Seperti Pada Ranum Pejam Kehidupan
“It is nothing to die; it is dreadful not to live”
— Victor Hugo, “Les Miserables” (1862) pg. 994
Prancis adalah tempat di mana revolusi dan keterpurukan hidup bersatu padu dengan melankolia serta cita-cita. Mungkin kalimat tersebut tepat disematkan pada negeri yang melepaskan diri dari belenggu monarki absolut di babak akhir tahun 1780-an ini. Diawali dengan penyerangan Penjara Bastille pada 14 Juli 1789, Prancis benar-benar lahir menjadi negara modern dengan demokrasi liberal — — meski sedikit banal— — saat Napoleon Bonaparte menjadi Konsul Pertama Prancis pada awal November 1799. Naiknya Napoleon ke tahta ditaktorat menyebabkan perubahan masif pada kelas masyarakat. Tentu saja, kaum agamawan yang membawa citra Gereja Katolik di Prancis pun ikut terkena imbasnya. Begitu pula mereka yang lemah dan tak “peduli” perubahan politik, makin hidup segan mati tak mau.
Victor Hugo memakai latar belakang pasca Revolusi Prancis dalam membangun karakter naas nan legendaris, Jean Valjean. Nama tokoh ini hampir sama legendarisnya dengan tokoh-tokoh fiksi lain dari literatur Prancis seperti Edmond Dantes (Count of Monte Cristo) atau D’Artagnan (The Three Musketeers). Bedanya, Valjean tak seberuntung Dantes yang menjadi kaya raya dan berkuasa tanpa mengalami jatuh untuk kali kedua. Atau bahkan Valjean juga tak seberuntung D’Artagnan yang menemukan sosok berharga lewat tiga orang prajurit musketir (Athos, Porthos, dan Aramis) hingga mencapai cita-citanya menjadi seorang prajurit Raja Prancis. Valjean bagaimana pun adalah sosok yang tercipta lebih natural. Hugo membuat sosok ini jatuh bangun dan mau tak mau memasrahkan dirinya untuk kebahagiaan orang lain yang lebih susah darinya. Valjean adalah pertemuan antara semangat hidup dan ketidakberdayaan itu sendiri.
Kisah Valjean yang malang dimulai dari sebuah kota bernama Digne-les-Bains, Prancis bagian tenggara. Valjean sejatinya dijebloskan ke dalam bui karena mencuri sebuah roti untuk keluarganya yang kelaparan di sebuah kampung bernama Brie. Hukuman awalnya adalah lima tahun penjara di Bagne of Toulon, sebuah penjara kapal terkenal yang dibuat Raja Louis XV pada 1748 di tepian Laut Mediterrania. Nahas bagi Valjean, sebab penjara ini cukup ketat penjagaannya, meski tak separah penjagaan penjara benteng Château d’If di lepas pantai Teluk Marseille. Valjean dan Dantes — — dalam kisah The Count of Monte Cristo — — memiliki awalan kisah yang hampir sama, yaitu penjara.
Di penjara yang penjagaannya hampir tak mungkin ditembus penjahat amatiran itu, Valjean harus menerima tambahan hukuman hingga 14 tahun. Pasalnya, — — ya tentu saja — — cecunguk nahas ini beberapa kali mencoba kabur. Valjean yang polos nan malang ini secara total menghabiskan waktu 19 tahun di penjara itu hingga kemudian dibebaskan dan menggelandang di jalanan.
Kisah dalam buku pertama novel tebal ini dimulai dengan sosok Uskup Bienvenu Myriel, seorang uskup di kota D — — nama Digne disingkat dalam novel ini — — yang berumur 75 tahun dan telah menjabat sejak tahun 1806 hingga 1815; tahun di mana Valjean bebas.
Uskup Myriel digambarkan sebagai seorang bijak yang merasa perlu merestorasi atau melakukan revolusi terhadap kuasa gereja di Prancis. Namun, posisinya sebagai uskup membuatnya tak berdaya. Ia hanya bisa membantu orang yang membutuhkan dan barangkali menyumbangkan harta dan pelbagai barang mahal yang ada di kediamannya. Protes terhadap sumpah kemiskinan para agamawan menjadi salah satu hal utama yang digaungkan kaum revolusioner Prancis kala itu. Sebabnya, para klerus ini hidup di dalam gelimangan harta. Dan tentu, Myriel sadar dan tahu akan hal itu.
