Selangkah Lagi: Sebuah Refleksi Panjang (Bag.3)
Titik Balik: Fase Remaja Akhir
“If that love were deceived in death, then the canker of this deceit would eat into all things, and the stars would shrivel and grow black” (LIII)
“Grant me that I may not be a coward, feeling your mercy in my success alone; but let me find the grasp of your hand in my failure” (LXXIX)
-Rabindranath Tagore, Fruit Gathering (1916)
Hai kesadaran, apakah kamu masih baik-baik saja hari ini? Apakah batin dan pikiranmu sudah membaik? Atau, kamu masih ingin menemui kematian setelah hari-hari beratmu?
Bagaimana cara tubuh kita menghadapi duka dan kematian?
Kiranya pertanyaan tersebut adalah awal mula seorang dokter dari Swiss, Elisabeth Kübler-Ross menemukan ide tentang Five Stages of Grief atau juga dikenal dengan DABDA. Lima langkah kedukaan atau lima langkah kesedihan merupakan sebuah kurva respons emosional seseorang atas suatu kehilangan, atau luka, duka, dan sejenisnya. Sebagai seorang psikiater, Kübler-Ross menjalani hari-harinya dengan mengobservasi kedukaan dari keluarga-keluarga pasiennya. Ia lantas mengelaborasikannya dengan bagaimana setiap manusia, menjadi sosok yang rapuh atas suatu luka dan duka. Kübler-Ross menemukan kecenderungan bahwa setiap orang akan mengalami fase-fase DABDA yang terdiri dari Denial (Penolakan), Anger (Kemarahan), Bargaining (Tawar-menawar), Depression (Depresi), dan Acceptance (Penerimaan).
Jika dicermati, kurva Kübler-Ross di atas hanya menempatkan satu fase dalam respons emosional internal, yaitu depresi. Lain dengan keempat lainnya, Depresi dirasakan hanya dan hanya jika seseorang berada dalam respons emosional pasif di dalam dirinya sendiri. Depresi bersifat pasif, ia hidup dan tinggal di dalam diri seseorang dalam waktu yang hanya bisa ditentukan oleh kemauan orang tersebut dalam mengelola depresi. Dalam kurva Kübler-Ross tampak bahwa diameter kurva Depresi lebih panjang daripada jarak antara fase Denial ke Bargaining di mana puncaknya adalah Anger (Kemarahan).
Berbeda dengan depresi, marah adalah tindakan atau respons emosional aktif, ledakan. Ia muncul di awal setelah seseorang menolak kesedihan akibat fakta-fakta duka dan luka tertentu. Namun, kemarahan dan proses tawar-menawar akan suatu luka nantinya akan jatuh ke jurang depresi. Di mana dalam kurva Kübler-Ross tampak bahwa jurang tersebut memiliki sudut kecuraman yang lebih dalam jika dihitung dari puncak titik kurva Anger. Depresi adalah jurang, yang menuruninya lebih cepat daripada proses menapaki setiap lembahnya hingga menyelesaikannya dengan Acceptance atau penerimaan.
Dalam buku kumpulan sajaknya berjudul “Fruit Gathering”, Rabindranath Tagore menulis beberapa sajak tentang kematian. Salah duanya adalah yang saya tulis di bagian awal tulisan ini. Salah satu dari sajak tersebut juga dipakai oleh Kübler-Ross dalam membuka buku “On Death and Dying” yang ia tulis untuk menjelaskan DABDA. Dalam bab pertama bukunya, Kübler-Ross menekankan bagaimana zaman telah berubah dalam menerima dan memperlakukan kematian. Secara tradisional, kematian adalah penerimaan komunal yang oleh masyarakat-masyarakat tradisional dilakukan secara bersama-sama. Kedukaan adalah aspek komunal. Namun, seiring berjalannya waktu, kedukaan berangsur berubah menjadi persoalan internal. Kedukaan tidak hanya dirasakan secara fisik bagi seseorang, tetapi juga emosional. Secara fisik, duka bisa dikelabui dengan berbagai kegiatan, namun secara emosi tidak.
