya adalah tidak.
Kecemasan adalah satu bagian penting dari aspek hidup yang perlu dipelajari dengan benar. Kita perlu mengenalnya sebagai sebuah “petualangan” psikologis. Aspek relativitas antara batin dengan logika pikiran. Semua orang pernah mengalami kecemasan, tapi tidak semua orang pernah atau berkenan mempelajarinya. Kecemasan bahkan merupakan pelajaran awal bagi manusia sejak ia masih belajar berjalan, berbicara, atau sekadar menangis. Cemas, hadir seiring kita lahir.
Lantas, bagaimana saya mempelajari kecemasan?
Kawan A.W.
Saya akan memulainya dengan sahabat saya, A.W. Ia seusia saya. Jika diukur dari skala waktu, A.W. adalah orang yang paling lama berkawan dengan saya, hampir 18 tahun. Dia adalah salah satu kawan pertama saya saat masuk sekolah menengah pertama. Dia pula, sosok yang bertanggung jawab atas berkurangnya sisi kecemasan rasial saya terhadap salah satu etnis tertentu.
Dulunya, semasa sekolah dasar, di mana fase hidup tersebut adalah bagian yang akan saya sembuhkan dalam perjalanan kemudian, saya memiliki kecemasan cukup parah terhadap isu rasial. Saya menganggap bahwa etnis tertentu bersikap buruk terhadap saya dan sekitarnya, angkuh, tidak memiliki empati, dan banyak hal lain yang tadinya tidak saya sadari. Namun, kawan A.W. adalah antitesis dari itu semua.
Bagian diri saya berdamai dengan kecemasan rasial ini sejak bertemu dan berkenalan dengan A.W. Pertanyaannya, apakah A.W. ini anak yang tidak nakal dan penuh sopan santun saat di sekolah?
TIDAK.
Saya perlu tekankan bahwa A.W. hanyalah remaja awal yang menikmati kehidupannya. Tentu saja dengan serba nakal dan — apalagi — sopan santun.
Saya dan A.W. mungkin bertolak-belakang di bidang prestasi sekolah. Ia sering menyerapahi saya ketika kami sama-sama tidur di kelas, tetapi saat ujian atau ulangan harian ternyata nilai saya terbaik di kelas, dan ia remedi. Hal tersebut terjadi berulang kali.
Kami berdua memiliki kesamaan di satu bidang, yaitu nakal. A.W. adalah salah satu anak beruntung yang memiliki ponsel berkamera dan sepeda motor sendiri. Saat itu di sekolah kami hampir semua siswa memakai sepeda angin berwarna biru bermerek Phoenix dengan keranjang di depan. Namun, karena rumah A.W. berada di dusun paling ujung Timur pulau Jawa, maka ia perlu sepeda motor. Awalnya ia berangkat sekolah dengan bus Minto, satu-satunya bus di trayek antara rumahnya dengan sekolah. Namun, trayek ini tidak ramah bagi anak yang jam tidurnya enggan diganggu oleh bangun pagi.
A.W. dan saya adalah pelanggan bangku paling pojok belakang. Kami menyebutnya sebagai “bangku kriminal”. Sebabnya, mereka yang duduk di ruas belakang kelas umumnya adalah pembuat onar. Misalnya saja, saya dan A.W. pernah dihukum menyapu seluruh bagian teras sekolah. Penyebabnya, kami sibuk mencoba kamera ponsel dan berasumsi bahwa guru yang akan mengajar tidak masuk sekolah. Nahas, guru yang dimaksud datang telat, dan guru tersebut adalah guru dengan gelar “mematikan” dari generasi ke generasi.
Dalam perjalanan kenakalannya di sekolah, A.W. sampai pernah disumpahi oleh salah seorang guru bahwa ia tak akan punya masa depan. Seolah hari itu ia dikutuk bahwa ia tidak akan punya sesuatu untuk diperjuangkan, bahkan untuk sekadar melanjutkan sekolah di SMA yang bagus.
Saat itu, saya tidak tahu bahwa A.W. mengingat peristiwa itu dalam memorinya. Saya baru tahu sekitar tiga atau lima tahun kemudian saat kami lulus SMA. Iya, kami pindah ke satu kota yang sama dan sekolah kami berdekatan. Begitu pula saat kuliah, saya di Jogja dan ia di Solo. Jika bisa dibilang, kami cukup sering beririsan.