Pada buku kedua, kisah tentang Valjean dimulai. Sekitar permulaan bulan Oktober 1815 Valjean digambarkan memasuki Digne menjelang petang dengan berjalan kaki. Ia ditolak ke sana kemari oleh beberapa penginapan dan restoran di Digne. Nama “Valjean” telah erat kaitannya dengan penjara dan penjahat, tak pelak jika orang-orang menolak untuk memberinya makanan atau tempat tidur meski Valjean bersikeras membayar.
Hingga di perjalanan menggelandangnya yang malang itu, Valjean bertemu dengan Madame de R yang baik. Perempuan itu menyuruh Valjean mengetuk kediaman Uskup Myriel yang berkuasa atas gereja-gereja di Digne. Uskup Myriel akhirnya menerima Valjean untuk menumpang di kediamannya yang berisi barang-barang berharga itu. Kisah panjang Valjean pun mulai menapaki jalurnya dari sini
Mewahnya kediaman Uskup Myriel membuat Valjean yang malang mulai meradang. Ia tak kuasa melihat perabotan serba perak di rumah uskup itu. Saat tengah malam, pikiran jahat menguasai Valjean. Ia tergugah dan terjaga. Sembari samar ia mengingat asal-usulnya, ia terbentur pada kenyataan bahwa hasrat mencurinya tumbuh malam itu.
Pada bab enam buku kedua dijelaskan secara singkat bagaimana Valjean lahir dan tumbuh. Ibunya meninggal karena demam susu, sedangkan ayahnya; seorang pekebun pohon; mati karena jatuh dari pohon. Tak cukup kemalangan itu, Valjean kecil diasuh oleh kakak tertuanya; Jeanne; di mana kakak yang juga malang itu juga seorang janda dengan tujuh anak. Sejak usia 25, Valjean mulai bekerja apapun untuk mendukung kehidupan kakak perempuannya. Ia bekerja sebagai tukang kebun, buruh, pembuat jerami, hingga bekerja di peternakan.
Semuanya dilakukan Valjean untuk menghidupi hidupnya dan hidup Jeanne;beserta ketujuh anak-anaknya; yang mana berada di titik nadir sebuah fase bernama kelaparan. Hingga suatu Minggu yang lapar, keluarga itu tak memiliki roti barang seremah pun. Sedangkan di hari yang sama, seorang pembuat roti di Church Square di Faverolles bernama Maubert Isabeau sedang mengerjakan tugasnya. Tak butuh waktu lama buat Isabeau mendengar ribut-ribut di toko rotinya. Ia berlari dan mendapati seorang pencuri membawa roti berukuran satu lengan dari tokonya. Pencuri malang itu tak lain dan tak bukan tentunya Valjean sendiri, tetangganya yang nahas.
Di Minggu nahas tahun 1795 itu Valjean menemui kemalangannya yang kemudian. Ia disidang dan dituntut penjara lima tahun di penghujung tahun. Setahun setelahnya, ia dipindah ke Toulon dan namanya terhapus, berganti dengan angka 24.601 sebagai nama barunya di penjara. Hukumannya makin bertambah karena pikiran kalutnya memikirkan nasib kakak perempuan dan ketujuh anaknya; Valjean mencoba kabur; dan tentu, gagal. Begitulah mulanya kemalangan Valjean sebelum ia bermalam di Digne.
Dalam permenungannya di kediaman uskup malam itu, Valjean berhasrat untuk mengubah nasibnya. Bagaimana caranya? Tentu saja, dengan mencuri barang sedikit dari perabotan perak milik Uskup Myriel.
Tak butuh waktu lama untuk membuat Valjean kembali tertangkap sebagai pencuri. Bagaimana tidak, kali ini ia mencuri dari seorang terkenal di Digne, seorang uskup baik hati, dan seorang bijak yang bahkan menampungnya dari jalanan.