Kedukaan dan kejatuhan dalam jurang depresi adalah perjalanan batin yang berat dan panjang, pun melelahkan.
Selepas mengarungi titik nol di ujung timur pulau Jawa, saya kembali ke kota di mana ia sudah tiga tahun saya tinggalkan beserta cita-cita yang dulu pernah terbesit di kepala. Sebelumnya, saya hampir terjerembab di ibukota provinsi yang kala itu tak nyaman saya tinggali. Alhasil, setelah beberapa hal, saya bersekolah di sebuah sekolah di mana saya bertemu dengan perjalanan menjelang. Bertemu dengan fase berikutnya dalam perjalanan batin saya. Jika merujuk pada fase Kübler-Ross, mungkin bisa dikatakan masa SMA adalah proses menjalani lembah depresi menuju penerimaan, acceptance.
Titik ini penuh dengan petualangan, seiring perjalanan panjang yang harus saya lalui untuk mendaki dari titik nol atau jurang depresi. Lembah panjang tersebut menuntun saya pada pertemanan dan petualangan-petualangan yang hampir semuanya bersumber pada buku atau blog. Titik ini saya sebut sebagai titik tengah, di mana saya bertemu dan menempuh banyak kisah di dalamnya. Kisah panjang yang penuh dengan ucapan terima kasih serta rasa syukur.
Proses ini merupakan bagian dari bagaimana saya telah merefleksikan kedukaan dan luka, depresi. Refleksi atas luka membawa saya lebih ringan melangkah, meski tak jarang juga jatuhnya, tak kunjung sembuh juga lukanya. Namun, proses adalah sebaik-baiknya usaha. Setia terhadap proses merupakan bagian termurni dari suatu usaha.
Saya mengawali perjalanan di masa SMA dengan masih dihantui perasaan unwanted dan depresi-depresi ringan pasca tiga tahun di titik nol. Perasaan tidak berharga dan tidak mampu menjadi fondasi ringkih yang saya tapaki kala itu. Saya hanya tiba-tiba datang di sebuah sekolah elit yang usianya lebih tua dari negara ini dengan hanya bermodal keteguhan tekad, perseverasi. Satu hal yang saya pelajari dari kawan A.W. pada fase sebelumnya.
Kawan FEY dan FAF
Pada bagian hidup yang ini, saya dipertemukan dengan dua orang sahabat saya FEY dan FAF. Keduanya, jika ditotal hingga saat saya mulai menulis refleksi ini, sudah berkenan untuk berkawan dengan saya selama kurang lebih 15 tahun. Terima kasih untuk keduanya karena sudah tahan dengan kehadiran saya yang kerap kali merepotkan dan tak lupa, menjengkelkan.
Saya berkenalan dengan FEY tepat di hari pertama sekolah. Saat itu, saya mengalami gegar budaya setelah pindah dari suatu sekolah pedesaan di ujung timur Jawa dan pindah ke kotapraja yang tenar sejak zaman kolonial. Ditambah lagi, sekolah baru kami adalah bagian dari era kolonial tersebut. Sekolah kami didirikan tahun 1936 oleh biarawan Karmelit. Sekolah berasrama tersebut cukup dikenal dengan menelurkan para tokoh, beberapa di antaranya adalah salah satu Mafia Berkeley, Widjojo Nitisastro.
Perasaan pertama saya ketika masuk sekolah tersebut adalah saya ingin nge-punk saja. Saya berpikir tidak akan mampu mengikuti kehidupan pertemanan di sekolah tersebut. Apalagi dengan uang saku pas-pasan dan tanpa jaring pengaman sosial yang kuat.
Nahas, sebulan pertama saya di sekolah itu saya sempat menyambangi kawan lama saya, depresi. Lucunya, saat itu saya tidak ingin mati seperti tiga tahun sebelumnya. Saya hanya ingin kabur dari sekolah tersebut, dari tanggung jawab saya sebagai siswa. Bahkan, saya sempat menghubungi kawan saya di suatu kota nan jauh dan memperhitungkan dengan matang cara menuju ke sana dan bergabung dengannya untuk berdagang soto. Semangat anti kemapanan rupanya lebih kuat daripada semangat saya untuk belajar di sekolah baru tersebut.