A.W. adalah sosok yang cemas. Setidaknya saya melihat dengan impulsivitasnya yang tinggi. Saat naik ke tingkat dua SMP, ia memutuskan untuk tinggal indekos jauh dari rumahnya. Sebagai orang waras, saya berpikir bahwa “oh dia bakal ngekos di dekat sekolah”. Nyatanya, tidak sama sekali. A.W. justru tinggal ngekos di rumah sahabatnya yang lain, di sebuah dusun yang jaraknya kira-kira hampir tidak ada beda dengan jarak rumahnya ke sekolah. Tentu saja, saat itu saya belum belajar soal logika, tapi saya jelas tahu bahwa apa yang dilakukan A.W. tidak berdasar logika orang waras.
Kenakalan A.W. sebagai seorang murid SMP rasa-rasanya cukup jujur dan membabi buta. Saya masih ingat bagaimana banyak kejadian lucu yang terjadi karena kenakalan A.W. Seolah, saat kawan-kawan lain berlomba untuk dikenal lewat prestasi akademis maupun olahraga, A.W. memilih jalannya sendiri.
Misalnya saja, saat sekolah masih berjalan kurang dari tiga bulan, A.W. menjadi bulan-bulanan orang tua siswi. Saya tidak tahu persis kejadiannya, karena saat itu hari masih pagi dan saya baru datang agak siang. Pagi itu, seorang pria berkumis tebal mencari-cari A.W. dan mengancam dengan celurit. Siapa yang tak kaget dengan huru-hara sepagi itu?
Suasana mereda ketika pihak sekolah menengahi. Untung saja tak ada nyawa melayang hari itu.
Setelah jeda istirahat, saya bertanya pada A.W. tentang permasalahan tersebut. Nyatanya anak sialan itu bercerita dengan enteng dan sedikit tertawa karena nyawanya nyaris di ujung celurit. Usut punya usut, ternyata ia telah mencelakai anak bapak tadi di kelas sebelah. Caranya? Mereka cekcok, karena si siswi ini juga bisa dibilang biang kenakalan lainnya. Singkat cerita, setelah adu tantang, A.W. hendak melempar tipe-x atau cairan penghapus tinta dan si siswi tersebut justru menantang A.W. Alhasil, benda itu pun melayang dan nahasnya tepat di dahi si siswi. Dahi siswi tersebut terluka, berdarah, bercampur cairan putih tipe-x, dan tentu saja menangis.
Selanjutnya, kenakalan A.W. benar-benar di luar dugaan. Mulai ketahuan membawa ponsel ke kelas beberapa kali hingga yang terparah adalah mengumpati wasit saat lomba antar sekolah. Nahasnya, wasit yang diumpati adalah seorang kepala sekolah di sekolah lain. Beruntung ia selamat dari amuk massa karena saat itu kondisi lapangan amat riuh.
Meski terkenal dengan kenakalannya, A.W. mengajarkan saya bahwa hidup seorang remaja itu tidaklah hitam dan putih saja. Ia adalah salah satu anak yang memiliki prinsip teguh sedari saya mengenalnya. A.W. adalah salah satu guru saya untuk membentuk prinsip kemanusiaan, memilih yang berdampak positif, serta berjuang keras dengan jujur, apapun hasilnya.
Dalam perjalanannya, A.W. merupakan salah satu orang yang mengajari saya cara mengendarai motor. Jika ingatan saya tidak keliru, pertama kali saya bisa dan berani berkendara motor dengan jarak lebih dari 10 kilometer adalah dengan mengendari motor Vega ZR milik A.W.
Selain itu, A.W. adalah kawan yang setia dan loyal. Ia adalah salah satu punggawa setia saat band yang saya dirikan bersama kawan-kawan lain mampu menembus panggung kabupaten. Ia melihat bagaimana kami yang berjaya di sekolah harus tampil dengan menanggung malu di panggung-panggung festival di luaran.
Dan salah satu hal yang saya kagum dari A.W. adalah kejujuran dan tanggung jawabnya. Ia akan mengakui dirinya keliru jika ia memang berbuat keliru. Ia menghadapi setiap pertanggungan jawab. Hingga saat terakhir sebelum kami ujian nasional SMP, ia menjadi satu di antara segelintir orang jujur itu.
