Seperti Serunai Yang Berhenti Bertiup
“The mountains were his masters. They rimmed in life. They were the cup of reality, beyond growth, beyond struggle and death. They were his absolute unity in the midst of eternal change”
— Thomas C. Wolfe, “Look Homeward, Angel” (1929) pg. 150
Seringkali, kita meremehkan hidup sebagaimana kita menepikan kematian. Hidup hanyalah sejauh mati. Keberadaan hanyalah sebanyak apa kekosongan yang kita kumpulkan dalam hidup. Sehingga, dalam setiap ada tidaknya, kehidupan hanya terpisah barang satu senti dari kematian. Kehilangan hanyalah satu langkah dari pintu rumah kita.
Sedangkan, dalam beberapa kesempatan acapkali kehidupan sekadar lewat. Ia terpaksa terlindas oleh waktu-waktu yang dimampatkan, dikerucutkan, dan kemudian meledak. Hidup, mau tak mau menyerah pada kecepatan dan pepesan kosong waktu yang dibendung. Semua kekosongan bersumber dari waktu-waktu yang mampat ini.
Seperti satu lajur panjang jalan sebuah sungai. Waktu seyogianya mengalir pelan menjauh dan berbelok pada setiap meander dan terkadang meluber ke persawahan kering. Namun, oleh karena sebuah kebutuhan waktu terbendung — atau lebih tepatnya dibendung — dan terhenti. Waktu yang dibendung memang menguntungkan secara materi. Tapi, entah secara psikis maupun fisik. Ia yang harusnya berjalan dan mengalir terpaksa berhenti. Mampat.
Seperti sungai pula, waktu punya momentumnya sendiri. Bendungan-bendungan akan dibuka saat waktu hujan besar tiba. Hujan tiba di saat-saat kekeringan akibat kemarau mulai menjadi petaka. Petani-petani lahan kering seperti lebih mendekati kematian daripada kerugian akibat gagal panen. Sedangkan tanah-tanah persawahan seperti halnya kerak langit yang retak.
Seperti jiwa-jiwa yang retak diterpa badai kehidupan— yang katanya — disebabkan oleh ketidakberdayaan manusia menempa batin. Terlampau berat menempa fisik dan materi, hingga lupa bahwasanya ada jiwa-jiwa yang kering menunggu hujan. Jiwa-jiwa yang hilang, tak ditemukan, terpenjara, dan terasing hingga kematian membawanya hidup kembali.
Sebetulnya Thomas Wolfe juga satu dari sekian entitas yang — kiranya — akrab dengan kematian. Selain ia mati muda di usia 38 tahun dengan beberapa bukunya belum terbit, ia juga anak seorang ahli pahat nisan. Wolfe,— kalau boleh dibilang— hidup dari kematian. Bagaimana tidak, karya-karyanya kemudian menjadi amat terkenal selepas ia meninggal. Meski lewat dua novel panjangnya— Look Homeward, Angel (1929) dan Of Time and the River (1935)— seyogianya Wolfe sudah “mencapai” titik didihnya.
Dalam Look Homeward, Angel yang melegenda itu, Wolfe berkisah tentang Eugene Gant. Tokoh ini tak lain adalah perwujudan Wolfe sendiri sehingga layak disebut auto-biografi. Isi hati Eugene adalah curahan reruntuhan ketakutan Wolfe menyoal kematian dan kehilangan.
Eugene Gaunt atau nantinya lebih dikenal dengan Gant. Kakeknya adalah Gilbert Gaunt yang datang dari Bristol, Inggris ke Baltimore, AS pada 1837 melalui laut. Gilbert lantas memiliki lima anak, satu perempuan dan empat lainnya lelaki. Anak lelaki kedua Gilbert adalah Oliver Gant, yang kelak menjadi ayah Eugene dari istri keduanya, Eliza. Gilbert wafat dalam tidurnya karena aplopeksi.