Perbedaan seratus delapan puluh derajat antara sekolah lama dan baru membuat saya hampir mampat. Pertemanan, gaya hidup, bahkan satu hal yaitu fasilitas dan kurikulum pembelajaran yang modern. Dari sekolah di desa, saya harus bertemu dengan sebuah sekolah yang saat itu menggunakan kurikulum semi-internasional, di mana semua mata pelajaran eksakta memakai bahasa pengantar Inggris. Tak khayal, di kelas saya saja sudah ada beberapa alumni SMP internasional yang sehari-harinya tentu akrab dengan pelajaran berpengentar bahasa Inggris. Begitu pula dengan FEY, kawan sebangku saya yang lulusan tempat kursus bahasa Inggris ternama, dan tentu saja tidak ada di kecamatan tempat saya sekolah dulu.
FEY adalah seorang yang pendiam, setidaknya saat pertama kali saya mengenalnya. Dari tampilannya, dia tampak seperti anak baik-baik dari keluarga baik-baik, dan tentunya akrab dengan internet. Ia tahu banyak hal yang saya tidak tahu, terlebih karena internet. Sebab, asal tahu saja, di sekolah sebelumnya, internet adalah barang mewah. Bahkan rental komputer dengan koneksi internet paling dekat ya di kota kecamatan. Sehingga tak khayal kalau dari satu angkatan kami di SMP hanya satu orang yang akrab dengan surel dan media sosial. Hal ini yang lantas membuat perkenalan saya dengan FEY niscaya seorang udik bertemu dengan apa yang disebut Aufklärung, pencerahan.
Selain FEY yang memang teman sebangku saya di meja paling depan ujung dekat pintu kelas, saya juga berkenalan dengan FAF. Jika anda pernah menonton telenovela berjudul “Betty La Fea”, maka FAF adalah gambaran dari pemeran utama telenovela tersebut, seperti Betty. Saat itu, FAF adalah cerminan FEY dalam bentuk perempuan. Keduanya pendiam, namun FAF lebih ambisius dalam pelajaran di kelas. Berbeda dengan FEY yang memang bakat alaminya ada di persoalan ekonomi, akuntansi, dan sejenisnya. FAF secara lahiriah memiliki ambisi besar di bidang eksakta. Tapi, tentu saja kami tidak berteman karena urusan kerja kelompok atau perihal akademis. Sampai saat ini pun saya belum menemukan benang merahnya kenapa akhirnya kami berteman.
Singkat cerita, dua sahabat saya tersebut sempat berada dalam hubungan asmara selama empat tahun. Di masa yang sama, kami sering berpetualang bersama. Sejauh ingatan saya, hubungan kami lebih banyak di luar urusan mata pelajaran di kelas, tetapi lebih kepada pelajaran hidup.
Saya dan FEY mendaki gunung Semeru saat pertama kali mendaki gunung dan Rinjani enam bulan setelahnya. Saat itu kami duduk di tingkat dua SMA dan berpisah kelas. Setelahnya, kami bertiga dan beberapa teman lain tergabung dalam suatu komunitas pendaki gunung yang terdiri dari anak-anak sekolahan. Kegiatan ini adalah kegiatan yang tidak disukai oleh sekolah kami, karena tidak jelas tujuannya dan tidak ada prestasinya bagi sekolah. Meski, kami pun tak ambil pusing, kami senang-senang saja ketika diminta ikut membantu pembersihan suatu danau di taman nasional terdekat, atau menyalurkan bantuan bencana alam dan sejenisnya.
Petualangan saya dari satu gunung ke gunung lain saat SMA tak bisa lepas dari peran FEY. Kami mengawalinya dengan Semeru, atap pulau Jawa. Bermodal beberapa buku yang menjelaskan bagaimana jalur Semeru dan juga bagaimana cara menuju ke sana, kami berangkat. Saat itu sepeda motor milik ibunda FEY merupakan salah satu senjata utama yang acapkali kami pakai ke mana-mana. Entah bagaimana mulanya, petualangan menjadi katarsis bagi kejemuan kami dengan tekanan di sekolah. Sebagai sekolah yang berada di jajaran tertinggi persaingan akademis dan non akademis di kota tersebut, sekolah saya seperti tidak punya rem untuk sekadar mengendurkan otak. Rutinitas menjemukan inilah yang lantas membuat kami pergi ke mana saja, asalkan murah dan indah.