Namun, di lain kesempatan ada bagian kisah yang membuat novel ini menjadi cukup layak dikenang. Bagian itu tak lain adalah saat pengisahan Hugo tentang pagi hari di mana Valjean berhasil kabur dan Madame Magloire — — pembantu di rumah uskup — — menemukan sekeranjang peralatan perak dan perabotan hilang. Ia langsung mengarahkan tuduhan pada Valjean yang memang kabur malam harinya. Beruntung, kebijaksanaan Uskup Myriel menyudahi tangis Madame Magloire yang merasa bersalah.
“Madame Magloire, I have for a long time detained that silver wrongfully. It belonged to the poor. Who was that man? A poor man, evidently.”
Kalimat di atas diucapkan Uskup Myriel untuk menangkan Magloire. Semua yang hilang ia anggap memang sewajarnya. Dan itu tak mengusik apapun dari hasrat memiliki Uskup Myriel.
Saat waktu sarapan tiba, kediaman Uskup Myriel dikagetkan dengan kedatangan beberapa polisi yang menyeret Valjean kembali ke sana. Uskup Myriel dengan tenang justru mengeluarkan kalimat — — yang kelak membuat Valjean tobat — — berbunyi demikian,
“Ah! here you are!” he exclaimed, looking at Jean Valjean. “I am glad to see you. Well, but how is this? I gave you the candlesticks too, which are of silver like the rest, and for which you can certainly get two hundred francs. Why did you not carry them away with your forks and spoons?”
Baik polisi maupun Valjean terhenyak ketika Uskup Myriel mengucapkan hal itu. Pernyataan itu membuat seolah-olah memang uskup tua itu memberikan peralatan perak pada Valjean dan bahkan hendak memberikan barang lainnya. Uskup Myriel pun dengan lekas membuat polisi-polisi nahas tadi undur diri meninggalkan Valjean yang malu setengah mati di muka pintu kediaman uskup.
Tak cukup dengan kalimat tadi, Uskup Myriel menambahkan kalimat yang entah bermaksud menyindir atau ketulusan — — yang tentunya menampar hati Valjean — — berbunyi demikian,
“By the way, when you return, my friend, it is not necessary to pass through the garden. You can always enter and depart through the street door. It is never fastened with anything but a latch, either by day or by night.”
“Gila!,” mungkin begitu pikir Valjean saat mendengar kalimat dari Uskup Myriel ini. Kalimat pamungkas ini membuatnya hampir menangis. Ia mematung dalam diam dan tak bisa mengeluarkan sepatah kata pun di sana. Uskup Myriel berpesan bahwa Valjean telah berjanji bahwa ia akan memakai uang itu untuk kebaikan. Meski di sisi Valjean, ia tak merasa telah berjanji demikian. Namun ia terus merenungkan hal itu. Dalam sebuah perumpamaan ringkas Uskup Myriel berpesan,
“Jean Valjean, my brother, you no longer belong to evil, but to good. It is your soul that I buy from you; I withdraw it from black thoughts and the spirit of perdition, and I give it to God.”
Valjean yang masih mematung kemudian pergi untuk merenungkan kejadian itu dengan seksama. Ia mendapatkan kehidupan dan kepercayaan dari sebuah tingkah laku kotor yang memang tak bisa ia tahan. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjalani sisa hidupnya dengan menjadi orang jujur.
Belum juga kering tanah yang ia pijak di depan kediaman uskup, Valjean melakukan tindakan kotor lainnya. Kali ini, ia merampas uang dari seorang anak berusia 12 tahun bernama Gervais. Dari saat itu, suara-suara yang memanggil Valjean muncul di kepalanya. Ia dihantui rasa bersalah hingga ia tangisnya pecah, air mata pertama sejak 19 tahun itu luruh karena perkataan Uskup Myriel melekat di kepalanya. Setelah ia sadar, Valjean berlari mencari-cari Gervais. Namun aneh, ia tak menemukan siapapun. Hingga seorang pendeta lewat bersama kudanya dari arah Gervais berlari. Tetap saja, pendeta itu tak melihat Gervais. Valjean pun ingin menebus dosanya dan memberikan uang yang ia rampas pada pendeta itu.
Tentu saja saya tidak akan membahas semua babak dari seluruh kisah Valjean di sini. Selain karena panjangnya magnum opus karya Victor Hugo ini, sebab lainnya adalah kisah ini terlampau banyak jurang dan lembah yang menyesakkan. Tak seperti kisah panjang dengan satu jurang panjang dan kemudian ditutup gempita, kisah Valjean seperti arus sungai, berkelok dan berjeram di sana-sini.