Menurut ibunya, nama “Eugene” berarti “well born” atau terlahir dengan baik. Namun dengan catatan bahwa bukan berarti ia dibesarkan dengan baik (well bred). Oliver Gant adalah seorang alkoholik kelas berat. Selain itu, ia seringkali pulang ke rumah dalam kondisi ingin baku hantam. Akibatnya,— kita tahu sendiri — tentu keluarga menjadi sasaran utamanya. Kebiasaan Oliver ini bukan tanpa sebab. Perkawinan pertamanya dengan Cynthia berakhir tragis. Istrinya yang lebih tua sepuluh tahun itu tewas karena penyakit dan pendarahan. Segala urusan bisnis yang ia bangun di Sydney hancur. Di usia tiga puluh, Oliver tenggelam dalam kesedihan dan kesibukan minum minuman keras.
Oliver lantas bertemu dengan Eliza Pentland dan dikaruniai kehilangan-kehilangan yang lain. Anak perempuannya mati karena kolera dan dua bayi lainnya mati saat lahir. Baik Oliver dan Eliza adalah pemuda-pemudi yang tumbuh dalam kondisi perang saudara di AS. Dalam sebelas tahun bersama Eliza, Oliver memiliki sembilan anak, dan hanya enam yang bertahan hidup. Eugene lahir kemudian menyambut abad baru, saat ayahnya sudah mulai “gila” karena terlampau mabuk menjalani kehidupan. Kelahiran Eugene justru menjadi arus balik bagi Oliver yang perlahan sadar dari mabuknya.
Cerita tentang Oliver lantas berlanjut pada Eugene di bagian kedua novel. Eugene digambarkan sebagai seorang pemuda yang teredukasi dengan baik. Ia bertemu dengan Laura James, cinta pertamanya yang sedang ngekos di rumah ibunya. Tempat kos ini ia sebut sebagai “Dixieland”. Tak diduga sebelumnya, namun Eugene menemui patah hati pertamanya pula dalam diri Laura. Kehilangan terakhir Eugene — atau keluarga Gant — hadir di bagian akhir cerita saat kakak Eugene, Benjamin meninggal karena pneumonia. Sedangkan Eugene, masih tetap menapaki kemudaannya dengan bayang-bayang kematian dan kehilangan yang terwarisi sejak era kakeknya, Gilbert.
Eugene adalah sosok Thomas Wolfe sendiri yang pada akhirnya meninggal pada 1938. Keduanya lahir tahun 1900. Dan lewat prosa puitisnya, Wolfe mampu membawa Saya kepada keadaan “Hah? Kenapa bisa betah membaca buku seperti ini?”.
Bukan karena apa-apa, namun novel bertema keluarga seperti Look Homeward, Angel ini seringkali membosankan. Tentu saja karena konflik-konfliknya tak terbatas, seperti konflik pada sebuah keluarga pada umumnya. Namun, dengan metode pendarasan kisah yang disebut “aliran kesadaran”, Wolfe seperti membawa Saya kepada pikiran dan perasaannya. Ia, sebagai narator seolah ikut hanyut pada saling silang perasaan sedih, senang, dan ambang. Kekuatan emosional seorang narator dalam suatu kisah amat jarang ditemui. Terkadang narator hanya menghantarkan pembaca pada dialog-dialog panjang atau menjelaskan hal-hal tertentu.
Wolfe, bagaimanapun mampu membawa stereotip terhadap narator serba tahu — yang sebenarnya hanya melindap di bawah kisah utama itu — menjadi lebih penting. Ia, sekali lagi dapat menghembuskan emosi pada setiap narasi yang ia buat melalui prosa.
Salah satu narasi Wolfe adalah yang saya kutip di bagian pembuka.
“Pegunungan adalah tuannya. Mereka berbingkai dalam hidup. Mereka adalah cangkir realitas, melampaui pertumbuhan, melampaui perjuangan, dan kematian. Mereka adalah kesatuan absolut di tengah perubahan abadi”
Wolfe mengajak Saya menyelami persinggungan antara kematian dan proses kehidupan. Seperti pada puisinya yang terdapat pada bagian awal novel Look Homeward, Angel berjudul “O Lost”.