Perbandingan murah dan tidaknya tujuan ini kalau tidak salah berpatokan pada sejauh mana uang seratus ribu rupiah itu dihabiskan di mal atau di taman nasional. Ternyata, menurut pengalaman, uang seratus ribu atau bahkan separuhnya saja bisa mengantarkan kami kepada pengalaman baru, masyarakat baru, pengetahuan baru, dan tentu saja pemandangan alam yang sepenuhnya nyata, bukan lewat film maupun foto. Sejak saat itu, rasanya kami lebih sering menempatkan taruhan pada bensin, kemampuan menyetir, dan juga jalan-jalan rusak menuju tempat-tempat baru.
Petualangan-petualangan tadi adalah respons paling jujur dari kebutuhan batin untuk bebas. Setiap orang memiliki penjaranya masing-masing, baik di dalam batin maupun pikirannya. Beberapa orang memenjarakan impian kebebasan dengan hanya memandangi video, foto, atau buku. Beberapa lainnya menunda keinginan untuk bebas tersebut hanya sekadar untuk nanti dilakukan jika sudah tidak bergantung orang tua atau memiliki pasangan hidup. Padahal, belum tentu kita nantinya mendapatkan pasangan hidup yang memiliki impian kebebasan serupa dengan kita. Atau orang tua yang memberi ruang berekspresi bagi kita, anak-anak.
Saat itu, saya dan FEY benar-benar hampir tidak peduli dengan itu semua. Atau lebih tepatnya, kami hadapi saja tanda tanya di depan mata. Dan sejauh pengalaman berpetualang kami, banyak tanda tanya membawa langkah kami lebih jauh daripada kebanyakan anak sekolahan di masa itu. Modal kami hanya berani. Berani menapaki langkah-langkah yang dikira berbahaya oleh para orang tua, atau tujuan-tujuan yang menyakiti ego keakuan mereka. Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
Saat kami kemudian menyatu dalam suatu komunitas pertemanan yang gemar bertualang, perlahan kami menemukan ruang untuk bercerita lebih dalam. Duc in Altum, menyelam lebih dalam kepada batin kami masing-masing. Obrolan-obrolan di sekitar api dan di tempat-tempat tinggi nyatanya membuat kami lebih erat dan hangat. Tak banyak yang bisa disyukuri di dunia ini, tapi pertemanan dan petualangan bersama FEY dan FAF serta kawan-kawan SMA lainnya adalah salah satu yang paling saya syukuri di kemudian hari.
Petualangan-petualangan itu seiring dengan langkah saya bangkit dari jurang depresi. Bahkan, tanpa saya sadari, keinginan saya untuk melarikan diri dari tanggung jawab di awal masa SMA perlahan memudar. Saya bisa menemukan kembali diri saya lewat petualangan dan suka duka perjalanan. Langkah kaki yang berjalan lebih jauh secara langsung membantu berjalannya proses penerimaan diri tersebut. Terkadang, kita hanya perlu berani berjalan untuk menerima diri. Bukannya berdiam diri terkungkung dalam ketakutan yang memberatkan langkah dan mencemari pikiran.
Pada bab “Acceptance”, Kübler-Ross mengawalinya dengan salah satu sajak dari karya Tagore yang lain. Kübler-Ross seolah ingin menunjukkan bahwa dalam prosesnya, fase yang terberat dari Lima Fase Kedukaan bukanlah depresi, melainkan penerimaan atau acceptance. Proses ini adalah bagian dari penyelesaian luka dan duka, proses menjadi atau menuju sembuh.
Proses ini adalah fase terakhir dari DABDA. Seseorang mengawali duka dan luka dengan penolakan perasaan sedih, lantas marah atas fakta, mencoba tawar-menawar perasaan, depresi, dan kemudian penerimaan.