Valjean yang lantas bertobat dan hidup makmur — — bahkan sempat menjadi walikota — — mengalami lagi jurang kehidupannya. Di kisah-kisah lain, umumnya jika tokoh utama telah bangun dari kehidupan susahnya maka kisah akan berakhir. Tapi Hugo tidak, ia mungkin salah satu penulis sableng yang ingin memporak-porandakan perasaan sentimentil pembaca. Tak khayal kisah Valjean menjadi klasik, tak hanya di Prancis maupun Eropa, tapi juga dunia pada umumnya. Valjean yang tengah jaya sebagai pemilik pabrik dan seorang walikota di Montreuil-su-Mer menemui kisah rumitnya sendiri setelah berkejar-kejaran dengan inspektur polisi bernama Javert.
Tak cukup di situ, belas kasihan Valjean pada banyak orang membuatnya tercerbur pada kubangan masa lalunya sendiri. Contoh kecilnya, penyamarannya sebagai Monseiur Madelaine terbongkar hanya karena ia menolong salah satu warganya yang tertimpa gerobak barang. Karena pengalaman “fisik”-nya semasa dipenjara dulu, Valjean mampu mengangkat gerobak itu sendirian. Tak ada orang waras di kota itu yang bisa mengangkat gerobak tanpa punya pengalaman fisik keras. Kedudukan Valjean a.k.a. Madelaine sebagai penguasa membuat Javert yang bertahun-tahun mencari Valjean penasaran. Sebab tak mungkin seorang pemilik pabrik dan pejabat memiliki kecakapan fisik di atas kemampuan orang seusianya.
Petualangan Valjean lantas makin tak menentu ketika ia bertemu seorang perempuan malang lain bernama Fantine. Perempuan muda asal Paris ini mengalami nasib merana karena ditinggal suaminya dan tinggal bersama anak gadisnya, Cosette. Pada bagian ini, Hugo kembali membuka cabik-cabik tragedi yang ia sulam lewat kisah Valjean. Sialan memang Victor Hugo, bisa-bisanya ia tega menulis kesengsaraan orang dengan berlapis-lapis begini.
Di tengah merananya nasib Fantine dan betapa dekatnya Valjean dari akhir keberhasilannya membalik nasib, mereka bertemu. Pertemuan ini di sisi lain adalah buah simalakama bagi Valjean, karena ia telah berjanji untuk membantu orang-orang malang seperti Fantine tetapi nasib justru mendekatkannya pada Javert — — dulunya penjaga penjara di Bagne of Toulon — — yang mencari-cari Valjean. Fantine yang sempat bekerja di pabrik Valjean ini akhirnya mengalami nasib buruk dan mati dalam kondisi malang. Valjean yang merasa gagal menolong Fantine berjanji pada mayat perempuan itu jikalau ia akan merawat anak Fantine.
Fantine sendiri meninggalkan anaknya pada seorang pengasuh yang korup dan ahli manipulasi keadaan. Cosette yang malang pun bahkan tak tahu-menahu bahwa ibunya mengalami hari-hari buruk di kota lain. Cosette yang tinggal di Montfermeil hanya tahu bahwa ia sedang dititipkan dan terpaksa mengikuti semua suruhan dan umpatan pengasuhnya, si kikir Thénardier beserta istri dan dua anaknya. Mereka kabur ke Paris setelah Valjean memberi 1.500 francs kepada si kikir — — meski hal ini ilegal — — dan tinggal sembunyi-sembunyi karena Javert terus mencari Valjean. Di Paris, ia ditolong oleh Fauchelevent, seorang yang pernah ditolong Valjean saat tertimpa gerobak barang.
Dari sini, Valjean mulai menuai buah-buah kebaikan yang ia lakukan selama menjadi orang baik. Meski di sisi lain Valjean harus rela kehilangan nama baiknya sebagai walikota dan pemilik pabrik dan kembali memakai identitas aslinya. Semua kejayaan itu usai, tapi Valjean memilih untuk menepati janjinya pada Fantine.