Saya ingat betul, kira-kira 10 orang di angkatan kami, termasuk saya, diminta untuk “membantu” kawan-kawan lain saat ujian nasional nanti. Permintaan ini mulanya saya tolak, beberapa kawan pelanggan ranking pararel 10 besar pun menolaknya. Namun, setelah beberapa pendekatan personal kami melunak. Alasannya? Guru yang mendatangi saya waktu itu bercerita bahwa lebih dari 60 persen siswa di angkatan saya tidak akan bisa melanjutkan pendidikannya ke SMA. Faktor utamanya adalah ekonomi, karena memang saat itu di sekitar sekolah kami banyak yang hanya lulusan SD atau paling bagus lulusan SMK. Banyak di antara kami yang orang tuanya berada di negara lain menjadi tenaga kerja migran. Atau bahkan satu di antara kami baru masuk SMP saat berusia 17 tahun, karena sempat bekerja terlebih dahulu.
Alasan-alasan tersebut membuat beberapa dari kami melakukan tugas kemanusiaan tersebut. Beberapa orang, menjalaninya dengan berat hati. Dan ada satu orang jahat yang menjalaninya hanya untuk menjerumuskan kawan-kawan lain ke jawaban keliru. Kami menyesali pilihan kawan satu itu.
Singkat cerita, A.W. dan saya ada di satu ruangan yang sama saat ujian nasional. Tak hanya itu, kode soal kami pun sama. Padahal ada setidaknya lima kode soal berbeda saat itu. Namun, satu hal yang membuat saya menghormati A.W. adalah ia sedari awal bilang kepada saya bahwa ia akan mengerjakan ujian tersebut dengan jujur. Dia berkelakar bahwa kendatipun ia tidak lulus, ia sudah berusaha mandiri, ia lebih bangga akan hal tersebut.
Saat ujian berlangsung, A.W. menepati kata-katanya. Ia menjadi dirinya sendiri. Ia dengan sadar ingin melihat sejauh mana dirinya. Nilai diri yang sungguh-sungguh dimilikinya.
Beruntung, saat pengumuman ujian berlangsung, kami semua lulus satu angkatan. Hampir semua kawan di ruangan saya yang memiliki kode soal sama dengan saya, berada di nomor 15 besar di sekolah. Dari sekitar lima atau enam orang yang menyalin jawaban saya — dengan beberapa nomor sengaja salah tentunya — hanya satu yang melanjutkan sekolah menengah atas. Beberapa lainnya menyudahi perjalanan pendidikannya, beberapa lainnya menunda entah sampai kapan. Salah satu yang tidak melanjutkan sekolah sempat mendatangi saya, berterima kasih karena sekali seumur kariernya bersekolah, ia masuk 10 besar. Saya mengenalnya, kami sempat membuat kelompok belajar di rumah neneknya, di dekat suatu pasar. Ia hanya tinggal bersama neneknya. Dan nasib membawanya serta untuk kemudian menyusul orang tuanya menjadi tenaga kerja migran.
Di tengah ingar-bingar tawa dan air mata hari itu, saya melihat senyum A.W. Ia lulus. Meski, tentu saja dengan bangga dia bercerita bahwa ia menjadi yang paling buruk di kode soal milik kami. Ia menepati janjinya, menuai apa yang ia tabur dengan sabar.
Dari A.W., saya belajar banyak hal selain bersepeda motor. Saya menemukan apa yang lantas saya kenal sebagai perseverasi. Keteguhan atas suatu hal.
Selepas SMP, kami bertemu kembali di kota yang sama. Ia, dengan nilai pas-pasannya itu mendaftar di beberapa sekolah ternama di kota itu. Dia bercerita, tentu dengan tertawa, bahwa ia diremehkan oleh karena nilainya yang memang semrawut. Hingga salah satu sekolah menerimanya, sekolah yang tak jauh dari sekolah saya saat SMA.
Saat itu, saya menjadi satu-satunya orang luar yang boleh masuk ke kosan A.W. Alasan pemilik kosnya adalah karena A.W. berasal dari daerah yang jauh dan tidak ada sesiapa di kota itu, hanya saya. Kami pun kembali beririsan. Di mana saat itu saya kesulitan mencari teman karena sekolah saya termasuk salah satu sekolah elit dan saya merasa terjebak, saya pergi ke kosan A.W. Saat saya depresi karena tekanan mata pelajaran di sekolah saya, saya pergi ke kosan A.W.