Namun, bukan berarti seseorang akan sepenuhnya bisa menjalani kelima fase ini dengan sempurna. Beberapa dari kita bahkan hanya berhenti di salah satu tahap seumur hidup. Enggan berproses untuk menuju fase berikutnya. Acapkali, justru kita berkeras hati untuk diam di suatu fase karena terkesan menenangkan dan nyaman.
Beberapa orang memilih penolakan perasaan, ia menghidupi fase Denial sepanjang hidupnya. Fase di mana membuatnya berkeras hati menolak kesedihan. Menyembunyikan kerapuhannya dari orang lain, bahkan dari dirinya sendiri. Berusaha sebaik mungkin menyembunyikan kesedihan dan lukanya dengan tawa, keceriaan, dan rona-rona riasan muka lainnya. Tapi nyatanya, batinnya masih terluka dan sama sekali tak pernah dikunjungi, apalagi dirawat hingga terobati. Mereka yang ada di fase ini lebih dekat terhadap menolak orang-orang yang peduli atau lebih dekat pada kemarahan internal, marah kepada diri sendiri.
Beberapa lainnya, berhenti pada Anger. Ia mungkin sudah tidak lagi Denial atau menolak luka, menolak kesedihan, tetapi ia berhenti pada kemarahan. Rasa marah, amarah, adalah bentuk ketidakpuasan atas fakta bahwa ia terluka. Berbeda dengan Denial yang pada kurva Kübler-Ross berada pada garis tengah, Anger merupakan respons emosi simultan yang berdampak pada eksternal, orang lain. Kemarahan yang menahun akan diwariskan kepada orang lain, terutama orang-orang terdekat. Jika seseorang hanya berhenti pada fase ini, keberadaannya akan membahayakan orang lain. Atau minimal, berdampak negatif terhadap perasaan orang lain di sekitarnya.
Tak jarang, seseorang berhenti lama di fase menimbang-nimbang, melakukan tawar-menawar dengan emosi akibat luka dan duka. Tawar-menawar dengan kesedihan. Fase ini bisa terjadi karena banyak hal, terlebih karena orang tersebut bisa jadi sudah melalui fase sebelumnya, yaitu kemarahan. Fase Bargaining atau tawar-menawar ini umumnya hanya dilalui barang sekejap sebelum seseorang terjun bebas menuju jurang depresi. Namun, beberapa orang kerap menggantungkan dirinya di fase tawar-menawar ini, ia memilih untuk tersangkut di sana karena enggan terjun ke jurang depresi. Fase ini bisa dibilang sebagai fase paling licin di antara kelima fase kedukaan. Tak jarang, seseorang memilih untuk berhenti lama di sini, menunda untuk terjerembab ke dalam fase depresi.
Acapkali, seseorang paling lama menghabiskan waktu di fase depresi. Ia terlalu sakit untuk sekadar bangkit dan menapaki lembah dari jurang depresi tersebut. Titik terdalam dari kurva Kübler-Ross adalah jurang depresi ini. Jurang yang nahasnya mengarah ke dalam, ke bagian emosi internal dan ditangkap sebagai respons terhadap diri sendiri. Dalam fase ini, beberapa orang memang cenderung berpikir untuk melukai diri sendiri, karena memang respons emosionalnya mengarah ke sendiri sendiri. Berbeda dengan Anger yang mengarah ke luar, depresi menekan lebih dalam. Jurangnya curam, lembahnya kelam, dan mau tak mau semuanya hanya bergantung pada kaki, hati, dan naluri diri sendiri.
Tidak semua orang bisa menyelesaikan keempat fase hingga sampai pada fase penerimaan, acceptance. Dalam hal mengelola luka dan duka, fase ini adalah saat di mana seseorang dapat menemukan kembali dirinya yang baru. Seperti lahir baru. Sudut pandang baru. Individu yang sepenuhnya baru karena lukanya telah dilalui, bukan disembunyikan. Penerimaan dalam hal ini adalah penerimaan terhadap luka dan duka sebagai bagian dari proses. Lain halnya ketika seseorang berhenti pada fase pertama yaitu penolakan, yang pada dasarnya hanya berkeras hati dan menyembunyikan luka lewat beragam rupa.