Belum juga mengembang kesukaan yang dialami Valjean bersama anak angkatnya; Cosette; jurang kepedihan kembali dibuat oleh Hugo. Kali ini, penulis Prancis ini menambahkan sosok baru pada volume ketiga novel dengan sosok Marius.
Marius digambarkan sebagai seorang pemuda pelajar berani yang sedang bergabung dengan kelompok pemberontakan anti monarki di Paris. Kisah ini dilatarbelakangi gejolak Paris pada 5–6 Juni 1832. Para buruh dan kaum kelas bawah merasa perlu melawan kekuasaan pemerintah Prancis; kala itu dinamakan Orleanis; setelah Jenderal Lamarque — — seorang pahlawan Perang Napoleon — — meninggal. Lamarque sendiri menjadi satu-satunya pembela rakyat kecil dan buruh semasa ia menjabat di parlemen.
Marius Pontmercy yang garang sekaligus melankolis ini diacuhkan oleh keluarganya karena ia seorang Bonapartis. Khususnya oleh kakeknya, M. Gillenormand. Sedang ayah Marius adalah Kolonel Georges Pontmercy, seorang veteran pertempuran Waterloo meninggalkan sebuah wasiat pada Marius untuk menemui seorang bernama Thénardier. Nama ini tak lain adalah pengurus Cosette yang kikir dan kebetulan menyelamatkan Georges Pontmercy saat di Waterloo. Meski sebenarnya, Thénardier hanya menolong ayah Marius tanpa sengaja dan ia bukan seorang prajurit melainkan pengutil atau penjarah di daerah peperangan.
Marius dan Thénardier kebetulan tinggal di satu atap yang sama di Paris kala itu. Bisnis Thénardier dengan penginapannya di Montfermeil telah tutup, sehingga ia memboyong keluarganya ke Paris dan hidup melarat di sana. Sedangkan Valjean dan Cosette saat itu telah membangun hidupnya untuk kali kedua — — pasca menjadi walikota — — dan menjadi seorang filantropis. Sebagai seroang dermawan dan anak gadisnya yang cantik, Valjean datang ke penginapan-penginapan reyot untuk membayar uang sewa bagi mereka.
Sebelum kejadian di penginapan, Marius dan Cosette telah bertemu dan jatuh cinta secara tak sengaja saat bertemu di Luxembourg Garden. Tak hanya Cosette, Eponine; anak perempuan Thénardier pun menyukai Marius. Konflik tak bisa dihindari. Penyamaran Thénardier di Paris dengan nama Jondrette pun terbongkar setelah bertemu dengan Valjean dan mencoba merampoknya. Di sisi lain, Javert yang kala itu telah menjadi polisi senior di Paris juga ikut andil menangani tindakan kriminal Thénardier ini. Dengan kata lain, ia akhirnya bertemu lagi dengan buronan lamanya, yaitu Jean Valjean.
Di tengah kemelut pemberontakan di Paris kala itu. Marius aktif dalam liga pemuda yang menginisiasi pemberontakan. Sedangkan di sisi lain ia terjepit antara menuruti kata hatinya untuk jatuh cinta pada Cosette dan menghormati Valjean atau menjalankan wasiat ayahnya untuk melindungi keluarga Thénardier. Ia memilih keduanya dengan mencoba melindungi Eponine dan Gavroche, kedua anak Thénardier yang ikut pemberontakan.
Nahas bagi Marius, ia dan kawan-kawan pemberontaknya dihabisi saat membuat barikade melawan militer Prancis di Rue de la Chanvreire pada puncak pemberontakan tahun 1832. Sedang Thénardier dan istrinya dipenjara dalam waktu yang lama, hanya Eponine — — yang lantas bergabung dengan Marius — — dan Azelma yang dibebaskan. Istri Thénardier bahkan mati di penjara. Kisahnya sebagai perampok dan perampas barang-barang berharga semasa perang di Waterloo nampak masih rapi tersimpan. Orang-orang masih mengenalnya sebagai sersan dalam pertempuran besar itu, sehingga sebutan “pahlawan” masih ia lekatkan pada pundaknya tapi tidak pada nasibnya.