Kecemasan menuntun saya bertemu A.W., yang saya kira ia juga pernah cemas. Meski begitu, kecemasan membawanya ke hal-hal yang lucu atau setidaknya nakal tapi tidak sampai ke arah kriminal. A.W. adalah orang yang iseng dalam menjalani waktu. Ia tahu kapasitasnya, ia tahu bagaimana cara menempatkan dirinya, dan ia tahu tujuan hidupnya saat itu. Kami sama-sama mengambil ekskul gamelan saat SMA. Dan kami pun sempat mengamen saat SMA. Mungkin, dia satu-satunya orang dengan etnis tersebut yang mengamen di kota itu. Cukup gila, tapi tak apa, bukan A.W. kalau tidak berpikir di luar kotak.
Selepas SMA, ia diterima di sebuah sekolah teknik terkemuka di Solo, mengikuti jejak sahabat satu kosannya. Ia memilih sebuah kos tak jauh dari kampus, atau yang lebih layak dibilang gudang perkakas. Kamar kos itu memiliki luas tak lebih dari 15 meter persegi, beratapkan seng dan panas sekali. Jika hari hujan, suasana di kamar kos A.W. seperti palagan perang. Ia mendekam di kamar paling ujung lantai dua. Saya sering ke kosan A.W. di akhir pekan.
Selepas kuliah, saya ingat betul saat itu saya datang ke wisuda A.W. Seperti biasa, orang tua A.W. memilih hotel murah meriah tanpa AC, tak jauh dari kampus. Di siang Solo yang panas itu, A.W. bercerita pada saya bahwa ia mendapat tawaran kerja di sebuah perusahaan manufaktur besar di Jakarta. Lulusan kampus tersebut memang sudah dikenal luas dengan baik, sehingga tak khayal banyak perusahaan manufaktur menjaring wisudawannya.
Namun, tentu saja bukan A.W. kalau ia tak punya prinsip, perseverasi. Tak lama setelah wisuda, ia bercerita bahwa ia tak jadi mengambil tawaran perusahaan tersebut. Ia memilih tawaran lain, menjadi instruktur atau guru di sebuah sekolah kejuruan teknik mesin untuk difabel tuna rungu dan tuna wicara. Ia pindah ke Wonosobo, jauh dari ingar-bingar kota.
Selepas lulus, saya beberapa kali mengunjungi A.W. di Wonosobo. Ia menyewa kamar kos berukuran kecil, hampir sama dengan kamar kosnya di Solo. Namun, kamar tersebut tampak lebih kecil karena kamar mandi ada di bagian dalam kamar. Hiburannya hanya akuarium dan angkringan di depan kosan. Ia bercerita tentang kehidupannya sebagai instruktur dan banyak berkelakar komedi gelap mengenai murid-muridnya di sekolah kejuruan luar biasa tersebut. Ia tetaplah A.W. yang idealis, sama seperti satu dekade ke belakang saat saya pertama mengenalnya di SMP.
Waktu berlalu, tak butuh waktu lama bagi A.W. punya teman-teman baru dari kalangan yang di luar kotaknya. Selalu begitu, teman A.W. cukup lengkap, mulai dari guru sekolah hingga pedagang angkringan. Dan saat itu, ia menggunakan waktu luangnya di akhir pekan untuk berjualan keset karet di alun-alun Wonosobo. Ia menggelar dagangannya begitu saja di seputaran alun-alun. Tak butuh waktu lama, ia lantas berkeliling dari toko ke toko untuk menjual produk keset yang ia dapat dari pabrik kawannya.
Selan waktu berjalan, A.W. terlibat urusan idealisme dengan pengurus sekolah tempat ia bekerja. Tentu saja, idealisme A.W. menuntunnya kepada keputusan mundur. Ia keluar dari sekolah itu dan fokus berjualan. Ia lantas mengontrak rumah di tepi jalan menuju dataran tinggi Dieng. Merekrut dua karyawan, satu janda dan satu duda, untuk membantu pekerjaannya. Sialnya, ketika saya bertemu A.W. di masa-masa itu, ia bisa mengatasi setiap kecemasan dan kecamuk yang ia alami. Menentukan pilihan-pilihan dengan risiko sadar. Dan menapaki hal-hal baru dengan harapan yang mungkin tak bisa dipahami orang lain.
Usaha A.W. dan kiprahnya di Wonosobo berakhir beberapa tahun kemudian, saat salah satu karyawannya membawa lari dagangan dan beberapa hal lain senilai kira-kira 80 juta. Ia terpaksa menanggung utang tersebut kepada kawannya yang empunya pabrik.