Pada tahap ini, saya perlu berterima kasih untuk semua kawan-kawan bertualang saya, terutama FEY dan FAF. Berbagai perjalanan, obrolan, atau bahkan pertengkaran yang seyogianya hanya menggenapkan kita sejauh ini. Perbedaan pendapat dan kesepakatan adalah dua sisi mata uang, satu paket. Dan tanpa saya sadari, dalam petualangan-petualangan tersebut, secara tak sadar saya telah menapaki lembah-lembah kelam menuju hamparan penerimaan, acceptance.
Memaknai titik balik atau titik tengah alam kurva Kübler-Ross adalah proses pemahaman yang amat panjang. Jika saya meneropong waktu ke belakang, setidaknya butuh lima tahun minimal dari bagaimana saya berada di titik terendah jurang depresi hingga mulai bisa menerima diri dalam proses akhir penyembuhan. Di fase ini pula saya ingat bahwa proses penyembuhan itu juga diiringi dengan berbagi dengan mereka, kawan-kawan saya, yang menjalani proses penerimaan mereka masing-masing. Di fase-fase tersebut, entah bagaimana saya sering dimintai menjadi mentor bagi kawan-kawan saya yang tidak naik kelas karena faktor depresi, baik akibat mata pelajaran, permasalahan keluarga, atau berduka atas meninggalnya orang terdekat.
Tidak banyak orang-orang yang bisa bangkit sendirian. Jika diingat kembali, saya memerlukan hampir lusinan pertemanan di banyak tempat untuk kemudian bisa bangkit dari titik terendah dalam hidup saya di masa kanak-kanak. Setidaknya, pergumulan panjang yang saya jalani lewat kurva Kübler-Ross adalah dua kali lebih lama dari lima tahun peralihan fase depresi ke penerimaan.
Saya merayakan penerimaan, kelegaan, dan pelepasan beban akibat luka itu setidaknya di bulan Juli 2012, sebulan setelah saya berusia 17 tahun. Ketika teman-teman lain dirayakan oleh keluarga dan kerabatnya, saya merayakannya dengan mengajak FEY ke Gunung Semeru. Saya ingat tapak demi tapak yang kami lalui dalam perjalanan tersebut. Mulai bagaimana saya mencari pinjaman motor, mendaftar manual ke kantor taman nasional, bertemu orang-orang baru di perjalanan, bertengkar di jalur pendakian, mendapati FEY hampir mati di dalam tenda, dan merasakan bagaimana harus bergantung pada diri sendiri saat menapaki dan menuruni puncak Mahameru. Belakangan saya sadari bahwa perjalanan kala itu adalah bagian dari perjumpaan saya dengan fase penerimaan.
FEY dan FAF adalah bagian dari proses panjang saya menapaki fase penerimaan. Saya tidak memiliki kepercayaan diri ketika mengawali langkah saya di sekolah baru. Saya tidak mengenal sesiapa karena tidak ada satu pun kawan dari SMP yang bersekolah di sekolah itu. Selain A.W. yang bersekolah di sekolah lain di kota yang sama, praktis FEY dan FAF adalah kawan saya mula-mula. Melalui mereka, satu per satu langkah saya terbangun untuk sekadar punya kepercayaan diri. Lewat peran mereka pula lantas saya menemukan berbagai hal dalam proses petualangan, perjalanan menemukan kembali diri saya yang baru. Perasaan unwanted yang saya rasakan sejak usia kanak-kanak bisa dibilang hampir sama sekali memudar ketika hari-hari saya berisi dengan perjalanan bersama mereka.
Tentu saja, pada prosesnya FEY dan FAF pun mengalami pendewasaan mereka masing-masing. Hubungan mereka tentu saja kandas, tepatnya ketika kami telah berpisah untuk kuliah di kota berbeda. Namun, sebagaimana persahabatan, kita hanya akan kembali pada apa-apa saja yang menerima kita mula-mula. Bahkan muncul candaan umum di antara kawan-kawan bertualang yang berujar bahwa, sejauh mana pun kita bertemu orang baru, relasi baru, jatuh hati dan patah hati baru, kita hanya akan kembali ke kawan-kawan kita yang gila itu.