Peran Eponine menjadi membesar di paruh akhir kisah Valjean ini. Eponine menyelamatkan rumah Valjean dari perampokan yang diatur oleh ayahnya sendiri. Tak hanya itu, Eponine yang jatuh cinta pada Marius juga melindungi Marius saat hampir tertembak di barikade. Ia mati di sana dan mengakui perasaannya. Tak hanya itu, Eponine jugalah yang membawa surat dari Cosette sebelum ia pindah dari rumahnya di Rue Plumet pasca percobaan perampokan dan pembunuhan. Surat yang membuat Marius yakin bahwa Cosette tak meninggalkannya.
Valjean yang sudinya telah hendak meninggalkan Paris berubah pikiran dan memilih tinggal. Alasannya, ia mendengar bahwa Marius berada di garda depan pertempuran barikade. Valjean berpikir bahwa pemberontakan ini tak akan panjang umurnya. Ia pun pergi ke pertempuran dengan menyamar sebagai pihak militer. Di tengah pertempuran, Valjean bertemu dengan Marius dan lalu membantu pihak pemberontak. Hingga kemudian Javert yang bertindak sebagai mata-mata polisi tertangkap oleh pihak pemberontak dan Enjolras; pemimpin pemuda; meminta Valjean untuk mengeksekusi Javert.
Dalam kondisi itu, Valjean mencoba merenungkan dirinya kembali. Ia memang telah belasan tahun dikejar oleh Javert. Namun ia sadar bahwa itu memang tugas Javert. Dan saat itu, ia memperoleh kesempatan untuk mengenyahkan Javert selamanya. Ia bisa saja membuat hidupnya lebih mudah dan tak perlu menyamar dan melarikan diri lagi, tapi pilihan itu ditampiknya. Valjean lebih memilih kata hatinya, hati yang berakar pada pelajaran yang ia terima dari Uskup Myriel, yaitu menjadi pria jujur dan baik hati. Ia pun melepaskan Javert, dan itu pula yang membuat Javert memahami kalau Valjean adalah pria baik.
Di akhir pertempuran, Valjean kembali ke barikade dan menemukan seluruh pasukan pelajar tewas. Ia bersedih dan berusaha mencari Marius demi Cosette. Beruntung, Marius masih bisa ia selamatkan dari amukan pasukan polisi yang menyerang dari berbagai arah. Ia membawa Marius ke dalam saluran air untuk menyelamatkannya. Tapi nahas, di sana tinggal Thénardier yang kini hidup menggelandang. Thénardier kembali merampok Valjean, atau lebih tepatnya merampok Marius yang sekarat dengan mengambil jaketnya. Thénardier menemukan beberapa puluh francs di saku baju Marius dan menyilakan Valjean keluar. Thénardier tahu bahwa Valjean akan berakhir dalam kepungan polisi jika ia paksa keluar dari gorong-gorong itu.
Kebaikan senantiasa menemukan jalannya sendiri. Valjean memang terkepung selepas keluar dari selokan, bahkan Javert sendiri yang menangkapnya. Tapi Valjean tak melawan. Ia hanya meminta diri pada Javert untuk mengantar Marius pulang ke keluarganya sebelum ia menyerahkan diri. Javert pun percaya karena melihat Marius hampir tak bernyawa dan sebentar lagi mati. Javert berkata pada Valjean bahwa ia akan menunggunya di situ. Namun Valjean kaget, karena setelah berjalan perlahan ia menengok ke arah Javert dan polisi itu telah pergi.
Javert dalam hatinya merasa bersalah dan bingung dengan sosok Valjean. Ia merasakan dilema berkepanjangan atas Valjean. Sebagaimana ia menyadari bahwa Valjean orang yang benar-benar baik dan tak mungkin ia tangkap, namun hal ini merupakan tugasnya. Ia tak mampu membayangkan jika orang seperti Valjean harus membusuk di penjara lagi. Akhirnya, dalam depresi dan dilemanya bertahun-tahun menjadi sosok antagonis bagi hidup Valjean, Javert pun bunuh diri di Sungai Seine. Marius tertolong dan Valjean lantas menikahkan Cosette dengan pemuda itu.