Saya ingat ketika kami sedikit membahas keputusannya saat merekrut karyawan. Dia beralasan bahwa kalau bukan dia yang mempekerjakan mereka, menerima mereka di sini, lalu siapa?
Ya memang pikiran banal saya waktu itu berpendapat lain, namun A.W. tetaplah A.W. Setelah hampir satu dekade setelah kejadian tipe-x di kelas satu SMP, sahabat saya itu telah bertumbuh, namun tetap menyertakan prinsip diri yang kuat. Dia datang ke Wonosobo dengan niat berbagi lewat ilmu kepada murid-murid difabelnya, lantas ia berbagi pula pada karyawannya hingga akhirnya beberapa hal tersebut mengkhianatinya.
Kecemasan acapkali muncul karena kita beranggapan bahwa hasil tidak akan berkhianat terhadap proses. Saya adalah salah satu orang yang sampai saat ini tidak pernah percaya akan hal itu. Sebab, hasil adalah salah satu titik yang penuh pengkhianatan. Tapi saya meyakini bahwa proses adalah menyoal usaha, perseverasi, dan kesetiaan. Setia untuk mengusahakan adalah jiwa dari proses. Semua orang mengalami kecewa, tapi tidak banyak yang tetap memilih kesetiaan setelah dikecewakan.
A.W. adalah sosok yang mengajari saya tentang bagaimana hasil seringkali berkhianat, kecemasan menghantui setiap saat, dan pilihan berikutnya adalah setia pada proses. Kita bisa saja jatuh pada hasil-hasil yang rasanya tak adil, tak sepadan dengan usaha. Namun, proses akan terus berjalan. Ia tak pernah akan kembali ke titik nol. Setiap perjalanan adalah pelajaran dan ia akan terus berkembang. Kegagalan hari ini adalah milik hari ini. Tapi proses yang dialami sepanjang hayat adalah milik dari waktu, sepanjang dan sejauh ia berjalan.
Saya bertemu kembali dengan A.W. di rumahnya, di ujung timur pulau Jawa. Saat itu, saya akan berulang tahun ke-24. Ia menjemput saya seturun dari bus. Membawa saya melewati jalan-jalan yang pernah saya lalui semasa SMP. Melihat sekolah kami dan bagaimana pedesaan di sekitarnya kini dipenuhi kebun buah naga. Melewati lapangan sepak bola di mana A.W. pernah mengumpati wasit dan beberapa ruas memori lainnya.
Kini A.W. membangun bengkel di rumahnya dan membuka toko. Ia tetap memiliki kecemasan seperti halnya saya. Kami juga baru saja kehilangan kawan, kawan satu kos A.W. yang dulu kerap memfoto kami berdua karena kenorakan kami melihat kota. Kawan yang menginspirasi A.W. untuk berkuliah di kampus teknik ternama di Solo. Kawan yang rumahnya sering kami tuju untuk pulang di akhir pekan saat SMA.
Hanya ada harapan selama ada kehidupan. Demikian Kierkegaard menggambarkan dengan singkat bagaimana ketakutan terhadap apa saja yang belum mati.
Selaras dengan kecemasan yang lantas membuat beberapa orang memilih untuk kalah, harapan adalah lawan kata dari ketakutan, kecemasan. Cemas memang selalu ada, dan akan terus ada, sama halnya dengan harapan. Namun, manusia yang hidup perlu menentukan keduanya, siapa yang mereka pilih untuk berkawan. Berkawan dengan cemas atau bersahabat dengan harapan.
Saya berterima kasih kepada A.W. yang telah mengajari saya banyak hal terkait bagaimana mengelola cemas dan menumbuhkan harap. Ketika kami berbicara tentang kata-kata yang menyakiti, ia selalu mengulang apa yang dibicarakan guru kami saat SMP. Guru yang mengutuk A.W. dan menyumpahinya untuk gagal. Tapi belakangan saya tahu, kata-kata dari guru tersebut justru menjadi bahan bakar baginya untuk tetap melaju. Berlari lebih jauh daripada nilai-nilainya saat ujian nasional SMP. Merengkuh pengalaman lebih luas dari apa-apa saja yang tak terbayangkan saat SMP. Ia memulai semua itu dengan prinsip bahwa ia akan berjuang dan dengan bangga siap menerima gagal.