“… a stone, a leaf, an unfound door; of a stone, a leaf, a door. And of all the forgotten faces”
Bait puisi ini adalah subjek. Subjek yang menjelaskan siapa-siapa saja ketidakberadaan itu. Siapa saja, dari kita dan mereka, yang terlupakan dan tak ditemukan. Dan sebagian dari kita yang tak ditemukan itu adalah ketidakberdayaan. Dalam artian lain, fase ini adalah saat di mana kita ada sebelum lahir ke dunia.
“Naked and alone we came into exile. In her dark womb we did not know our
mother’s face; from the prison of her flesh have we come into the unspeakable
and incommunicable prison of this earth”
Untuk bait ini, Wolfe mendaraskan sebuah anasir tentang kelahiran yang ia sebut “exile”. Kelahiran adalah pengasingan. Dari sebuah entitas yang tak tertemukan, manusia lahir sebagai yang terasing di antara para orang asing. Manusia lahir dengan telanjang dan sendiri. Dari sebuah rahim gelap yang bahkan tak kita kenal sebelumnya. Dari sebuah penjara daging yang tak dapat terjelaskan, manusia lahir ke dunia.
“Which of us has known his brother? Which of us has looked into his father’s heart? Which of us has not remained forever prison-pent? Which of us is not forever a stranger and alone?”
Bait selanjutnya berisi sebuah pertanyaan retoris perihal “ke-sendiri-an”. Sebab pada dasarnya, manusia tercipta untuk terpenjara, dalam kesendirian. Ia dikandung, lahir, hidup, dan mati dalam sepi. Terasing adalah hakikat diri setiap manusia. Kita lahir dengan asing, dan meninggalkan dunia sebagai orang asing yang entah.
“O waste of loss, in the hot mazes, lost, among bright stars on this most weary unbright cinder, lost! Remembering speechlessly we seek the great forgotten language, the lost lane-end into heaven, a stone, a leaf, an unfound door. Where? When?”
Pada bait ini Wolfe mencoba mereplikasi kematian. Atau, sebagai subjek ia disebut dengan hilang. Segala subjek kelahiran yang tak berdaya — a stone, a leaf, an unfound door — menjadi dipertanyakan lagi, ke mana mereka pergi dan kapan? Sedangkan dalam setiap kehilangan, segala bahasa agung yang pernah terlupakan kembali ditemukan. Segala enggan menjadi segan.
“O lost, and by the wind grieved, ghost, come back again”
Wolfe menutup bait prosa pembuka kisah ini dengan pernyataan kehilangan dan harapan. Manusia yang terpenjara itu kini tersesat dalam keheningan. Hilang ditiup angin kedukaan dan menjadi roh. Selepasnya, sesudahnya, dan setelah kesialan kehidupan itu, ia kembali pada surganya. Pada tempat di mana ia dikenal sebelum pembuangan ke dunia.
Seperti para malaikat meniup serunai, manusia kembali menjadi roh. Kembali dari kehilangan. Menjadi nyata dari kefanaan. Lindap lesapnya jiwa yang telah pergi adalah keniscayaan. Sebab kelahiran memusat pada kehilangan. Dan kematian adalah tapak bagi jalan keabadian.
Tidak satu pun dari kita siap menghadapi sebuah kehilangan maupun kehadiran. Tak ada yang hadir dan hilang dengan sambutan layak. Beberapa kekurangan dan beberapa lainnya berlebih. Beberapa ingin lahir dengan sederhana tanpa tawa dan air mata yang merutuki keberadaan. Atau, mati dengan singkat tanpa diratapi dengan air mata kemunafikan. Sisanya, hanya ingin tak dilahirkan atau entah hilang menjadi sebuah pintu yang tak kunjung ditemukan.