Kemalangan terakhir menimpa Valjean. Atas kejujurannya, ia mendaku pada Marius dan Cosette tentang siapa sebenarnya ia. Setelah upacara perkawinan, Marius merasa perlu menjauhkan dirinya dan istrinya dari Valjean karena kebejatan moral Valjean di masa lalu. Di sini, Valjean merasa perlu mereka tahu bagaimana ia melakukan hal-hal yang bisa membuatnya tak dijebloskan ke penjara oleh Javert. Marius pun kecewa, begitu pula Valjean yang mau tak mau menerima nasibnya dijauhkan dari Cosette.
Di akhir kisah, Valjean yang tengah sakit-sakitan dan hampir mati dihampiri oleh Marius dan Cosette. Mereka berdua berdamai dengan pria renta yang nasib hidupnya cukup berantakan itu. Marius akhirnya tahu bagaimana Valjean berubah dan Cosette pun mengetahui nasib ibunya dari Valjean. Setelah bercerita tentang semua perjalanan hidupnya, Valjean pun wafat.
Kalimat yang saya kutip di bagian awal tulisan ini adalah semacam kata-kata terakhir Valjean sebelum Hugo menghabisi nasibnya pada dua halaman berikutnya. Kematian bukanlah apa-apa, karena yang lebih menakutkan adalah anda hidup tapi tak merasa hidup. Itulah Valjean, ia melewati waktu-waktu panjang yang nahas. Mengubah jati dirinya untuk lari menjauh dari nasib buruk. Di sisa-sisa pelariannya, ia mengubah lagi jalan hidupnya dari seorang sial menjadi sosok berguna bagi orang lain. Meski tentu dalam hal ini Valjean menciptakan beberapa musuh baru, seperti halnya Thénardier.
Valjean dan perjalanan hidupnya lebih realis dibandingkan bagaimana Edmond Dantes ciptaan Alexandre Dumas dalam The Count of Monte Cristo. Bukannya membandingkan, sebab keduanya adalah mahakarya. Namun jika dilihat dari segi kehidupan, perjalanan Valjean hingga wafatnya pun tak berakhir indah. Ia, sedari awal sebelum masuk penjara hingga sebelum kematiannya benar-benar mendedikasikan dii bagi orang lain. Suatu hal yang sulit dicari dalam kisah realis lain. Kondisi Prancis waktu itu pun nampaknya sulit untuk menciptakan individu seperti Valjean. Di negara dengan konflik politik dan ekonomi yang tegas, sangat wajar jika warganya bersikap pragmatis. Wajar jika seseorang hanya melakukan segalanya untuk keuntungannya sendiri.
Tapi, ini adalah Jean Valjean. Seorang pencuri roti yang lantas kembali mencuri setelah lepas dari penjara. Pencurian-pencurian ini dilakukan karena terpaksa, kita tahu itu, tapi kebiasaan itu juga membentuk Valjean setelahnya. Pertemuannya dengan Uskup Myriel mungkin menjadi titik balik utama dalam hidup panjangnya. Berkat kemurahan hati Uskup Myriel dan juga betapa takutnya ia setelah merampas uang milik si kecil Gervais, Valjean akhirnya membuat jalur kehidupannya sendiri. Ia merenda nasibnya dari setiap babak belur kehidupan dan dari setiap pelariannya.
Valjean, bagaimanapun menjadi sosok yang membuat saya berkaca soal memberi kehidupan. Hal yang amat sulit dan naif dilakukan tentunya, namun bukan tak mungkin dilakukan.
Dalam tanda tanya kehidupannya, atau khususnya dalam jurang-jurang kemalangannya, Valjean memiliki satu fondasi yang tak lain adalah perasaan dihargai orang lain. Hal ini terpercik dari saat ia mematung tak bisa melakukan apapun setelah Uskup Myriel justru memberinya barang berharga setelah ia mencuri dari kediaman uskup itu. Hal itu tak biasa bagi Valjean, sebab biasanya ia akan masuk penjara, dipukuli, atau dihujat saat ketahuan mencuri. Hanya Uskup Myriel yang tahu dan paham bahwa Valjean mencuri karena ia tak tahu untuk melakukan hal apa lagi selain mencuri. Valjean adalah orang yang lahir dan tumbuh dalam kemalangan sehingga kemalangan dan sengsara lain tak akan mengubah hidupnya. Ia hanya perlu dimengerti dan dihargai, sebuah harga bagi kesengsaraannya selama hidup.