Belakangan, ketika mulai menulis bagian tulisan ini saya merenungkan kembali, merefleksikan kembali setiap fase dari kurva Kübler-Ross yang telah saya lalui sehormat-hormatnya. Saya seperti bercermin ternyata “saya kuat juga ya”. Saya menyadari hal tersebut karena beberapa teman di sekitar saya tak banyak yang sampai pada fase penerimaan tersebut. Saya mengenal beberapa orang serupa dengan saya, berhenti pada fase-fase tertentu saja. Mereka lantas mewujud dengan berbagai rupa cerminan fase di mana mereka berhenti, entah itu menjadi individu keras hati, individu pemarah, individu yang merasa inferior, atau — tentu saja — yang senantiasa depresi.
Menyadari bahwa diri kita butuh orang lain adalah bagian dari proses menuju penerimaan. Kübler-Ross dalam bukunya banyak menyebut bahwa menapaki kelima fase kedukaan bukanlah perjalanan kesendirian. Setiap orang yang berujar bahwa “Oh aku bisa sendiri”, “Aku tidak butuh orang lain”, “Biar ini jadi urusanku saja”, “Kamu dan orang lain tidak usah ikut campur”, dan sejenisnya merupakan orang yang memilih berhenti di salah satu fase saja. Mereka menolak melanjutkan hidupnya, mengurung lukanya di satu tempat yang sama tanpa pernah menemuinya, merawatnya, apalagi menyembuhkannya. Resistensi terhadap kelukaan diri sendiri.
Tanpa sadar, saat ini saya sudah berjarak hampir dua dekade dari individu keras kepala yang menolak beranjak dari fase duka dan luka. Dua dekade yang panjang dari seorang anak usia belasan tahun hingga menapaki tahun demi tahun dengan proses. Tahun-tahun yang bahkan tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tahun-tahun di mana rasa percaya diri dan perasaan tidak diinginkan muncul serabutan sesuai kebutuhan. Dan tentu saja, tahun-tahun berproses yang naik turun, dinamis.
Perjalanan merawat luka batin membutuhkan kemauan. Komitmen. Utamanya, komitmen pada diri sendiri. Seperti berujar pada diri sendiri bahwa “Ya, saya harus berani”, “Saya harus sembuh”, “Saya harus kuat menghadapi proses”. Tidak hanya bermodal kuat saja untuk berkeras bak batu karang, tanpa mau menjalani proses, namun merawat luka batin adalah perjalanan jauh ke dalam, Duc in Altum, menyelam lebih dalam, menyelami diri sendiri sebelum menemukan versi diri yang baru.
Proses penemuan diri ini mau tak mau akan mempertemukan kita dengan mereka-mereka yang juga mau berproses. Orang-orang dekat yang dalam peranannya masing-masing menjadi tempat menambatkan hari-hari buruk. Atau, orang-orang yang berperan merayakan hari-hari baik. Pun, mereka yang berperan di hari-hari mendung, tak buruk maupun tak baik.
Pada akhirnya, saya menyadari bahwa saya hanya perlu menjadi manusia yang hidup di masa kini. Menghidupi hari ini. Carpe diem!
Hari ini adalah waktu paling berharga untuk melakukan apapun itu yang baik bagi orang-orang berharga, serta diri sendiri.
Saya berterima kasih untuk hari-hari yang telah lewat. Hari-hari bersama kawan-kawan di persimpangan jalan, maupun dengan mereka yang berada di jalan serupa. Tanpa sadar, hidup telah membawa saya lebih jauh daripada yang saya mau, yang pernah saya bayangkan. Sampai-sampai, saya tidak tahu tujuan kehidupan berikutnya. Tentu saja kita semua tahu bahwa tujuan akhir dari hidup adalah kematian. Namun, bagaimana kita mengisi proses menuju kematian tersebut adalah nilai yang perlu diusahakan.
Hidup tidak akan pernah selesai dengan mudah. Menghidupi kehidupan adalah proses. Dan perpisahan dengan itu semua adalah rangkuman dari setiap jengkal langkah juang yang diusahakan hari demi hari.