A.W. tentu mulanya cemas ketika kepercayaan dirinya dihantam kata-kata sedemikian rupa oleh sosok yang seyogianya menjadi tuntunannya. Tapi A.W. tak hilang akal, ia tak kehilangan batu penjurunya, tak kehilangan perseverasi dalam dirinya. Ia boleh saja cemas seribu kali dalam hidup, tapi beratus ribu langkah jauhnya ia berlari untuk berusaha. Tak peduli sebagaimana hasil mengkhianatinya, ia tetap setia pada proses.
Saya beruntung dalam sekian waktu dalam hidup beririsan dengan A.W. Sosok yang tanpa enggan menemani saya mengamen, membantu bapak-bapak petugas kebersihan mendorong gerobak sampah di sekitar pasar besar di kota kami bersekolah, mengajari saya bermotor, membelikan saya makanan atau jajan, dan banyak hal lain yang saya tidak bisa saya sebutkan satu per satu.
Sebelum bertemu A.W. banyak kecemasan saya yang tidak terurai. Kepercayaan diri yang terkubur bersama talenta-talenta. Dan juga keberanian yang tenggelam bersama kubangan ketakutan. Pada titik nol proses penyembuhan luka batin saya saat itu, A.W. adalah salah satu orang pertama yang menerima saya. Seiring waktu berjalan, siapa sangka kami masih berteman selama lebih dari tiga lustrum. Saya juga sempat tidak sadar bahwa ada A.W. di tiap tempat saya berpindah untuk sekolah.
Namun begitulah waktu, kita acapkali lupa dengan siapa-siapa saja dan apa-apa saja yang diberikan hidup kepada kita. Beberapa berlalu, sisanya teringat jika perlu.
Mengurai kecemasan adalah bagian awal yang saya pelajari dalam proses mengenal diri. Di titik nol, di mana mau tak mau saya perlu mengelola pikiran intrusif agar tidak mengarah pada pilihan-pilihan buruk yang lantas membuat kita malu terhadap diri kita sendiri. Akan ironis ketika kita enggan mengenal diri, melihat diri, memeluk diri tetapi justru memilih suatu tindakan yang secara langsung membuat diri kita malu. Tindakan-tindakan yang bersumber pada kecemasan ini, hanya akan mengantarkan kita pada kecemasan lainnya yang lebih besar.
Mulanya saya berada di titik nol saat itu, setiap kecemasan saya bermuara pada tindakan yang konsekuensinya harus saya tangung. Saat itu bentuknya mungkin hukuman. Namun, saya tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika saat itu saya tidak mengelola kecemasan hingga berujung pada tindakan-tindakan yang merugikan orang lain, tidak hanya saya sendiri. Kita tidak pernah tahu kapan kita menjadi si jahat. Kita tidak pernah tahu kapan kecemasan kita berakibat fatal bagi orang di dekat kita. Mereka yang seyogianya kita rengkuh, tapi justru kita buat menjauh.
Kecemasan mulanya hanya mendorong saya menuju kesendirian. Keras hati. Keras kepala. Dan segala sisi keras lainnya. Tapi A.W. adalah sosok pertama yang mungkin sama nakalnya dengan saya, namun dalam taraf lain. Saya rasa, ia mampu mengelola cemas menjadi bentuk lain, menyesuaikan cemas dengan harap. Menyelaraskan diri dengan apa-apa saja pilihan sadarnya.
Sehingga pada akhirnya, saya perlahan-lahan sambil tertatih, berusaha mengelola kecemasan-kecemasan hidup untuk pilihan-pilihan sulit. Pilihan untuk tetap sadar bahwa ada pilihan baik di antara pilihan buruk. Ada ruang untuk menetapkan hati pada keputusan sadar yang etis, dan menempatkan yang tak etis di tempat lain. Kecemasan membuat manusia gamang, bingung, dan kadang gelap mata. Kecemasan yang tak diolah hanya berangsur bak tumor menjalari setiap nadi dan akal budi.
Kierkegaard mengamini bahwa cemas akan tumbuh seiring perjalanan hidup seseorang. Ia sama halnya harapan, hadir dalam bentuk tidak nyata, tapi seolah mengganggu kekinian. Mencegah seseorang untuk menghidupi masa kini, menjalani waktu saat ini. Cemas menjadi antitesis harapan bagi masa yang akan datang. Menjadi bayang-bayang bagi angan. Kecemasan seyogianya hanya meminta ruang untuk diperhatikan, dikelola, dan diuraikan dalam bentuk-bentuk yang menyenangkan, alih-alih menyakitkan.