Suatu saat, kita tak tahu tentang bagaimana kehidupan ini membentuk sebuah pribadi. Seorang yang lahir tanpa merasakan hal-hal buruk akan lebih tak merasakan sentimen terhadap hal-hal buruk. Begitu pula sebaliknya. Kita sulit mengetahui dan memahami sesuatu di luar kehidupan kita. Kita hanya bisa melihat itu dengan mudah dari sudut pandang kita sendiri. Seperti memandang seorang pencuri sebagai pencuri dan seterusnya.
Hal itu wajar, karena tak semua orang dilahirkan dengan privilese tertentu. Tak semua manusia merangkak dari lantai rumah yang sama. Beberapa dari mereka merangkak dari lantai tanah atau tikar tua, beberapa lainnya belajar merangkak dari gelaran permadani hangat atau marmer mengkilap. Tak semua orang belajar bersepeda dengan baik dan lancar ditemani kedua orang tuanya. Bisa saja, mereka belajar sepeda dari sebuah sepeda pinjaman sewaktu bekerja sebagai loper koran atau sebagainya di masa kecil. Valjean bahkan belajar segalanya, baik buruk maupun baik tanpa kedua orang tuanya.
Di awal kisah, bagi Valjean hidup adalah soal berjalan tanpa pilihan. Namun Uskup Myriel lantas menyadarkannya, bahwa baik buruknya kehidupan tak bisa lepas dari pilihan jalan yang kita buat. Atau setidaknya, langkah mana yang harusnya kita ambil di depan. Entah kaki terantuk batu atau tersandung hal-hal lain, langkah di awal itulah yang membawa kita beranjak. Jatuh sudah tentu menjadi bagian dari sebuah perjalanan. Bahkan jatuh berkali-kali pada kubangan lumpur pun bukan alasan untuk tidak hidup, seperti kata Valjean.
Javert yang gilang-gemilang justru tak mampu menentukan hal-hal berat dalam hidup dan memilih mati. Atau bagaimana si culas dan kikir, Thénardier, yang hingga akhir terus menjadi pecundang. Ia dan anaknya pindah ke Amerika dan menjadi penjual budak di sana. Thénardier setidaknya memilih, bahwa hidup baginya adalah menjadi penjahat sekalian. Ia tak memilih mati meskipun gagal dan menjadi antagonis seumur hidup. Namun Valjean tidak, ia mencoba menarik diri dari tiap kubangan lumpur untuk kembali berdiri dan membersihkan diri. Ia berani untuk berubah, demi apa-apa yang bahkan ia tak tahu di depan.
Setiap hal patut diperjuangkan, meski itu berujung kekecewaan sekalipun. Seperti halnya Valjean terus-menerus menuai kecewa atas hal-hal baik yang telah dilakukannya. Valjean mengajak kita untuk tetap taklid pada sebuah perjuangan, bahkan jika perjuangan itu hanya berujung kehampaan, tak ada sesiapa di sana kecuali kecewa. Valjean mati dengan tenang saat Marius dan Cosette kembali padanya. Oleh karena itulah ia tersenyum dalam waktu-waktu terakhirnya. Sebab, ia tahu bahwa perjuangannya adalah bagi orang lain. Bukan keluarga, atau sesiapa yang ada di masa lalunya, melainkan orang-orang yang ia cintai di masa-masa pelariannya.
Kita pun tak pernah tahu bagaimana waktu membawa langkah kita pada orang-orang yang entah. Pada tempat-tempat yang tak pernah terjamah mata. Pada larik-larik nasib yang tak pernah dibayangkan mimpi. Perjalanan nasib adalah kegetiran dan ranum pejam kehidupan. Ia berkembang dan berbuah, serta bisa roboh menimpa harapan. Ia bersinar dan mati sewaktu-waktu. Tumbuh dan layu semaunya. Dan itu semua adalah misteri dan tanda tanya. Tak seorang pun bisa mengelak dari nasib. Seperti Valjean, kita sendiri yang punya kuasa untuk memilih bagaimana memperlakukan nasib. Dan selanjutnya, kita sendiri yang harus siap berhadapan dengan apa saja kejutan nasib di masa mendatang.